Luna baru saja selesai jogging di sekitar komplek rumahnya. Ketika dia hendak pulang ke rumahnya, kakinya berhenti berlari saat matanya mendapati seorang anak kecil yang berdiri di depan pagar rumahnya. "Itu kan..." gumam Luna. Lalu Luna melirik jam tangannya, masih pukul delapan pagi. "halo." Sapa Luna pada anak kecil itu ketika Luna menghampirinya.
Anak kecil itu menoleh padanya, dua bola matanya yang menyimpan ketenangan menatap Luna lekat. Dia sudah tampak rapi dengan rambut basahnya yang disisir rapi. Dia memakai celana pendek serta T-shirt dan juga sandal jepit. Namun wajahnya yang dilapisi bedak putih dan tampak sedikit cemong membuat Luna tersenyum geli.
"Darel, kan?" tanyanya Luna. Darel mengangguk, lalu Luna melirik ke arah rumahnya. "Darel ngapain di sini?"
Mulanya, Darel mengedarkan pandangannya ke segala arah seolah sedang memikirkan sesuatu, namun pada akhirnya dia mengadikan bahunya ringan. Dan melihat tingkahnya itu membuat Luna merasa gemas. "Hm... mau masuk ke rumah Tante nggak? Nanti Tante buatin susu deh."
"Boleh?" tanya Darel. Nada suaranya terdengar biasa aja, bahkan seperti tidak tertarik. Namun Luna yang sejak tadi tak melepas tatapannya dari kedua bola mata biru itu malah menemukan hal sebaliknya.
Bocah ini pintar sekali menjaga ekspresinya.
"Boleh, dong," jawab Luna. "hm, tapi orangtua kamu–"
"Masih tidur dan nggak bakalan keberatan." Sahut Darel cepat dengan suaranya dinginnya.
Luna tidak tahu mengapa dia malah tertawa geli saat ini. Luna sering menemukan orang-orang dewasa dengan sikap dingin seperti Darel. Bahkan dia pernah hidup dengan lelaki berkepribadian serupa seperti Darel. Tapi, menemukan seorang bocah kecil yang memiliki kepribadia sedingin ini dan juga tatapannya yang tampak tenang juga dewasa, Luna benar-benar tak habis pikir.
Luna membukakan pagar rumahnya untuk Darel, lalu mengajak Darel masuk ke rumahnya dan membawanya kedapur. Luna menyuruh Darel duduk di balik meja pantry dan bocah itu menurut begitu saja. Kemudian, Luna memberinya segelas susu hangat serta dua roti bakar dengan selai cokelat. "Tante belum belanja banyak bahan dapur, jadi nggak bisa masakin kamu. ini aja nggak apa-apa, kan?"
Darel menatap roti bakar dan susunya dengan tatapan lekat, lalu menengadah menatap Luna yang masih berdiri di depannya. "Buat aku?" tanyanya. Luna mengangguk. Darel menggenggam gelasnya, berniat meneguk susu miliknya.
"Kamu lupa bilang sesuatu," ujar Luna. Saat Darel menatapnya dengan kernyitan samar di dahinya, Luna memiringkan wajahnya. "saat ada seseorang yang memberikan kamu sesuatu dan kamu menerimanya, seharusnya kamu bilang apa?"
Darel mengerjap lambat, dia sering kali mendengar kalimat serupa seperti ini dari Papanya. Biasanya Darel hanya akan memutar bola matanya malas dan memalingkan muka, namun melihat senyuman manis Luna yang entah mengapa membuat Darel betah memandanginya, kini Darel menghela napas berat dengan gayanya yang dewasa. "Terima kasih." Ucapnya.
Lagi-lagi Luna tersenyum geli. Lalu dia mengulurkan tangannya ke depan, mengacak rambut Darel gemas. Selagi Darel menikmati sarapan paginya, Luna yang masih mengenakan pakaian Joggingnya; legging hitam dan tanktop hitam yang dilapisi crop top longgar, mengeluarkan beberapa buah-buahan dari dalam kulkas, lalu memotong-motongnya dan memindahkannya ke atas piring.
Luna memilih duduk di samping Darel, ikut menikmati sarapan paginya dengan bocah itu. "Mau tambah lagi nggak?" tanya Luna.
Darel menggeleng. "Ini aja."
"Tante boleh nanya?"
"Apa?"
"Darel nggak sekolah memangnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
General FictionPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...