_16 Best Stranger

347 119 0
                                    

"Ah, gagal pulang. Aku justru terjebak di sini," niat awal memberi kejutan pada sang ibu yang tentu menunggu kepulangannya, Andrew harus menghentikan waktu dengan duduk diam menunggu para angkatan mengurusi kegiatan mereka. Andai saja ia pulang dengan kapal penumpang atau pesawat, sekarang pasti sudah berada di rumah dan memasak porchetta bersama ibu. Bukannya memandang malas orang-orang yang ribut karena kehilangan artefak.

"Andrew, sepertinya kau tidak bisa ke ibu kota sekarang. Kapal ini akan kembali berlabuh di kota asalnya," celetuk Peter yang baru saja datang, wajahnya pucat dan berkeringat, dia pasti juga jadi sasaran amarah kapten.

"Yah, takdirnya memang aku bekerja di sana dan belum diijinkan pulang."

Si letnan mendengus, ketimbang mengasihani seorang arkeolog, ia lebih prihatin pada diri sendiri. Peter hampir tidak pernah menjenguk kampung halaman karena tugasnya sebagai abdi negara, "Tidak ada seminggu lagi kau pulang kan."

"Yah, tapi ibuku... orang tuaku itu tinggal satu, sendirian pula. Anaknya juga tersisa satu, kasihan kalau tidak ada yang menemani," membayangkan bagaimana ibu makan, tidur, nonton serial televisi sendirian membuatnya sedih, andai saja Arina masih ada, ibu pasti bisa hidup lebih baik tanpa merasakan kesepian. Wanita itu tak mengatakannya, namun Andrew merasakannya.

"Ayah tirimu?"

"Dia bahkan tidak pernah pulang, sekalinya pulang hanya minta makan," matanya memandang Erick yang terus memberontak saat hendak diborgol, "Anaknya juga menyusahkan, sekarang jadi pengedar barang haram."

Peter turut merasakan kesedihan itu, ia hanya bisa menepuk bahu si kawan sambil memberinya saran terbaik, "Hubungi terus ibumu, sesering mungkin. Aish! Bgaimana dia bisa menikah dengan pria tidak bertanggung jawab seperti itu."

"Hah, itu kesalahan paling fatal!" Mendadak, aura sendu berubah menjadi penuh emosi. Andrew menatap nyalan Peter seolah hendak menyerangnya, "Ibuku dijodohkan dengan pria itu gara-gara tinggal sekompleks, orang-orang khawatir kalau ada janda atau duda, katanya membawa sial. Misalnya perusak rumah tangga orang lain. Dasar..."

"Harusnya kau pindah rumah lah!"

"Dulu kami tidak punya uang untuk melakukan itu! Kalau saja bisa, sudah ku bungkam dengan uang semua mulut sampah itu."

Peter menepuk pelan pundaknya, berharap Andrew lebih tenang, "Sekarang kan kau sudah kaya, kenapa tak segera membungkam mereka?"

Andrew menuding Erick, "Ibuku yang tidak mau, dia sangat sayang pada si pengedar narkoba itu. Wajar, dia mulai dirawat sejak remaja."

Alarm berbunyi, keduanya segera menghentikan obrolan. Peter bersiap kembali bertugas, sementara Andrew berkemas sebab mendapati pemandangan pelabuhan sudah dekat, ia menghentikan Peter sejenak, "Nanti malam ada waktu?"

Ia sontak menggeleng yakin, "Pastinya tidak, artefaknya dicuri, aku mungkin tidak akan bisa beristirahat. Ada yang ingin dibicarakan? Atau--kau mau mengajakku berkencan!"

"Sialan!" Maki Andrew seraya berlalu meninggalkan ruangan, tak lupa menyabet ransel miliknya, "Nanti saja, kalau ada waktu telepon aku, sebuah rahasia besar segera ditemukan," jawaban itu mendatangkan tanda tanya besar untuk Peter.

---

Setelah melewati beberapa jam karena harus diperiksa saat turun dari kapal, Andrew mendesah lega seraya mendorong pintu besi di hadapannya, senyum mengembang, tak lupa sapaan ia lontarkan, "Elizabeth, Joseph, Marcella..."

Joseph terjungkal, "Woo! Tiba-tiba kembali?!"

Andrew mendengus seraya menatapnya dari atas, "Kabar buruknya belum sampai sini?"

"Sudah," ujar Ella kemudian, ia menunjukkan artikel non-resmi di ponsel.

Joseph bangkit lalu segera berlari ke arahnya, "Kabar apa? Kenapa aku tak tahu? Sebenarnya ada apa?"

"Artefaknya dicuri, Joseph. Saat mereka disibukkan dengan pemergokan kapal ilegal pengedar narkoba."

Belum benar-benar membaca artikelnya, pria jangkung itu sudah panik tiada kepalang. Mondar-mandir ke sana kemari, "Dicuri?! Hilang?! Di tengah laut?! Tidak mungkin."

"Mereka bilang pencurinya menyelam, ada jejak tetesan air di ruang penyimpanannya," Andrew meletakkan ransel seraya menarik kursi di depan Liza, gadis itu masih sibuk dengan mikroskop, tak mempedulikan keributan di sekitar. Ia menunduk, mengarahkan pandangan pada telapak yang masih menggenggam kepingan sisik dari kapal tadi,  'Andai saja pelakunya memang bukan manusia, pencarian ini akan sia-sia.'

Kembali mengedar rasa penasaran, ia menumpu dagu, memikirkan bagaimana kronologi yang palinh cocok antar kejadian, 'Artefaknya ditemukan di dasar laut, sementara itu kembali menghilang dan pelakunya membawa jejak tetesan air, jadi sebelumnya dia pasti menyelam. Lalu sisik itu ku temukan di laut, sedangkan yang ini di kapal. Oh, aku sudah cocok jadi detektif.'

'Artefak menghilang saat pukul 13. Bertepatan dengan CCTV yang dirusak, tepatnya di zona landas kontinen, manusia tidak mungkin kuat menyelam sampai sana. Jadi pelakunya jelas pemilik sisik ini,' ia kembali menguatkan genggaman, 'Dia mengambil artefaknya, karena kemungkinan itu memang milik bangsa mereka. Jenius!'

"Jadi kira-kira dia ini apa?"

Liza menoleh, Andrew sontak tersenyum lebar.

---

Sepasang mata yang sempat memergoki keberadaan Sea adalah salah seorang anggota pengedar narkoba itu, dia Erick, adik tiri Arkeolog Andrew yang kini berusaha keras menahan agar tak dibawa ke kantor polisi, "Aku sungguh melihatnya, ikan--ah, dia siluman!"

"Bicara apa kau ini?! Katakan saja, pasti anggota kalian yang mencurinya, kita ditengah laut dalam, tidak mungki ada pihak lain!" Sela kapten seraya melempar borgol pada letnan yang memegangi kedua tangan Erick.

"Aku benar-benar melihatnya, putri duyung dengan ekor yang tajam, siripnya ada di pinggang belakang dan pangkal lengan. Dia mencuri benda emas itu," ujarnya, sayang sekali kebenaran itu hanya dianggap angin lalu oleh semua orang yang mendengar.

"Bicara apa anak ini, cepat borgol!"

To be continued...

History Song Of The Sirens [] Lee knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang