Tiga Puluh Tujuh

2.4K 440 14
                                    

Selama diperjalanan, Gembul yang menyetir sama sekali tak membuka suara. Dia hanya sesekali mengamati Erick yang menyandarkan kepalanya ke kaca mobil di sampingnya, menatap kosong ke depan dengan wajah lelah luar biasa.

                Erick tidak merasa bahagia. Bahkan dia tidak merasa puas meski sudah  melenyapkan nyawa Johan. Tak ada perasaan apa pun yang bisa dia raba saat ini. Harusnya dia merasa puas setelah membalaskan dendamnya. Tapi mengapa saat ini hatinya terasa begitu hampa?

                "Bos..."

                Erick mengerjap lambat, menoleh memandang Gembul. "Hm?"

                "Kita udah sampai." Ujar Gembul.

                Erick memandang sekitarnya. Benar, mobil Gembul sudah berhenti di depan rumah sakit. Erick menarik napasnya berat, kemudian keluar dari mobil, berjalan lambat seolah tak bertenaga, menuju kamar dimana Luna di rawat.

                Di samping kamar itu, Erick menemukan Freya berdiri menyandar dengan kedua tangan tersimpan di saku jaketnya. Dia menoleh memandang Erick, tatapannya seolah meneliti. Dan begitu Erick berdiri di depannya, Freya hanya menghela napas berat.

                "Dia ada di dalam." Ujar Freya.

                "Darel?" tanya Erick.

                Kali ini Freya tersenyum tipis. "Dia nggak pernah meninggalkan Luna. Sesuai janjinya."

                Kepala Erick mengangguk lambat. Dipandanginya pintu kamar itu lekat dan juga lama. Dia menunduk sebentar, seperti berusaha menguatkan diri sebelum akhirnya membuka pintu itu.

                Hal pertama yang Erick temukan di sana adalah Darel tang sedang duduk di samping ranjang, menoleh cepat padanya, memandangnya dengan dua bola matanya yang tenang. Kemudian tatapan Erick berpindah pada sosok yang sejak tadi terus menerus mengisi kepalanya.

                Luna...

                Wanita itu duduk tegak di atas ranjang, menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat pias, tidak memancarkan apa pun. Dan hal itu membuat relung hati Erick mencelos menyakitkan.

                Darel melompat dari kursinya, menghampiri Erick, menengadahkan wajahnya agar dia bisa menatap Papanya. "Tante Luna nggak mau bicara dari kemarin." Ucapnya memberi tahu. "Tapi aku terus temenin Tante Luna dan nggak pernah ngebiarin Tante Luna sendirian."

                Erick memandang putranya dengan tatapan sendu. Darel masih terlihat khawatir saat ini. Kemudian Erick mengulas senyuman tipisnya, merundukkan tubuhnya ke bawah hingga sejajar dengan Darel. Erick menepuk-nepuk puncak kepala Darel pelan. "Terima kasih," ucapnya. "Sekarang kamu boleh istirahat."

                Darel mengernyit. "Tante Luna?"

                Ekor mata Erick melirik pada sosok yang mereka bicarakan. "Sekarang... giliran Papa yang jagain Tante Luna." gumamnya lirih.

                Darel menolehkan wajahnya ke belakang, menatap sendu pada Luna yang masih diam di tempatnya, bahkan pergerakan Darel pun tidak membuatnya tersadar. Darel menghela napasnya berat, mengangguk lambat, kemudian beranjak keluar dari kamar.

                Sepeninggalan Darel, Erick masih tetap berdiri di tempatnya semula. Memandangi Luna selama yang dia mau, sebelum akhirnya kedua kakinya melangkah lambat, menghampiri Luna,berdiri tepat di sampingnya. Kini wajah pucat dengan tatapan kosong yang menyedihkan itu terlihat jelas di kedua matanya. "Hei," sapa Erick dengan suara lembutnya. Tapi Luna tak bereaksi, membuat Erick tersenyum getir di tengah rasa sesak yang melandanya.

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang