Erick duduk dengan gelisah. Sepanjang hidupnya, baru kali ini Erick merasa kebingungan dan tak tahu harus melakukan apa. Bahkan sejak tadi, selama menunggu Luna kembali dari dapur dan menghidangkan minuman untuk keluarganya, Erick hanya memalingkan wajahnya ke arah lain. Sama sekali tak berani menatap keluarga Luna yang sejak tadi tak berhenti mengamatinya.
Rasa sangat canggung. Demi Tuhan.
Jika saja tadi mereka tidak menemukan Erick dan Luna dalam keadaan seperti itu, Erick pasti bisa menyikapi keadaan ini dengan santai. Tapi, astaga... mereka baru saja melihar Erick mencium Luna dengan sangat tidak tahu malu.
Erick tidak pernah memiliki pengalaman mengenai asmara sebelumnya. Apa lagi berhubungan dengan keluarga kekasihnya. Tidak, Erick tidak pernah mengalami hal itu.
Itu kenapa dia tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan orangtua kekasihnya yang baru saja mendapatinya menciumi putri mereka.
Luna menghidangkan tiga gelas minuman ke atas meja. Lalu duduk di samping Darel yang berada di tengah-tengah antara Luna dan Erick.
Sama halnya seperti Erick, Luna pun merasa canggung setelah apa yang baru saja terjadi. Hanya saja, Luna bisa menyikapinya dengan tenang.
"Kok Papa sama Mama nggak kasih kabar kalau mau datang?" tanya Luna dengan suara senormal mungkin.
Dika berdecak pelan. "Nggak kasih kabar apaan. Dari tadi aku coba telefon Kakak tapi nggak pernah diangkat."
Luna mengerjap, kemudian tersadar kalau sejak tadi dia memang tidak menyentuh ponselnya. Terlalu sibuk bersama kedua lelaki di sampingnya. Dan kini Luna meringis salah tingkah. "Sori. Tadi Kakak lagi di dapur."
"Mereka siapa, Kak?" sejak tadi, Riska adalah orang yang paling merasa penasaran dan tidak bisa menahan rasa penasarannya itu.
Bahkan begitu mendengar pertanyaan istrinya, Aryo melirik istrinya itu dengan tatapan kesal. Aryo tahu, Luna pasti akan merasa sangat canggung jika ditanya seperti itu. Walaupun Aryo juga penasaran, tapi dia ingin membuat putrinya itu setidaknya merasa benar-benar nyaman lebih dulu sebelum menceritakannya pada mereka.
Luna mengulum bibirnya ragu, melirik Erick dan Darel sejenak, sebelum menghela napas dan kembali menatap Mamanya. "Ini Erick, dan ini Darel, putranya." Jawab Luna.
Erick mengangguk kaku pada mereka semua. "Hai Om, Tante, dan hm..." Erick menatap Dika dengan raut bingung.
"Dika. Panggil aja Dika. Adiknya Kak Luna." sahut Dika cepat dengan senyuman ramah.
Dan rasa-rasanya Erick ingin berteriak bahagia saat menemukan senyuman ramah dari salah satu keluarga Luna. Setidaknya, ada satu anggota keluarga kekasihnya ini yang mau bersikap ramah padanya. "Hai, Dika."
"Hai, Bang. Pacarnya Kak Luna, ya?" tebak Dika langsung dengan tatapan penasaran.
Dan ditanya seperti itu, Erick merasa kebingungan. Dia ingin mengakuinya, tapi takut kalau-kalau Luna marah dan tidak nyaman. Bagaimana pun, mengakui seorang lelaki yang telah memiliki anak sebagai kekasihnya dihadapan orangtuanya bukanlah sesuatu yang mudah.
Maka dibandingkan menjawab pertanyaan Dika, Erick lebih memilih memandang Luna, seperti menyerahkan keputusan itu pada Luna.
Luna yang menyadari itu kini membalas tatapan Erick dengan cara serupa, kemudian dia kembali menghela napas sebelum mengangguk pelan. "Iya. Aku sama Erick... berpacaran."

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Ficțiune generalăPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...