Erick mengaduk-aduk serealnya dengan tatapan kosong. Sejak tadi, sejak dia mengajak Darel sarapan bersama, tak sekalipun Erick menyuapkan serealnya itu ke dalam mulut. Dan yang Erick lakukan hanyalah duduk termenung, mengaduk-aduk sereal itu dengan wajah kusutnya yang sejak semalam tak pernah pergi dari wajahnya.
Luna.
Nama itu semakin merajai hati Erick. Sejak Luna bersikap aneh dan mengatakan kalau dia tak pernah menyukai Erick, maka sejak itu pula Erick tak bisa melakukan apa pun dengan benar. Erick lupa dengan alur cerita dongeng yang biasa dia ceritakan pada Darel, lupa tersenyum pada siapa pun yang menyapanya, membuat semua orang menatapnya bingung. Pasalnya, semua orang yang berada di komplek rumah mereka mengenal Erick sebagai tetangga yang ramah dan juga baik.
Tapi sejak Luna menegaskan perasaannya, Erick merasa dirinya sangat kacau. Dan puncaknya adalah malam tadi, dimana Erick gagal menyelesaikan pekerjaannya, hingga sejak semalaman ini, Erick sengaja mematikan ponselnya karena tahu Leon pasti akan terus menerus menghubungi.
"Papa sakit?"
Teguran Darel menyadarkan Erick dari lamunan. Perlahan wajahnya terangkat ke depan, memandang putranya yang sedang menatapnya dengan dua bola matanya yang kebiruan itu. Erick hanya menggelengkan kepalanya pelan sebagai jawaban.
Tak ada sepatah kata pun yang terucap, dan Darel tahu kalau Papanya baru saja berbohong. Tapi, Darel juga tahu, kalau ketika Papanya sedang berada dalam mode diam, artinya Papanya sedang tidak ingin diajak bercanda, apa lagi harus meladeni tingkah menyebalkan Darel.
Jadi, yang Darel lakukan adalah melompat dari kursinya, kemudian menggumam pelan. "Aku mau ke rumah Tante Luna."
Baru saja Darel melangkah sekali, Erick sudah mengeluarkan suara.
"Jangan."
Mendengar itu, Darel menoleh, memandang Papanya dengan kernyitan bingung. "Kenapa?"
Erick mengulum bibirnya ragu. Dia tidak mungkin mengatakan pada Darel mengenai apa yang terjadi pada mereka berdua kemarin. "Papa hari ini nggak kerja. Kamu di rumah aja sama Papa."
"Tapi kan aku harus belajar sama Tante Luna."
"Lain kali aja."
Sayangnya, Darel bukan jenis anak yang penurut. Maka dengan wajah masam dan keras kepala, dia bersikeras. "Aku mau sekarang." Darel kembali memutar tubuhnya dan ingin beranjak pergi.
"Papa bilang jangan, Darel!" bentak Erick. Jika biasanya Darel tidak peduli dan malah berlari pergi, maka kali ini Darel terdiam kaku di tempatnya.
Pasalnya, baru kali ini dia mendengar bentakan semengerikan itu dari Papanya, membuat jantungnya berdegup kuat hingga menghadirkan rasa takut. Darel meneguk ludahnya berat, dan perlahan memutar tubuhnya lagi. Bibirnya tertutup rapat, sementara kedua tangannya tampak sedikit mengepal kala dia memandang Papanya yang sudah berdiri, menatapnya dengan kedua mata yang menyimpan kemarahan asing yang mengerikan.
Seketika, kedua mata Darel memerah. Rasa-rasanya dia ingin menangis karena ketakutan. Lelaki yang dia lihat saat ini, benar-benar berbeda dari sosok lelaki yang dia panggil Papa selama ini. Sorot matanya, ekspresi wajahnya, suaranya yang keras dan tajam, semua itu menakutkan bagi Darel.
Darel menarik napasnya tercekat, kemudian dia berjalan lambat, kembali duduk di kursinya. Darel ketakutan, tapi hal itu tidak membuatnya menundukkan wajahnya, malah sebaliknya, Darel terus mengamati wajah Papanya yang perlahan-lahan kembali seperti semula.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Ficção GeralPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...