Empat

4K 822 93
                                    

Erick berdecak kuat ketika mendengar suara gedoran pintu yang berisik. Dia masih sangat mengantuk, tapi gedoran—yang sialan—membuat kedua matanya terpaksa terbuka. Hanya dengan mengenakan celana panjang, Erick berjalan sempoyongan membuka pintu rumahnya. Lalu wajah masam Freya menyambutnya, dan wajah masam itu semakin membuat Erick menggerutu.

"Apa?!" ketus Erick.

Tapi bukannya menjawab pertanyaan Erick, Freya mendorong tubuhnya agar tidak menghalanginya untuk masuk. Layaknya tamu yang tak tahu diri, Freya melenggang santai menuju dapur, mengeluarkan sebuah gelas, lalu menyeduh kopi di sana. dan Erick yang mengamatinya dengan wajah kesal, menggigit bibirnya kesal.

"Lo nggak punya rumah? Atau nggak punya uang, sampai minum kopi aja harus di rumah gue." Erick beranjak duduk di depan pantry. "buatin satu lagi buat gue."

Freya, gadis blasteran Indonesia-Jerman itu melirik malas pada Erick melalui bola mata cokelatnya. Seperti biasa, Freya selalu saja memakai pakaian serba hitam. Tanktop, jaket kulit, celana jeans, serta sepatu boots yang dia kenakan, semuanya berwarna hitam. Hanya anting dan kalungnya saja yang berwarna perak, membuatnya sedikit tertolong.

Gadis berpenampilan tomboy ini mendengus pelan sebelum melakukan perintah Erick. Membuat segelas kopi lagi untuk si tuan rumah yang pemalas.

Tak.

Freya meletakkan gelas kopi itu dengan kasar di hadapan Erick, hingga Erick yang sedang menopang dagu dengan mata hampir terpejam sedikit terperanjat.

"Astaga," gumam Erick seraya menyentuh gagang gelasnya. "kalau aja lo nggak punya dada sama bokong yang seksi, gue yakin nggak ada yang percaya kalau lo itu cewek." Erick menyeruput kopinya.

Freya melupakan kopinya, dan kini gadis itu bersedekap, memandang Erick dengan tatapan tajamnya. "Jangan belagak tolol deh, lo." umpatnya.

Dibalik gelasnya, Erick menaikkan satu alisnya ke atas.

"Gue butuh penjelasan soal kerjaan kemarin." Cetus Freya.

"Apa?"

"Kenapa lo bunuh Pramono?"

"Lo nanya begini seolah-olah ini kali pertama gue ngebunuh orang."

"Pramono bukan target kita, Rick."

"Gue tahu."

"Terus kenapa lo bunuh dia?"

Erick meletakkan gelasnya ke atas pantry, lalu matanya memandang Freya dengan tatapan santai. "Uangnya udah lo kasih ke Leon, kan?" tanyanya. Freya mengangguk "Leon marah?"

"Nggak."

"Oke. Case closed."

Erick melompat turun dari kursinya dan hendak beranjak pergi.

"Tapi harusnya, yang lo bunuh itu anaknya. Dan Pramono adalah klien kita." Ujar Freya tajam. Ketika Erick menghentikan langkahnya, Freya tersenyum miring. "jangan lo pikir gue nggak tahu kalau akhir-akhir ini, lo sering melakukan kesalahan, Rick. Lo mulai lemah..."

Erick memutar tubuhnya ke belakang, memandang Freya dengan tatapan tenangnya yang berbahaya. "Pramono ingin gue membunuh anaknya."

"Lalu apa masalahnya?"

"Masalahnya," Erick kembali ke pantry, kedua tangannya merentang, menyentuh pinggiran meja, tubuhnya sedikit membungkuk hingga wajahnya tampak begitu dekat dengan wajah Freya. "gue nggak bisa membunuh anak kecil, Freya. Nggak, di saat gue juga punya seorang anak." Erick menipiskan bibirnya. "lagi pula, Leon nggak pernah peduli siapa pun yang mati. Asalkan tumpukan uangnya semakin bertambah, darah siapa pun yang mengalir di tangan gue, itu sama sekali bukan urusannya."

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang