28. Clear

1.8K 191 51
                                    

sofiastetic, 2021


Rea dengan wajah pucatnya duduk di sebelah Mama dan Papa Berlin. Saat ini mereka sedang berada di ICU karena Berlin yang kehilangan banyak darah membuatnya harus mendapatkan penanganan yang intensif.

Mawar tidak henti-hentinya menangis di pelukan sang suami, Tama. Wanita itu menyesal karena banyak yang ia tidak tau tentang anaknya sendiri. Apa yang telah dialami anaknya selama ini dan apa yang ada dipikiran anaknya hingga mampu melukai dirinya sendiri seperti tadi.

Rea menyandarkan tubuhnya di kursi sambil memejamkan katanya, tangannya bergetar hebat karena hal yang sama kembali terulang.

Suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar. Teressa, Natta, Abrisam, Jarvas, dan Ansel yang menangis berlari menuju ke arahnya. Tetapi tidak membuat Rea membuka matanya. Ia masih takut melihat Berlin yang lagi-lagi sekarat seperti tadi di hadapannya.

"REA!" teriak Ansel dengan suara yang bergetar, gadis itu memeluk tubuh Rea yang penuh dengan noda darah di bajunya. Sedangkan Natta dan Teressa menemui kedua orang tua Berlin yang terlihat sangat khawatir.

Tidak lama, tubuh Rea bergetar karena tangisannya. Ia benar-benar menahannya sejak tadi karena tidak akan mungkin dirinya menangis di hadapan orang tua Berlin. Ia harus menguatkan mereka dan berharap Berlin akan baik-baik saja bukan?

Ansel menepuk pelan punggung Rea. Jarvas yang melihat itu terdiam, begitu juga Abrisam yang sekarang sudah menyandarkan tubuhnya di tembok dengan wajah khawatir. Bagaimana tidak? Pacarnya terluka dan ia terlambat mengetahuinya?

Pacar macam apa gue? Aku minta maaf, Berlin. Please, bangun ya? Aku kangen sama kamu. batin Abrisam sendu.

Setelah beberapa menit, Rea menghentikan tangisnya walaupun dirinya masih sesenggukan. Orang tua Berlin sedang berada di kantin rumah sakit atas suruhan Teressa agar nanti jika Berlin sadar, mereka ada tenaga.

Ansel dan Natta juga berada di kantin untuk membelikan Rea minuman agar gadis itu tenang. Jarvas duduk tepat di sebelah Rea, membuat gadis itu perlahan menengokkan kepala ke arah Jarvas.

"Udah tenang?" Rea hanya mengangguk sebagai jawaban.

"L-lo ngapain d-disini?" tanya Rea.

"Gue lagi sama anak-anak di tongkrongan dan Abrisam dikasih kabar buruk kayak gini, makannya gue ikut takutnya tuh anak kenapa-kenapa." Rea mengalihkan pandangannya ke arah Abrisam yang duduk di bangku seberang sana dengan tatapan kosongnya.

"Gimana bisa kejadian kayak gini lagi, Re?" tanya Teressa yang sudah berdiri tepat di depan Rea. Rea mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, kemudian menjelaskan kejadian dimana Berlin dibentak oleh Papanya hingga seperti sekarang ini.

Jarvas yang mendengar semua cerita itu pun terdiam.

Ternyata emang jadi anak orang kaya gak seenak apa kata orang. batinnya.

"Gila, gue kaget banget dan gak bisa ngomong apa-apa tadi. Abis lo telfon gue, gue langsung ngehubungin yang lain. Apa ini juga faktor dia ngejauhin kita?" Rea mengangguk. Karena memang benar, apa yang dikatakan Papa Berlin tentang teman-teman yang tidak benar itu, ya mereka.

Ketika mereka berbincang sebentar, sebenarnya Jarvas sesekali memperhatikan gadis itu. Ia tidak pernah melihatnya sesedih tadi apalagi hingga menangis sesenggukan.

Lo gak mungkin nyulik Tandrea kan, Re? Lo gak mungkin sejahat itu kan?

Dokter keluar dari ruangan setelah 2 jam lamanya, membuat Rea dan yang lain refleks berdiri.

RAJARVASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang