Sepuluh

3.5K 734 120
                                    

Luna membuka pintu rumah, ada sekantong plastik sampah di tangannya, dan dia berniat membuangnya ke tempat sampah yang ada di depan rumah. Tapi, baru saja dia membuka pagar, Luna terkejut ketika menemukan Darel yang sedang berdiri menyandar di depan pagar rumahnya. "Darel?"

                Darel menoleh, lalu mengerjap pelan. "Hai, Tante." Sapanya dengan suara datar.

                Luna menghampirinya. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya bingung.

Darel tidak mengatakan apa pun, hanya matanya saja yang terus menatap Luna lekat, seperti sedang mencari-cari sesuatu. Dan apa yang Darel lakukan membuat Luna mengerngit heran menatapnya. "Darel?"

                "Maaf." Ucap Darel tiba-tiba.

                "Hm, maaf? Maaf untuk apa, sayang?"

                 "Kemarin Tante Luna nangis gara-gara aku, kan?"

                Luna tertegun seketika. Dia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin pagi di rumah bocah kecil itu. Ya, benar, Luna menangis hanya karena sebuah kenangan yang seharusnya tidak lagi harus dia tangisi lagi.

                Tapi saat ini, bukan hal itu yang membuat Luna tertegun, melainkan ucapan maaf Darel padanya. Sejak sering menghabiskan waktu bersama Darel akhir-akhir ini, Luna mulai mengerti bagaimana sikap Darel. Dan meminta maaf bukanlah perkara yang mudah bagi bocah kecil ini. Darel itu sangat keras kepala, selalu merasa benar dan tidak mau mengalah. Tapi sekarang, dia berdiri di depan rumah Luna pagi-pagi begini hanya untuk meminta maaf?

                Luna tidak tahu mengapa, tapi saat ini, hatinya yang sejak kemarin sedang kacau balau, malah terasa menghangat. Luna tersenyum tipis, dia beranjak sebentar untuk membuang plastik sampah di tangannya ke dalam tempat sampah di depan rumah. Kemudian Luna kembali menghampiri Darel. "Udah sarapan belum?" tanyanya yang dijawab Darel dengan gelengan singkat. "sarapan bareng Tante, yuk? Kamu mau sarapan apa? Nanti Tante buatin. Oh iya, karena kamu juga udah mandi, gimana kalau selesai sarapan nanti, kita lanjutin rencana belajar yang tertunda kemarin?"

                Darel tidak menanggapi. Dia hanya diam, sementara matanya menatap Luna lekat solah sedang mencari sesuatu.

                "Darel?"

                Darel mengerjap lalu menghela napas samar. "Tapi nanti Tante nggak nangis lagi, kan?"

                Kali ini, Luna yang mengerjap.

                "Aku nggak mau lihat Tante Luna nangis kaya kemarin. Aku nggak suka." Ucap Darel lugas. Dan wajahnya masih saja terlihat datar tanpa ekspresi.

                Namun meski begitu, Luna bisa merasakan sebuah kekhawatiran yang tulus dari ucapan Darel. Sebuah ketulusan dari seorang bocah kecil yang sejak pertama kali bertemu dengannya sudah membuat Luna merasa begitu tertarik pada bocah ini.

Darel seperti memiliki magnet dalam dirinya, membuat Luna senang menghabiskan waktu bersamanya, mendengarkan rutukan kesalnya mengenai seluruh orang yang dia anggap menyebalkan, termasuk Papanya. Mengamati wajah kagumnya setiap kali Luna menceritakan banyak hal yang selama ini belum dia ketahui.

                Pasca bercerai, Luna tidak pernah mau mendekatkan dirinya pada siapa pun selain keluarganya sendiri.

Dia menutup dirinya. Bahkan jika saja bisa, dia ingin tak ada satu orang pun di dunia ini yang menyadari keberadaannya. Karena rasanya itu jauh lebih baik dari pada harus kembali menjadi sosok yang tidak diinginkan.

Mungkin orang-orang akan mengatakannya berlebihan, toh bukan dia satu-satunya manusia di dunia ini yang bercerai. Tapi, percayalah, apa yang Luna alami,  apa yang dia rasakan, bukanlah perkara yang mudah.

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang