Erick masih berbaring di samping Darel, menatap langit-langit kamar semalaman dan tak terpejam sekalipun. Kepalanya terasa penuh sesak memikirkan banyak hal. Luna dan Malvori saling berperang di kepalanya, sama-sama ingin untuk dimenangkan. Namun sayangnya, peperangan itu hanya membuat Erick semakin kacau dan menemukan jalan buntu.
Selain Darel, Luna adalah salah satu hal yang kini menjadi sangat berharga bagi Erick. Kehadiran Luna membuat Erick yang tadinya tak pernah memiliki mimpi dalam hidupnya, kini memiliki begitu banyak mimpi. Luna mengajarkan hal-hal asing yang selama ini tidak pernah Erick temukan.
Bahkan Luna seolah memberikan sebuah rumah baru untuk Erick. Rumah yang begitu nyaman, penuh kehangatan dan juga cinta.
Demi Tuhan, sungguh Erick ingin memiliki Luna seutuhnya. Dia rela menukarkan apa pun demi bisa memiliki Luna.
Bahkan Malvori sekalipun.
Erick ingin meninggalkan Malvori, dan hidup bersama Luna seperti yang Luna mau. Sungguh dia sangat menginginkannya. Namun melepaskan diri dari Malvori bukan sesuatu yang mudah. Malvori adalah rumahnya, tempat dimana dia memiliki kehidupan. Meski tempat itu yang menjadikan Erick sebagai monster dan mesin pembunuh, meski tempat itu yang membuat Erick tidak memiliki kehidupan normal seperti manusia lainnya, namun setengah dari jiwanya telah menyatu dengan tempat itu.
Ada bayang ketakutan dan juga cemas yang selalu mengikuti Erick setiap kali dia mulai ingin memutuskan keluar dari tempat itu. Dia sudah terbiasa berdampingan dengan mereka semua, ketergantungan pada ritme kehidupan yang Malvori ciptakan untuknya. Lalu, jika Erick memutuskan pergi dari tempat itu, apakah dia akan baik-baik saja?
Atau, apakah Darel akan tetap aman? Bagaimana kalau semuanya akan menjadi semakin kacau dan membahayakan hidup Darel?
Semua itu selalu berkecamuk di dalam kepalanya, membuat Erick pada akhirnya tak bisa memutuskan apa pun.
Bahkan setelah semalaman ini berpikir keras pun, Erick tetap tidak bisa mengambil keputusan.
Erick merasakan pergerakan dari sampingnya, kemudian dia melihat Darel beranjak duduk dan perlahan menoleh padanya. Erick mengerjap lambat ketika mata Darel menyorotinya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Udah pagi." Ucap Darel.
"Hm." Erick hanya berdehem.
"Papa nggak tidur?"
Erick mengerjap sekali lagi, memalingkan muka, mendesah berat kemudian turut beranjak duduk. Tak ada sepatah kata pun yang Erick ucapkan, dia hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan goyah dan dia tahu kalau sejak tadi Darel terus mengamatinya. "Kamu benci sama Papa?"
"Hm?"
"Tadi malam... kamu mendengar semuanyanya, kan?"
Darel tahu kemana arah pembicaraan ini. Dan benar, tadi malam... Darel memang mendengarnya. Hanya saja, sejak Papanya mengajaknya pulang, sejak Darel melihat bagaimana mengerikannya Riska mengusir Erick keluar dari rumah Luna, sejak Darel melihat raut wajah Papanya yang terlihat menyedihkan, Darel tidak mengatakan apa pun.
"Itu benar?" suara Darel terdengar teramat pelan, meski kedua matanya menatap Erick tanpa ragu. "Papa... seorang pembunuh?"
Erick pernah merasa takut. Setiap kali membayangkan hari ini terjadi, dimana Darel bertanya dan mengetahui segalanya, dia selalu saja merasa ingin mual.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Ficción GeneralPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...