Lima

3.6K 675 84
                                    

Erick duduk bersedekap di atas sofa, wajahnya tampak marah memandang Darel yang duduk dengan cara serupa di seberangnya. Bahkan putranya itu menatap tak gentar padanya. "Kemana kamu tadi siang? Nenek Paula bilang setelah makan siang, kamu menghilang sampai guru Les kamu nungguin kamu berjam-jam lamanya di sini."

"Aku main."

"Kemana? Ke tempat Tante Luna lagi?"

Darel menggelengkan kepalanya, "Tante Luna pergi ke rumah orangtuanya siang tadi."

"Jadi kamu kemana tadi?"

"Aku udah bilang kan, aku main, Pa."

"Kemana, Darel?"

"Pos Security."

Kedua mata Erick melebar tak percaya. "Post Security?"

Darel mengangguk santai, lalu bibirnya tersenyum miring ketika berujar. "Lihatin Security minum kopi, makan gorengan sambil main catur."

Erick melarikan jemari ke dahinya, memijatnya pelan ketika merasa kepalanya berdenyut sakit mendengar jawaban putranya ini. Bisa-bisanya dia menghabiskan waktu bersama security berjam-jam lamanya. "Kan Papa udah bilang sama kamu, Rel. Hari ini kamu mulai belajar sama—"

"Aku nggak mau."

"Nggak mau gimana? Tahun depan kamu udah masuk sekolah!"

"Ya udah, belajarnya tahun depan aja di sekolah. Kenapa aku harus belajar sekarang?"

Erick mendengus kuat, benar-benar pintar sekali putranya ini menjawab semua pertayaannya hingga rasa-rasanya Erick ingin memasukkan Darel ke sekolah militer agar putranya itu tidak lagi bersikap semenyebalkan ini.

Erick menghela napasnya, menyandarkan punggungnya ke belakang dengan gerakan lemas. Matanya memandangi Darel putus asa. "Bisa nggak sih, Rel, sekali... aja, kamu dengerin Papa. Capek banget tahu nggak, jadi Papanya kamu."

Darel membuang muka. Masih dengan kedua tangan bersidekap dan kedua kaki yang bersila, dia berujar santai. "Aku juga capek jadi anaknya Papa."

"Kenapa kamu capek jadi anaknya Papa?" protes Erick dengan wajah tak terima.

Darel mencibir pelan. "Papa kenapa capek jadi Papanya aku?"

"Ya kamu sih, nakal banget. Nggak pernah mau dengerin Papa."

"Papa juga nggak pernah dengerin aku."

"Memangnya apa yang nggak Papa dengerin dari ucapan kamu."

Kali ini Darel menatap lekat Erick dengan tatapan tegasnya. "Aku kan udah bilang, aku nggak suka dititipin sama Nenek Paula karena setiap hari Nenek Paula cuma tiduran terus. Aku juga nggak suka disuruh main sama anak-anak di sini karena mereka nyebelin, dan aku nggak mau belajar."

"Kalau Papa nggak titipin kamu sama Nenek Paula, terus siapa yang jagain kamu, Rel?" desah Erick memelas.

Darel mengangkat bahunya ringan, seringan ucapannya setelah itu. "Mana aku tahu siapa yang seharusnya jagain anak kecil berusia enam tahun kaya aku."

Ketika Erick mengerti kemana arah ucapan Darel, Erick mengatup rapat mulutnya. Kini Darel kembali memalingkan wajahnya. Di wajahnya memang tidak terlihat eskpresi apa pun selain raut wajah dinginnya, namun Erick tahu kalau putranya itu baru saja menyindirnya. Erick mendesah berat, kemudian menghampiri Darel, duduk di sampingnya dengan kedua kaki bersila.

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang