Sosok itu berenang dari lautan lepas, lantas menepi di sebuah karang, dekat dengan gua kecil. Saat memasuki gua, ia menyeret ekornya yang menyerupai ikan, namun setelah keluar, ekor itu menghilang, berganti dengan kaki panjang yang sesuai dengan proporsi tubuhnya.
Satu kata yang cocok guna menyebutnya, Sempurna. Sayang sekali, dia lebih tampak seperti orang gila karena kesulitan memakai pakaian basah yang ditemukannya mengambang di lautan.
Pakaian itu berupa kaos lengan panjang berwarna hitam, karena ukurannya yang terlalu besar untuk tubuh si pemakai, bagian bawahnya menjuntai sampai sedikit di atas lutut.
---
"Matahari mulai tenggelam, ini saatnya istirahat!" Seru Joseph tiba-tiba, para peneliti yang ada di dalam pun seketika bersorak ria. Beberapa dari mereka mulai berhamburan keluar untuk segera kembali ke hotel, sebelum jam malam dilaksanakan.
Usai menaruh snelli-nya di almari, Liza menatap punggung Andrew yang masih berkutat dengan pekerjaan, seolah tak tertarik dengan jam istirahat yang cukup panjang ini, "Andrew, kau tidak mau kembali ke hotel?"
"Kau duluan saja, masih ada yang harus ku urus," sahutnya tanpa berbalik.
Dua puluh menit berlalu, ruangan sudah sepi, hanya ada dua security di depan. Andrew melangkahkan kaki hendak istirahat menuju hotel, tapi baru beberapa langkah terlewati, ia terdiam di tempat.
Lelaki itu akhirnya berbalik, dan memilih jalan yang lain, menuju pantai.
Sesampainya di pesisir pantai, ternyata sedang ada pasar dadakan. Sore menjelang malam yang gelap itu kini dipenuhi warna-warni lampu, riuhnya suara pedagang dan pembeli, tampak lebih mewarnai pemandangan tersebut. Andrew segera menyalakan kamera ponselnya, tak ingin menyia-nyiakan keindahan alam yang terjadi secara spontan.
Setelah berhasil memotret pemandagan lautan manusia di senja yang penuh warna tersebut, Andrew menepi di pagar pembatas sambil mengotak-atik ponselnya, melihat jepretan gambarnya yang cukup sempurna, "Manusia sebenarnya juga sangat indah, sayang mereka punya sikap egois dan tamak."
Saat tengah menyibukkan diri dengan melihat hasil potretnya, suara genjrengan gitar tiba-tiba terdengar.
Para pemusik seni jalanan baru saja memulai pertunjukan, lagunya yang dimainkan dengan penuh perasaan, mampu memikat banyak orang untuk datang, termasuk Andrew. Dia menyela untuk mendapat posisi terbagus, karena berniat memotret mereka juga.
Ketika sedang memfokuskan titik terbaik kamera, seseorang berpakaian basah menyenggol lengannya, hingga ponsel pun seketika jatuh.
Andrew mendengus kesal, terdapat seorang anak perempuan yang bermain-main, berlari kesana kemari. Beruntungnya ia masih punya hati karena perilaku anak kecil, tapi yang disayangkan, benda pintar miliknya bukan keluaran terbaru, terjatuh sedikit saja sudah retak di salah satu sudut layarnya. Ia mendengus menyadari sesi potret memotret harus berhenti sekarang juga.
Andrew pun memilih kembali ke hotel, namun di saat bersamaan ia melirik salah satu stan barang antik—ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Pria baya pemilik stan segera mengetahui, ia pun mengambilkan benda yang jadi pusat tatapan Andrew, "Ini kamera antik, masih berfungsi dengan baik."
"Keluaran tahun berapa?"
"Sekitar akhir 90-an, kalau kau mau ambil, aku akan berikan diskon. Hari ini toko cukup ramai, kau bisa berbelanja lebih murah."
"Kalau begitu, boleh ku coba dulu?" Penjual mempersilahkannya, Andrew pun mengarahkannya ke segala sudut yang ia lihat, tapi bidikan pertamanya berhenti spontan pada sosok gadis bersurai sepanggul yang sedang melihat ikan di aquarium pajangan toko.
"Bagaimana, masih bagus kan?"
Andrew tak menjawabnya, atensinya kini beralih fokus pada gadis itu. Sepertinya dia orang yang sama dengan yang sudah membuat poselnya rusak tadi, ternyata bukan lagi anak-anak, hanya saja tubuhnya kecil dan kurus.
"Baiklah, aku ambil ini," ia meletakkan beberapa lembar ke atas meja.
"Ini terlalu banyak," ujarnya seraya mengembalikan beberapa lembar.
"Tidak apa-apa, ambil saja."
Pria itu menolak dengan halus, "Ah, jangan begitu. Atau ambil lagi saja satu barang yang kau inginkan, akan ku bungkuskan," setelahnya dia menawarkan beberapa barang dagagannya yang lain.
Semua barang di toko tersebut tak ada yang menarik baginya, kecuali kamera. Namun, saat melihat ke atas, tepatnya pada gantungan kerang merah mengkilap, ia jadi sangat menginginkannya.
Mengerti apa yang sedang Andrew lihat, si pedagang tersenyum, "Kau mau kerang merah itu?"
"Apa sisa uang yang tadi masih cukup untuk mengambil barang itu?"
"Tentu, biar ku bungkuskan kalau begitu," dia kemudian membungkusnya rapi sedemikian rupa. Sebelum memberikannya pada Andrew, ia berbisik, "Orang-orang bilang, benda ini bisa menarik perhatian siren. Kau tahu kan, makhluk manusia setengah ikan itu?"
Andrew tersenyum lebar mendengarnya, mengira pria itu sedang bercanda, "Iya, aku akan sangat berhati-hati kalau begitu."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...