Darel duduk manis di meja makan ketika Luna datang ke rumahnya. Sesuai perjanjian, hari ini Darel akan mulai belajar bersama Luna. Dan Luna merasa lega saat Darel terlihat lumayan bersemangat untuk belajar, tidak seperti kemarin ketika Darel menolak untuk belajar.
Melihat tak ada satu perlengkapan belajar pun bersama Darel, Luna hanya tersenyum kecil. Dia sudah bisa menebak hal ini sebelumnya, Erick pasti belum menyiapkan apa pun. Maka itu Luna sudah membawanya sendiri.
"Selamat pagi." sapa Luna pada Darel. Tangannya mengacak rambut bocah itu, membuat Darel tersenyum tipis memandangnya.
"Pagi."
Luna menatap sekitarnya. "Papa kamu udah pergi kerja?"
Darel menggelengkan kepala. "Masih tidur."
"Nggak kerja hari ini?"
"Kayanya nggak."
Tadinya Luna sudah akan mengeluarkan perlengkapan belajar Darel dari tas yang dia bawa, tapi saat menyadari sesuatu, Luna bertanya. "Kamu udah makan belum?" Darel menggelengkan kepalanya. Benar, kan. "mau Tante buatin makanan?"
"Mau."
"Hm, boleh pinjam dapurnya sebentar?"
Dahi Darel mengernyit heran. "Memangnya dapur bisa dipinjam ya, Tante?"
Luna tertawa geli mendengarnya. "Maksud Tante, boleh nggak, Tante masak di dapurnya Darel?"
"Boleh." Jawab Darel singkat, seperti biasa.
Lalu Luna mulai beranjak ke dapur, membuatkan sarapan pagi untuk Darel dan juga Erick. Melihat wajah Erick yang pucat tadi malam, Luna merasa sepertinya Erick sedang sakit, apa lagi dia sampai tidak bekerja hari ini. Jadi, tidak ada salahnya kalau Luna membuatkan sarapan pagi untuk Papanya Darel itu. Lagi pula dia juga akan membuatkan darapan untuk Darel.
Luna menemukan sekotak sereal di dalam lemari. "Mau sereal?" tanya Luna pada Darel.
Darel menggelengkan kepalanya. "Bosan." Ucapnya dengan wajah datar serta mata yang memandang Luna lekat. "aku boleh minta dimasakin sesuatu nggak Tante?" Luna tersenyum seraya mengangguk. "aku mau nasi goreng, pakai telur ceplok, kecapnya yang banyak."
Mendengar itu, senyuman Luna musnah seketika. Kini wajahnya terlihat termangu, kedua matanya berubah menjadi nanar mana kala dia seolah terlempar ke masa lalu, dimana sering kali mendengarkan permintaan itu dari seorang lelaki yang sampai detik ini masih saja sulit untuk dia enyahkan dari kepalanya.
Apa yang Darel katakan, persis seperti yang selalu dia katakan setiap kali dia meminta hal yang sama.
Dan kini, Luna memandangi wajah Darel lekat. Bocah itu masih berada di tempatnya semula, duduk dengan kedua tangan terlipat di meja, memandanginya dengan dua bola matanya yang bulat serta sorot matanya yang tanpa ekspresi bahkan cenderung muram. Luna merasa dadanya sesak ketika Darel seolah menjelma menjadi lelaki itu. Duduk di sana, memandanginya dengan tatapan khasnya yang dulu pernah menjadi candu bagi Luna.
"Udah selesai belum?"
Kedua mata Luna melebar begitu saja, ketika lelaki itu bertanya dengan suara yang sangat Luna rindukan.
Kedua tangan Luna terkepal hebat, air mata menggenang di pelupuk matanya. Kini tanpa bisa dihentikan, satu persatu ingatan masa lalunya bersama lelaki itu berpendar, bertubi-tubi, membuatnya seperti benar-benar kembali ke masa-masa yang paling membahagiakan untuknya sekalipun semua itu hanyalah masa lalu yang semu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
General FictionPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...