Tiga Puluh Satu

2.6K 411 30
                                    


Seperti biasa, setiap pagi, Erick akan mengantarkan Darel ke rumah Luna sebelum dia pergi ke bengkel. Namun baru saja dia dan Darel keluar dari mobil, ada Dika yang membukakan pintu pagar untuk mereka.

                "Hai, Rel." sapa Dika pada Darel yang hanya mengangkat satu telapak tangannya sebagai balasan ketika dia melintasi Dika dan melengos masuk ke dalam rumah begitu saja.

                Erick mendesis pelan dan menatap putranya itu kesal. Tidak sopan sekali, pikirnya. Namun Dika hanya tertawa pelan saja menanggapi sikap Darel yang menyebalkan itu.

                "Bang," sapa Dika pada Erick sembari menganggukkan kepalanya. "mau berangkat kerja?"

                "Iya." Erick tersenyum ramah. "lo tidur di sini tadi malam?"

                "Oh, nggak kok. Baru datang lima belas menit yang lalu."

                Erick mengangguk santai. Tadinya dia sudah ingin beranjak masuk ke rumah untuk menemui Luna, tapi dari cara Dika memandangnya, Erick menyadari jika adik dari kekasihnya ini seperti ingin menanyakan sesuatu padanya. "Tanya aja. Nggak apa-apa." ujar Erick.

                Dika tersentak sebentar, sebelum meringis pelan dan menggaruk belakang kepalanya. Perlahan dia menghampiri Erick, berdiri di hadapan lelaki itu dengan tatapan lekat. "Abang serius sama Kak Luna?"

                Erick mengernyitkan dahinya samar.

                Dika menghela napas, kepalanya sedikit tertunduk kala dia tersenyum sendu. "Gue nanya begini, bukan cuma karena gue adiknya. Tapi karena gue nggak mau kalau Kak Luna jatuh ke tangan orang yang nggak tepat lagi. Kak Luna, dia... memiliki banyak luka di hatinya, Bang. Banyak banget sampai gue dan keluarga gue nggak pernah berhasil menyembuhkan lukanya."

                Dika memalingkan wajahnya, tatapannya melirih. "Jujur aja, lihat Kak Luna dan Abang kemarin, gue seneng banget. Akhirnya, Kakak gue sembuh dari keterpurukannya. Dan untuk pertama kalinya setelah Kak Luna bercerai, gue bisa melihat Kak Luna yang bersemangat lagi. Tapi di sisi lain, gue juga cemas..." Dika kini menatap Erick sepenuhnya. "Bang, gue akan selalu ada di pihak lo kalau lo benar-benar serius sama Kak Luna. Apa pun yang terjadi, apa pun masalahnya, gue akan selalu ada di pihak lo."

                "Dika..."

                "Tapi, kalau lo cuma mau main-main," kepala Dika menggeleng tegas, setegas pancaran matanya saat ini. "gue mohon, berhenti. Pergi dan menjauhlah. Karena Kak Luna nggak akan bisa terselamatkan lagi kalau lo menghancurkan hidupnya. Mungkin luka-luka di hatinya udah sembuh, Bang. Tapi bekasnya nggak akan pernah hilang. Dan kalau lo menambahkan luka lagi di tempat yang sama, maka nggak akan ada yang bisa menyelamatkan Kak Luna selain kematian.

                 "Gue dan keluarga gue ingin melihat Kak Luna bahagia, Bang. Kami semua ingin melihat Kak Luna hidup seperti sebelumnya, ketika Kak Luna belum mengenal mantan suaminya. Karena sejak perceraian itu, kami semua benar-benar kehilangan dia. Kak Luna ada bersama kami, tapi dia belum benar-benar kembali. Jadi, gue mohon, Bang..." Dika menatap Erick getir. "jangan sakiti kakak Gue. Lo boleh pergi kalau lo—"

                "Bahkan kematian pun nggak akan pernah bisa mengambil Luna dari gue, Dika." Gumam Erick pelan. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Erick terlihat tenang, begitu pula sorot matanya. Hanya saja, dibalik sorot mata yang tenang itu, ada kilat tegas yang mengancam sekaligus berbahaya, hingga Dika mengernyit samar mengamatinya. "Nggak akan ada lagi luka, apa lagi kehancuran. Karena gue sendiri yang akan memastikan kebahagiaan Luna mulai saat ini."

                Dika mengerjap lambat. Disatu sisi, dia merasa sedikit terperangah melihat ekspresi yang terpancar dari wajah Erick. sebuah eskpresi asing yang nyaris tidak pernah Dika temukan di wajah siapa pun yang pernah dia temui. Dan di sisi lain, Dika merasa luar biasa lega mendengar apa yang Erick katakan.

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang