Begitu mobil Erick berhenti, Luna bergegas keluar dari sana dan melangkah cepat memasuki rumahnya. Erick tak tinggal diam, dia pun bergegas mengejar Luna. Kekasihnya itu nyaris menutup pintu jika saja Erick tidak menahannya dengan sebelah kaki.
"Luna, please, kita butuh bicara." Lirih Erick.
Sejak tadi, bahkan ketika mereka berdua berada di mobil yang sama, tak sekalipun Luna mau memandang Erick. Tadinya Luna ingin pulang sendirian, tak masalah meskipun dia harus berjalan kaki lebih dulu untuk menjangkau mobil yang dia bawa. Hanya saja Erick tak mengizinkannya. Karena terlalu malas berdebat apa lagi mendengar suara Erick, dan Luna masih merasa begitu shock, Luna akhirnya menurut. Apa lagi saat dia mendengar Erick menelefon seseorang yang Luna duga adalah Gembul. Erick hanya menyebutkan alamat dimana mereka berada, lalu menyuruh seseorang itu untuk membersihkan jejak.
Luna hanya memeluk dirinya sendiri dan memandang kearah luar disepanjang jalan. Berkali-kali Erick menatapnya sendu, namun tak sekalipun Luna mau menoleh padanya. Dan kali ini, pada akhirnya Luna mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk dalam. Matanya memandang Erick dengan tatapan gamang. Dan setiap kali dia menatap wajah itu, maka kilasan kejadian mengerikan itu kembali terlintas di benaknya, membuat tubuh Luna kembali gemetaran dan kini tanpa sadar kedua kakinya melangkah mundur.
"Luna..." Erick menatap Luna penuh penyesalan. "maaf kalau apa yang tadi kamu lihat membuat kamu ketakutan. Tapi aku melakukan hal itu karena dia menyakiti kamu. Aku nggak bisa, Luna, aku nggak bisa melihat siapa pun menyakiti kamu. Itu kenapa aku..." Erick tak mampu mengucapkan satu kata itu. "Maaf, Luna."
Luna hanya terus menatap Erick dengan tatapan kosongnya kala lelaki itu berusaha menjelaskan sesuatu yang terdengar bagaikan omong kosong. "Itu kamu, kan?" tanya Luna dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Wajah di sketsa itu... Malvori..." Luna mengepalkan kedua tangannya kala menyebut berbagai hal yang dia curigai bersangkutan dengan Erick. "Pembunuh." Matanya memerah sempurna. "itu... kamu, kan?"
Erick terdiam kaku. Kedua matanya melirih kosong. Ingin membantah tapi Luna sudah melihat semuanya, ingin mengaku tapi terlalu takut jika apa yang Erick akui akan menghancurkan hubungan mereka. Ini bukan hanya sekedar dilema, tapi Erick bagaikan sudah berada di tepi jurang dan akan segera jatuh ke bawah.
Pada akhirnya, apa yang Erick takutkan sejak dia mencintai wanita ini terjadi. Luna mengetahui jati dirinya, dan kini, kekasihnya itu terlihat begitu terpukul bahkan takut padanya.
"Luna..."
"Jawab aku, Erick. Cukup jawab pertanyaanku."
Erick merasa tubuhnya melemas, lalu perlahan kepalanya mengangguk begitu saja sedang matanya menatap Luna dengan tatapan penuh penyesalan.
"Jadi... selama ini... yang selalu bersamaku, dan yang aku... cintai... adalah seorang pembunuh?" suara Luna terdengar gamang, seperti suaranya yang tersesat oleh pertanyaan dan isi kepalanya sendiri. "Kamu membohongiku, Erick. Kamu membohongiku."
Erick berusaha mendekat, tapi Luna kembali melangkah mundur seraya menggelengkan kepalanya.
"Jangan..." Luna mulai terisak getir. "Jangan mendekatiku."
"Luna..."
"Apa hubungan kita... apa semua yang telah kita lakukan... juga salah satu diantara ribuan kebohongan kamu lainnya?" Luna merasa terluka meski hanya memikirkannya.
Erick terperangah, kepalanya menggeleng kuat. "Nggak. Itu nggak benar, sama sekali nggak benar."
"Lalu kenapa? Kenapa kamu mendekatiku, kenapa kamu membuat aku jatuh cinta dan memercayai kamu sebesar ini, kalau ternyata... ternyata apa yang kamu perlihatkan selama ini hanya sebuah kebohongan?!" Luna berteriak kuat, melepaskan sesak di hatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
General FictionPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...