Usai memesan americano dan lime juice, Peter kembali ke meja ujung di mana Andrew sudah duduk lebih dulu ditemani box medium berisi ayam bumbu. Peter duduk di depannya tepat saat lelaki itu mulai bicara, "Selama ini kita memang penasaran dengannya, tapi seperti yang pernah ku katakan, kita berhak tahu tapi tidak untuk mengusik kehidupan mereka apalagi ikut campur dalam hal perkembang biakan. Mereka sepertinya punya akal dan perasaan sama seperti kita," Andrew meletakkan lima keping sisik di tengah meja.
"Lalu kau mau apa? Melepaskannya?" Tanya Peter tak yakin, pasalnya Andrew tak mungkin berbuat nekat seperti itu hanya untuk alasan hidup seekor ikan besar menyerupai manusia. Karir yang dikejar selama ini bisa saja langsung sirna, "Kita hanya bawahan yang harus tunduk pada atasan, bro. Lagipula untuk kali ini sepertinya atasan benar, kita hanya berusaha mencari tahu dan menyelamatkan habitat mereka."
Andrew sontak mendelik, "Jadi sekarang kau pro dengan atasan? Kau pernah bilang setuju dengan pendapatku."
"Kau tahu alasan makhluk itu hampir tidak pernah muncul di depan kita, bahkan sampai dianggap sebuah mitologi?" Peter balik bertanya setelah menghela napas, sebab rekannya itu tampak memalingkan wajah ke jendela, "Selain karena kecerdikan bersembunyi, tapi pasti juga memang jumlahnya tinggal sedikit. Kalau masih banyak, makhluk sebesar itu akan mudah ditemui seperti paus."
Lama terdiam, Andrew kembali menatap Peter seraya mengantungi sisik yang berceceran di atas meja, takut jadi pusat perhatian orang-orang yang melintas di dekat mereka, "Aku hanya teringat cerita seseorang, tentang siren yang mampu menghancurkan manusia melalui tatapan mata dan sentuhan."
"Menatap mata mereka akan jadi gila dan menyentuh bisa kejang-kejang sampai berakibat kematian itu? Dari sekian banyak orang di sini, semua sudah menatap mata siren itu, termasuk kita. Lalu apa ada gejala gila padamu? Yang lain juga baik-baik saja."
Andrew menukikkan alis, ia pikir si letnan akan beralih pendapat sama sepertinya, tapi tampaknya Peter juga punya hasil pemikiran sendiri. Dia tidak condong pada atasan namun juga tak membenarkan ungkapan Andrew, hanya saja terdengar lebih setuju keputusan atasan tentang penelitian yang akan dilakukan pada siren berekor emas itu, "Dengar, kita tidak tahu pertahanan tubuh seperti apa yang dilakukan makhluk itu, mungkin menyerupai ular yang mempunyai bisa, atau racun ubur-ubur, juga bahkan sengatan belut laut."
"Jadi kau ini lebih khawatir pada siapa? Manusia atau siren?" Peter bertanya jengkel.
"Ciri fisik tubuh kita dan mereka hampir sama, aku yakin cara komunikasi juga tidak jauh beda. Karena itulah, sebagai sesama makhluk berakal, tidak adil jika kita memperlakukan mereka seperti binatang. Mereka tidak akan pasrah seperti kodok dan tikus jika akan dijadikan bahan penelitian."
Peter bersidekap dada, "Hipotesis Charles Darwin tentang di mana manusia merupakan revolusi dari kera tidak membuktikan kebenaran ucapanmu, kera punya otak tapi mereka tak berakal. Sekalipun fisik memang menyerupai manusia, hanya kitalah satu-satunya yang punya akal. Dan pastinya berlaku untuk makhluk bernama siren itu."
"Sekarang kita berurusan dengan makhluk mitologi, bukan saatnya membahas teori para ilmuwan. Tidak pernah ada ilmuwan yang menyampaikan pembahasan tentang keberadaan siren atau sejenisnya, semua hanya dianggap legenda," Andrew melebarkan mata membuat nyali Peter menciut seketika, ia langsung menunduk dalam.
Pesanan sampai, cukup menghilangkan aura sengit yang terjadi diantara keduanya. Peter menyedot americanonya sampai kosong hanya dalam sekejap, "Ah, ya sudah lah! Terserah kau saja. Lagi pula kalau makhluk itu mati juga bukan urusanku," setelah itu ia pergi meninggalkan si rekan sendirian.
Andrew hanya menatap tenang punggung Peter yang makin menjauh, sementara pikirannya melalang buana ke akuarium besar di gedung oseanografi, 'Warna mata siren itu mengingatkanku pada Sea, sudah lama aku tak bertemu dengannya.'
---
'Berkat ulah kalian yang berniat menghancurkan Sea, seluruh kaum kita akan terancam. Manusia sudah tahu, mereka menangkap Sea dan kita selanjutnya. Puas kalian?! Puas!' Luke menuding lima siren berekor gelap, pelaku pengeroyokan Sea. Mereka mengaku sendiri jika hampir sebagian ekor Sea hancur.
Meski trisulanya sudah kembali, namun salah seorang anggota menghilang jadi masalah utama. Dibanding trisula, bagi Luke, kebersamaan sesama koloni lebih dipentingkan, 'Mulai sekarang, jangan ada yang keluar dari wilayah palung karena manusia sangat menghindari wilayah itu. Tentunya kecuali kalian, sampah-sampah sepertimu lebih cocok dijadikan santapan hiu,' ia menuding kelima tersangka.
Luke menodongkan trisula ke arah mereka, 'Siren sekarang tidak jauh berbeda dari manusia, tamak, keras kepala, dan saling menghancurkan. Tahu seberapa menderitanya Sea di sana?! Kalian mau menggantikannya?!'
'Luke tenanglah,' sahut pria yang lebih tua, beliau putra dewa yang sebelumnya. Putra atau keturunan dewa adalah sebutan untuk lelaki siren yang lahir dari bentuk pengabulan do'a untuk poseidon. Mereka umumnya punya masa hidup paling lama, walaupun semua siren memang berusia hingga ribuan tahun.
Luke menjadi khawatir akan apapun yang menyangkut kaumnya, karena ia berusaha me jadi bertanggung jawab atas segalanya, 'Aku akan membawa pulang Sea dengan selamat, tidak boleh ada yang keluar dari palung selagi aku belum kembali,' ujarnya meyakinkan, 'Setelah urusan di daratan selesai, kita akan pindah ke perairan yang paling dihindari manusia. Aku dan Sea pasti kembali, pasti.'
'Luke, kau yakin akan menyelesaikannya sendirian?' Tanya pria itu lagi.
'Membawa lebih banyak siren ke daratan akan membuat semuanya semakin kacau.'
To be continued...
Han Jisung
As
Letnan Peter Han
"Kalo ga mau support penulisnya, gua pukul loe"
:v canda kawans
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...