Delapan Belas

2.7K 534 56
                                    

Erick berdiri di bawah shower, membiarkan air dingin di pagi hari membasahi sekujur tubuhnya. Kepalanya merunduk ke bawah, matanya terpejam selagi memikirkan beberapa hal yang melintas dibenaknya. Salah satunya, kejadian ketika dia hampir saja menghabisi nyawa Chris.

"Erick?"

Kedua mata Erick terbuka cepat, wajahnya menegang dan kedua matanya menajam begitu saja. Bagaimana bisa? Pikir Erick. Kejadian beberapa hari itu akhirnya kembali melintasi pikirannya setelah Erick berusaha mengenyahkannya karena setiap kali dia memikirkan hal itu, dan mengingat saat dimana dia hampir membunuh Freya, Erick merasakan sebuah kemarahan yang seakan sulit untuk dia kendalikan.

Namun sayangnya, dia melupakan satu hal penting.

Chris.

Malam itu... Chris menyebut namanya. Dia mengetahui nama Erick ketika melihat kedua mata Erick. Menyadari itu, Erick mematikan shower, kemudian menyambar handuk dan mulai bersiap-siap. Darel sedang menonton televisi ketika Erick keluar dari kamar.

"Aku mau nasi goreng pagi ini." ujar Darel ketika menyadari Erick keluar dari kamar.

"Kamu minta buatin sama Tante Luna aja." ujar Erick sambil lalu.

Dia bergegas ke kamar Darel, mengambil ransel putranya, memasukkan beberapa pakaian serta alat mandi, dan itu Erick lakukan dengan cekatan.

Darel kini berdiri di ambang pintu kamar, bersedekap sambil mengamati Erick. "Papa kelihatan buru-buru." Ujarnya.

"Papa harus ke bengkel."

"Kenapa buru-buru?" Darel melirik jam dinding. "masih jam tujuh."

Sambil mengemasi barang-barang Darel, Erick menoleh sejenak ke belakang. "Pagi ini Papa banyak kerjaan."

"Kerjaan apa?"

"Kamu tahu apa pekerjaan Papa, Rel."

"Benerin mobil orang lain yang rusak?"

"Hm."

Darel tidak lagi menyahut, hanya mengamati punggung Papanya lekat dari belakang. Seperti sedang menyimpan satu pertanyaan yang tidak bisa dia utarakan.

Bahkan ketika Erick memutar tubuhnya ke belakang, membawa tas ransel Darel bersamanya, putranya itu masih saja menatapnya dengan cara yang sama. "Kenapa?" tanya Erick.

Darel mengerjap lambat, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak apa-apa." jawabnya. Kemudian dia berjalan dengan langkah yang santai, menghampiri Erick, mengambil ransel itu dari tangan Papanya dan memakainya di punggung. "sebenarnya, aku nggak suka sama pekerjaan Papa." Gumamnya pelan dan setelah itu berlalu pergi, meninggalkan Erick yang hanya berdiri terpaku.

Erick mengernyitkan dahinya. Darel baru saja mengatakan sesuatu, mengenai ketidak sukaannya terhadap pekerjaan Erick.

Pekerjaan Erick...

Yang Darel tahu, Erick bekerja sebagai seorang Mekanik, namun entah mengapa, apa yang baru saja Darel katakan tadi... bukan mengarah pada pekerjaan Erick yang itu. Bahkan tatapannya juga terlihat berbeda tadi. Apa mungkin Darel... Erick menggelengkan kepalanya pelan. Tidak mungkin, pikirnya. Darel masih sangat kecil, dia tidak mungkin tahu, apa lagi mengerti apa yang Erick lakukan.

Berusaha mengenyahkan perasaan gundahnya, apa lagi ada hal penting yang saat ini harus dia urus, Erick bergegas meninggalkan rumahnya untuk mengantar Darel ke rumah Luna.

Luna sudah menunggu di depan rumahnya ketika mobil Erick berhenti di sana. Erick memang sudah memberitahunya lebih dulu mengenai dia yang harus menitipkan Darel lebih pagi hari ini. Untungnya Luna tidak keberatan.

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang