11

840 51 2
                                    

Gabi mengacak rambutnya prustasi, tugas kimia yang diberikan Bu Nur membuat kepalanya bertambah sakit. Rumus-rumus dan berbagai coretan sudah memenuhi bukunya. Baru tugas kimia, Gabi belum mengerjakan berkas dari sang Ayah, dan belum belajar untuk ulangan esok hari. Rasanya kepala Gabi ingin pecah saja.

Gabi mengambil ponselnya, berniat menghubungi Liora, gadis itu selalu bisa membuat orang tertawa dan pastinya selalu bisa menghilangkan beban pikiran Gabi.

Halo, Gab?” suara disebrang sana terdengar bising, sepertinya Liora tidak berada di rumah.

“Lo dimana?”

Beberapa detik hening, “gue lagi diluar, kenapa?

“Oh, nggak pa-pa.” Gabi langsung mematikan sambungannya.

Pupus sudah harapannya kepada Liora. Kali ini Gabi berniat menghubungi Revan, lelaki itu tidak ada mengiriminya pesan seharian ini, dan juga tidak ada menyuruh Gabi untuk ketemuan.

Halo?” bukan suara Revan, tapi suara gadis yang Gabi yakin 100% itu adalah Laura.

Gabi langsung mematikan sambungannya, terlalu malas berbasa-basi dengan gadis itu. Entahlah, padahal Laura itu baik tapi Gabi seperti tidak menyukainya.

Sedangkan disebrang sana, Laura mengerutkan alisnya, belum berbicara apapun tapi panggilan sudah terputus.

“Siapa yang nelpon?” tanya Revan duduk di single sofa. “B, nggak tau deh siapa,” ucap Laura duduk di karpet berbulu, menemani Lala bermain robot-robotan.

Revan mengambil ponselnya, ternyata Gabi yang menghubunginya, tumben sekali. Sengaja Revan beri nama B agar tidak ada yang tahu itu adalah Gabi.

Seharian ini mereka tidak ada berkomunikasi, Revan terlanjur panas saat melihat Gabi berduaan dengan ketos itu—Ardi—di kelas. Dan lagi, tadi Revan berniat memanas-manasi Gabi saat di parkiran—memakaikan helm kepada Laura—tapi respon gadis itu tetap sama, cuek.

“Bang, kemarin kata Kak Rara ada orang gila,” ucap Lala memulai sesi ceritanya. Revan yang ingin menelpon Gabi pun menundanya dan meletakan ponselnya di meja.

“Orang gila? Dimana?” heran Revan. “Depan rumah,” gadis kecil itu menunjuk kearah pintu yang tertutup.

“Emang bener, Lau?” tanya Revan. Sedangkan Laura sudah cengengesan. “Tuh liat, kak Rara cengengesan, berarti boong,” cibir Revan.

“Enak aja! Orang beneran ada orgil kok!” sahut Laura tak terima. “Siapa orgil nya? Lo kali orgil,” cibir Revan.

“Ya kamu lah! Kan kamu yang kemarin sama aku pas sore,” ucap Laura memasang tangan robot yang lepas.

“Enak aja! Ganteng-ganteng gini dikatain orgil.” cowok itu menyisir rambutnya dengan wajah angkuh.

“Tuhkan gila nya kumat. Yuk La, kita ke kamar aja, nggak usah temenin abang,” ajak Laura buru-buru mengemasi mainan dan mengajak Lala ke kamarnya.

“Awas lo, Lau! Nggak gue temenin ke mall,” ucap Revan setengah teriak. “Bodoamat!” balas gadis itu.

Untung saja Mami nya sedang di rumah tetangga, kalau tidak pas Revan akan terkena omelan karena teriak-teriak. Laura? Gadis itu terlampau disayangi sang Mami.

Revab mengambil ponselnya, sudah pukul 21.15, pasti Gabi belum tidur. Tentang Laura yang kenapa belum pulang jam segini, itu karena rumahnya disebrang rumah Revan, lagian juga gadis itu terbiasa tidur dengan Lala dan subuhnya baru pulang ke rumah. Nasib jadi anak tunggal, suka kesepian.

Sambungan terhubung, tapi tidak diangkat. Kedua, ketiga, dan yang keempat baru diangkat.

“Lama banget lo angkat telfon,” cibir Revan.

GR [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang