Dua Puluh

2.8K 531 58
                                    

Darel duduk di tepi ranjangnya sambil bersedekap, menatap Erick yang berlutut di depannya. Darel sudah mengenakan piyama, artinya dia harus segera tidur. Jika biasanya Papanya ini akan mendongengkan cerita yang membosankan, maka kali ini Darel meminta Papanya menjelaskan perihal kejadian siang tadi.

"Jadi, kenapa Papa pukul Om itu tadi siang?" tanya Darel.

Erick mengulum bibirnya resah. Pasalnya, dia masih belum menemukan alasan yang tepat.

"Papa kelihatan marah tadi pagi," ucap Darel lagi dan kali ini membuat Erick menatap sepenuhnya pada Darel. "biasanya, kalau Papa pergi dengan wajah marah, Papa selalu pulang larut malam, dan aku sering nemuin bekas luka di tangan Papa." Darel mengerutkan dahinya. "Papa... sering pukul orang, ya?"

Erick meneguk ludahnya berat. Lalu kepalanya menggeleng pelan.

"Terus yang tadi diang itu apa? Kenapa Papa pukul Om itu?"

"Itu... karena..."

"Karena?"

Sial!

"Karena Om itu orang jahat."

Satu alis Darel terangkat ke atas. "Orang jahat?"

Erick tahu, setelah ini, dia akan semakin terlihat seperti orangtua yang berengsek karena rela membohongi putranya demi membela diri dan menutupi kebusukannya.

"Om itu jahatin Papa, Rel. Papa nggak bisa kasih tahu kamu tentang kejahatan apa yang dia lakukan ke Papa, karena kamu masih terlalu kecil untuk mengerti. Tapi, apa yang dia lakukan adalah sesuatu yang nggak bisa Papa toleransi. Itu kenapa... Papa pukul dia."

Darel kembali mengernyit, kali ini wajahnya terlihat berpikir keras. Dan matanya tak melepaskan diri dari wajah Papanya. "Tapi..." gumam Darel dengan suara pelannya yang terdengar bingung. "Papa nggak pernah semarah itu selama ini. Papa selalu minta maaf ke semua orang setiap kali aku nakal. Papa selalu senyum ke siapa pun, padahal mereka sering ngomongin Papa yang nggak becus ngurusin aku. Papa juga selalu minta aku jadi anak baik, harus maafin siapa pun yang jahatin aku, harus sabar. Jadi, kenapa Papa nggak ngelakuin apa yang sering Papa bilang ke aku selama ini?"

Erick mengepalkan tangannya. Karena Papa nggak mau kalau kamu sampai menjadi seperti Papa, Rel. Sayangnya, Erick tak bisa mengatakan hal itu. Erick tak bisa mengatakan pada putranya, betapa dia ingin melihat Darel hidup selayaknya manusia normal. Erick ingin Darel memliki kehidupan yang baik, memiliki banyak teman, disayangi banyak orang. Tidak sepertinya, tidak seperti Erick yang tidak memiliki kehidupan layak.

Erick tahu dia terlalu egois, tak tahu diri karena selalu berharap, Darel tak akan pernah tahu siapa Erick sebenarnya, tak boleh hidup sepertinya yang bergelimang dosa. Erick tahu Tuhan pasti membencinya, tapi dia ingin Tuhan mau mengasihi putranya.

Karena Darel tak bersalah. Sekalipun ada darah seorang pembunuh di dalam dirinya, namun Darel sama sekali tak bersalah. Dia hanya... seorang bocah kecil yang sangat mencintai Papanya, yang selalu memercayai Papanya, sekalipun dia dibohongi habis-habisan.

"Nggak apa-apa," ujar Darel lagi. Lalu ada senyuman tipis di bibirnya. "sekarang Papa tahu kan, kalau jahatin orang jahat itu nggak salah. Kan mereka duluan yang jahat ke kita, jadi nggak masalah kalau kita jahatin balik." Darel semakin menyeringai puas. "jadi, mulai sekarang, kalau ada yang ngelapor sama Papa karena anaknya aku pukul, Papa nggak boleh ngomelin aku lagi."

Wajah muram Erick mendadak mengernyit setelah mendengar apa yang Darel katakan. Erick pikir Darel akan kecewa padanya, tapi ternyata Darel mengambil keuntungan dari kesalahan Erick. "Tu-tunggu," Erick harus menjelaskan kesalah pahaman ini atau Darel akan membuat banyak masalah setelah ini. "maksud Papa bukan gitu. Kamu nggak boleh pukul orang lain, Rel."

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang