_43 Neverending Story

330 67 3
                                    

Andrew memasuki ruang kerja, memakai snelli lengkap dengan peralatan khusus untuk identifikasi benda-benda temuan dari zaman praaksara. Pekerjaannya senantiasa berkecimpung dengan masa lalu, tak memungkiri dirinya hampir lupa dengan momen lampau yang pernah dialami sendiri.

Dari sudut mata, Liza tampak fokus pada kedatangan lelaki itu sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan karena takut terpergok sedang mengamati.

"Ini arca pahatan dari batu asli ya... pantas masih bagus walaupun sudah lama terendam air laut," ungkap Joseph sambil mendorong benda berukuran setengah meter tersebut tepat di depan Andrew. Otaknya sudah terlalu jenuh membuat spekulasi-spekulasi baru tiap detiknya, lebih baik melempar tanggungan pada orang yang baru datang dengan kepala segar belum tertumpuk beban.

Andrew pun sigap menangkap, tidak membiarkan arca tersebut jatuh menimpa lantai karena kecerobohan sang rekan. Mengusap permukannya sejenak sambil bergumam, "Kemungkinan dibuat pada era berdirinya kerajan-kerajaan kecil. Tapi ada kemungkinan bukan dari negara kita, seperti budaya tetap turun temurun, arca biasanya banyak digunakan orang-orang asia—dari segi bentuk saja sudah sangat kelihatan bukan dari benua eropa."

Ella menopang dagu, terlihat seperti menanggapi Andrew, namun ternyata pandangan mata justru beralih pada Liza yang diam-diam terus memandangi si River—dengan tatapan memuja, "Apa itu maksudnya dia terbawa arus air dan tersesat sampai di sini?"

"Entah, agak mustahil karena terlalu non-logis. Seharusnya jika memang dari asia, paling tidak ditemukan di sekitaran samudra hindia atau pasifik... ini sampai ke atlantik." Joseph segera menyahut, ikut menopang dagu di samping Ella.

"Arus air itu kuat, jangan meremehkan," sela Andrew.

"Bukan, tapi menurutku ini perbuatan siren."

Joseph dan Ella spontan saling pandang ketika mendengar ungkapan Liza, keduanya kompak mengangguk, namun disertai tawa mengejek, "Bisa saja iya." Sementara Andrew terdiam.

Siren. Nama itu membuat ingatannya mendadak terjun ke dalam samudra, merasakan hawa dingin ketika air laut menyentuh kulit.

Andrew spontan menggeleng, menarik kembali kesadarannya, "Hey, apa yang kalian bicarakan? Mari bekerja jangan bercanda."

"Baik Tuan Andrew River!"

Pria itu mengusap dagu, 'Siren ya?'

---

Petang ini, usai menyelesaikan pekerjaan di gedung penelitian milik pemerintah setempat, Liza membawa Andrew pergi ke tepi pantai untuk sekedar memandang sunset.

Keduanya merasakan deja vu pada tempat tersebut. Pantai yang menjadi saksi pertemuan pertama Andrew dengan sosok siren perempuan yang jelita namun dapat menjadi monster juga.

"Andrew, aku minta maaf."

Pria itu sontak mengernyitkan alis, tidak ada pembicaraan sejak tadi, tapi Liza mendadak meminta permohonan maaf, "Untuk apa?"

"Perkataanku selama ini—terutama beberapa hari terakhir setelah aku tahu siapa Seanna yang sebenarnya."

Andrew mengangguk, memahami maksud dan arah pembicaraan tersebut, "Entahlah, ku rasa kau tidak mengatakan hal buruk semacam apapun, tapi memang... mungkin kau mengkhawatirkanku, jadi menyalahkan orang lain, maaf kembali dan terimakasih."

"Kira-kira bagaimana kehidupannya di sana ya?" tanya Liza sambil berjongkok, mengambil sebuah cangkang kerang tanpa pemilik, lantas melemparkan pada ombak yang tengah menggulung pesisir.

"Siapa? Sea?"

"Bukan cuma Sea, tapi para siren. Aku sangat penasaran tentang keberadaan mereka."

"Ku rasa sudah baik-baik saja selagi waktu berjalan," jawaban Andrew terdengar yakin dan santai, namun lain dari hati, ia sendiri pun penasaran—terlebih tidak begitu yakin dengan keadaan Sea. Apakah dia selamat dari kejaran para bedebah waktu itu?

"Dulu kita selalu berselisih pendapat mengenai makhluk mitologi, aku yang terlalu fanatik dan kau yang selalu berpikir realistis dengan keadaan."

Andrew menyela sambil tersenyum kecil, "—tapi justru aku yang lebih dulu dipertemukan dengan makhluk itu."

"Memang takdir," percakapan keduanya berakhir sampai di situ saja, membiarkan suara deburan ombak memenuhi ruangan terbuka tersebut. Liza sakit hati memikirkan Sea, entah mengapa masih terselip rasa kebencian pada siren itu meski sosoknya sudah lama tak muncul di depan mata. Mau bagaimanapun, Sea berhasil mengambil seluruh atensi Andrew, dimulai dari jiwa, kenangan, dan kenangan indah antara mereka.

Matahari pun tenggelam sepenuhnya, menghadirkan kegelapan yang dibawa oleh temaram bulan sabit di langit berbintang.

Usai mengantar Liza ke penginapan, Andrew bukannya pergi beristirahat ke ruangannya, pria itu justru berniat kembali ke pantai. Melihat ombak, pasir, dan batuan karang sedikit mengobati kerinduannya terhadap sosok siren yang senantiasa terkenang dalam jiwa.

Tepat saat berada beberapa meter di tepian, seorang gadis beraurai panjang sepinggang tengah duduk bersimpuh di tempat ia dan Liza mengobrol tadi. Dari postur dan setiap jengkal tubuh, Andrew merasa tak asing—sosok itu benar-benar mengingatkannya terhadap Sea yang dirindukan.

Entah hanya halusinasi, ilusi, atau sekedar mimpi. Wajah jelita gadis itu tampak jelas ketika berbalik. Keduanya sama-sama terkejut.

"Sea!" seru Andrew tak terbendung sembari mendekati gadis itu, "Kau Sea siren kan? Aku tidak mungkin salah orang."


History Song Of The Sirens [] Lee knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang