Sambil mendorong trolinya, Erick terus menerus mengikuti Luna. Bahkan tanpa dia sadari, seluruh isi trolinya pun serupa seperti isi troli Luna. Erick benar-benar tidak mau membuang satu detik pun kesempatannya untuk mendekati Luna.
"Pak Erick juga beli itu?" tanya Luna, matanya melirik pada sesuatu yang sedang Erick pegang.
Seperti sebelumnya, Erick mengangguk dengan senyuman manisnya. Namun hal itu malah membuat Luna mengernyit.
"Buat siapa?"
"Buat saya."
"Hah?"
"Saya suka kok makan ini." Erick melempar dan menangkap apa yang ada di tangannya itu.
"Dimakan?" ulang Luna terkejut. "Pak Erick... suka makan pembalut?"
Masih dengan senyuman manisnya, Erick mengangguk. Tapi kemudian dia tersadar dan bergegas menatap apa yang sedang dia pegang saat ini. "Astaga!" pekiknya terkejut. Dan dengan tatapan horor serta wajah panik, Erick menggelengkan kepalanya kuat pada Luna. "nggak Bu, Luna. Sumpah! Saya nggak pernah makan pembalut. Bu Luna jangan salah paham, ya. Tadi saya pikir ini bahan makanan, soalnya Bu Luna tadi ambil, jadi..." Erick melempar pembalut di tangannya itu kembali ke atas rak, lalu dia menggaruk belakang kepalanya, memandang Luna dengan cengiran kaku yang terlihat lucu.
Luna saja pun sampai tertawa geli. Benar-benar tertawa hingga Erick tertegun melihatnya. Sejak mereka berkenalan, baru kali ini Erick melihat tawa Luna yang begitu lepas. Dan di mata Erick, Luna terlihat sangat manis, membuatnya tak bisa berkedip saja memandangnya.
Cantik, batin Erick penuh kagum.
"Pak Erick juga pasti nggak butuh ini, ini, sama ini." Luna mengeluarkan beberapa belanjaan dari troli Erick, barang-barang yang seharusnya hanya wanita saja yang menggunakannya, tapi Erick malah memasukkannya ke dalam troli. Melihat wajah malu Erick, Luna kembali tersenyum geli. "Pak Erick sih, ngikutin saya terus dari tadi."
"Ya, gimana dong, Bu Luna kaya ada magnetnya sih." Jawab Erick, masih dengan cengirannya.
"Pak Erick..." tegur Luna. Matanya menyipit kecil seolah memperingatkan. Tapi bukannya terlihat galak, Luna malah semakin tampak menggemaskan di mata Erick.
"Oke, maaf. Yuk, lanjut belanja lagi." Seperti sebelumnya, Erick mendorong dua troli sekaligus. Satu milik Luna, sementara satunya lagi milik Erick sendiri. Dan Erick melakukannya dengan penuh semangat serta senyuman riangnya.
Dari tempatnya berdiri, Luna hanya tersenyum saja memandang punggung Erick. Aneh sekali Erick ini, batin Luna. Terkadang menyebalkan, terkadang menggelikan. Padahal selama ini Luna selalu menjauh dari jenis laki-laki seperti Erick yang senang sekali merayu atau menggodanya secara terang-terangan. Ya, awalnya Luna memang tak nyaman. Tapi akhir-akhir ini Erick sering kali membuatnya tertawa, dan pada akhirnya, Luna merasa nyaman-nyaman saja dengannya.
Tunggu. Nyaman?
Dahi Luna berkerut samar ketika dia menyadari apa yang baru saja terbesit di hatinya. Apa lagi saat ini dia menatap Erick yang menoleh ke belakang, menatapnya, masih dengan senyuman manisnya yang ramah. Erick melambaikan tangannya, menyuruh Luna cepat menghampirinya.
Tidak ada yang aneh sebenarnya dari perlakuan Erick. Tapi entah mengapa, Luna seolah terpaku pada sosok Erick. Pada senyumnya yang ramah, serta kepeduliannya yang akhir-akhir ini sering membuat hati Luna menghangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Ficción GeneralPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...