Tiga Puluh Sembilan

3.1K 382 29
                                        

Sejak Luna menginjakkan kakinya di kantor Polisi, meski dia terlihat sangat tenang, namun sejujurnya dia sedang gelisah bukan main. Ini pertama kalinya Luna berada di tempat seperti itu, dan Luna datang seorang diri. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya Luna dipersilahkan memasuki sebuah ruangan. Banyak sekali meja-meja berjajar rapi dengan masing-masing komputer di atasnya. Banyak sekali lelaki berseragam kepolisian di sana, membuat Luna semakin gelisah.

                Luna diminta untuk duduk di depan sebuah meja dimana ada seorang perempuan yang mulai memberi beberapa pertanyaan perihal kecelakaan yang Luna alami beberapa waktu lalu. Sampai di sana, Luna tidak memiliki kendala apa apun. Dia memberitahu dan menjelasan secara jujur dan juga jelas.

                Semuanya baik-baik saja hingga seorang petugas Polisi datang tergesa-gesa, membisikkan sesuatu pada Polisi wanita yang tadi menanyai Luna, membuatnya terkejut dan seketika menatap Luna.

                Melihat itu, perasaan Luna mendadak tak tenang.

                "Ibu Luna."

                "Ya?"

                "Saya baru saja mendapatkan informasi. Tersangka tabrak lari yang Ibu Luna alami... sudah ditemukan dalam keadaan tewas."

                Luna mengepalkan kedua tangan yang berada di atas pangkuannya. Ekspresi wajahnya sama sekali tak terlihat terkejut memang, namun wajahnya lagi-lagi berubah menjadi pucat. Luna bahkan tidak bisa mengatakan apa pun, keringat dingin membanjiri dahinya.

                Dia sudah mengetahuinya. Demi Tuhan, Luna sudah mengetahuinya, dia bahkan juga tahu siapa yang membunuh orang itu. Tapi ketika menyadari Polisi-Polisi itu telah mengetahuinya, Luna merasa begitu panik.

                Erick...

                Satu-satunya nama yang kini berada di kepalanya hanyalah Erick. Bagaimana kalau mereka mengetahui Erick lah yang membunuhnya. Bagaimana kalau setelah ini Erick akan mendapatkan masalah besar. Tidak. Harusnya Luna tidak perlu merasa sepanik ini, karena bagaimana pun... kecelakaan ini terjadi karena Erick. Luna harus kehilangan keluarganya pun karena Erick. Itu kenapa sejak dia mengetahui kebenaran ini, Luna memilih menjauh sejenak dari Erick. Tidak ingin bicara dengannya, apa lagi menatapnya.

                Luna bahkan menolak ketika Erick menawarkan diri untuk mengantarnya.

                "Ibu Luna?" tegur petugas itu karena melihat Luna yang terdiam kaku dengan wajah pucat pasi. "Ibu Luna baik-baik aja?"

                "Hm?" gumam Luna seperti orang linglung.

                "Kita bisa lanjutkan besok kalau Ibu Luna sedang tidak baik-baik saja." Ujar petugas itu lagi.

                Luna mengangukkan kepalanya setuju. Mana mungkin dia bisa melanjutkan tanya jawab itu lagi ketika kepalanya benar-benar terasa ingin pecah. Bahkan kini Luna berjalan gontai meninggalkan ruangan itu dengan tatapan kosongnya.

                Membayangkan keluarganya harus mati karena Erick, membayangkan Erick yang membalaskan dendamnya dengan kembali melenyapkan satu nyawa. Membayangkan kehidupan bagaimana yang nanti akan Luna lalui jika dia tetap bertahan bersama Erick. Semua itu... sungguh membuat Luna  nyaris kehilangan tenaganya.

                Apa yang harus Luna lakukan? Bagaimana bisa dia hidup bersama lelaki yang menjadi penyebab kematian keluarganya? Dan Erick... dia bahkan tidak bisa menepati janjinya untuk tidak lagi membunuh orang lain.

                Luna menarik napasnya yang tercekat susah payah. Memegang tas di tangannya dengan sangat kuat, seperti usahanya untuk tetap menjadi waras.

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang