Dua Puluh Sembilan

3K 488 16
                                    

Siang ini, setelah selesai memasak, Luna mengajak Darel untuk mendatangi bengkel Erick. Luna bilang, mereka akan membuat kejutan dengan datang tiba-tiba tanpa sepengetahuan Erick. "Tante Luna yakin?" Darel sedang duduk di sebelah Luna yang sedang menyetir. Bocah kecil itu bersedekap sementara wajahnya hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan malasnya.

Luna berpaling sejenak, melirik Darel. Ada senyuman tipis yang tampak bersemangat di bibirnya. Senyuman yang sejak tadi terpatri terus menerus di sana.

Entah kenapa, membayangkan senyuman bahagia Erick ketika nanti lelaki itu menemukannya di sana bersama Darel, hati Luna berdesir hangat. "Kamu takut Papa marah kalau tahu kita ke Bengkel?" balas Luna melemparkan tanya.

Kepala Darel menggeleng santai. "Papa nggak bakalan marah. Apa lagi sama Tante Luna." ada nada tak senang yang mengandung cemburu dalam kalimatnya. Dan hal itu membuat Luna tertawa gemas.

"Jadi, kenapa kamu nanya begitu?"

"Cuma keinget sama yang dulu-dulu itu. waktu pertama kali aku ajak Tante ke Bengkel. Papa lagi pukul orang, terus Tante Luna ketakutan."

Luna mengerjap pelan, kembali teringat akan kejadian yang cukup membuatnya merinding setiap kali mengingat betapa mengerikannya Erick saat itu.

"Kalau kita kesana dan Papa lagi mukulin orang lagi gimana?" kali ini, Darel menolehkan wajahnya ke samping, mengamati wajah Luna dan menemukan perubahan di raut wajahnya. Sejujurnya, tujuan Darel menanyakan hal ini karena dia tidak ingin melihat Luna ketakutan lagi. Apa lagi melihat Luna dan Papanya bertengkar.

Sekalipun semenjak Papanya dan Luna berpacaran, Darel selalu merasa risih melihat kedekatan mereka, akan tetapi, Darel juga merasa senang dengan kebersamaan yang mereka miliki. Darel seperti menemukan sebuah kesempurnaan yang selama ini tidak dia temukan dalam hidupnya.

Dahi Luna tampak mengernyit kala dia memikirkan Erick dan kejadian beberapa waktu lalu. Erick yang mengerikan, Erick yang tidak dia kenali. Rasa tak nyaman itu kembali hadir, namun Luna segera menggelengkan kepalanya, menepis segala spekulasi aneh di dalam kepalanya.

Luna mengulas senyuman tipisnya untuk Darel. "Papa nggak mungkin ngelakuin itu lagi."

"Tante tahu dari mana?"

"Karena Tante percaya sama Papa. Dan Papa tahu kalau Tante nggak suka ngelihat dia berantem."

Bersamaan dengan itu, kini mobil Luna sudah berhenti di depan bengkel Erick. Luna menatap keluar jendela, menemukan Gembul yang berbaring di kursi panjang. Namun sepertinya Gembul menyadari kedatangan mereka, karena kini dia beranjak duduk dan menyipitkan matanya ke arah mobil Luna.

"Kenapa Papa masih biarin Om Gembul kerja di sini, padahal kerjaannya tidur mulu." Dumel Darel pelan dengan nada kesal.

Luna tak menyahut, matanya sibuk mengitari bengkel, mencari keberadaan Erick. Dan manakala matanya menemukan Erick keluar dari kolong mobil, senyumannya mengembang begitu saja. "Yuk, turun." Ajak Luna pada Darel.

Luna dan Darel berjalan memasuki bengkel sembari bergandengan tangan. Di hadapan mereka, Erick mengernyit bingung menatap mereka berdua. Satu lengannya bergerak menyentuh dahinya yang berkeringat dan juga sedikit kotor. Dan tanpa Luna sadari, dia tengah menggigit bibirnya pelan, berusaha menutupi keterpesonaannya pada sosok lelaki bertubuh menawan di hadapannya itu, dimana tubuh itu hanya tertutupi oleh sebuah kaus tanpa lengan.

"Hai Gembul." Sapa Luna pada Gembul ketika dia melintasi lelaki itu. Gembul hanya menganggukkan kepalanya saja, masih sibuk mengamati Luna dan juga Erick.

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang