Mata gadis itu menajam, membuat Sea segera menjauh. Sementara Andrew berusaha menjelaskan, "Ini tidak seperti yang kau lihat, ka-kami bukan—"
Liza hanya diam, tapi tatapannya penuh intimidasi. Tanpa sepatah kata, ia berbalik hendak pergi, namun Herlinda menghadang langkahnya.
"Anak-anak, ada apa ini?"
Tak berniat menjalani perdebatan lebih lama, Liza tersenyum canggung sembari berlalu, "Bibi, aku tiba-tiba ada panggilan ke kantor. Aku permisi dulu ya, lain kali kita bisa makan siang bersama."
Ibu menatap tajam kedua insan yang masih berada di dalam, "Kalian membuat kesalahan padanya?"
Andrew tak membalas, langkah lebarnya segera menyusul Liza yang mungkin baru sampai di halaman depan rumah.
"Liza salah paham, bu," Sea menyahut lirih, kepalanya tertunduk penuh sesal. Apalagi melihat sikap Andrew yang kelihatan sangat peduli akan perasaan gadis itu.
Memang benar apa yang orang katakan mengenai persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah murni tulus sesuai pengucapannya, Liza sudah sangat lama mengaggumi Andrew, lantas apa yang dirasakan Seanna juga sama seperti dirinya. Hal itu membuat pikirannya mendadak dipenuhi deskripsi buruk tentang Sea.
Sampai di depan batas halaman antar rumah mereka, Andrew menghalangi langkahnya, "Kebetulan setelah kejadian itu kami jadi sering bertemu karena ternyata Seanna penyuka... binatang laut. Aku dan dia jadi sering berbagi pengalaman dan ilmu, ini benar-benar murni kebetulan, aku tidak punya hubungan dengannya."
Penjelasan itu muncul dadakan, Andrew juga kelihatan bicara gagap dan cepat. Sesuai yang dilihat, Liza mulai merasa tenang karena lelaki itu menjelaskan tanpa perlu ditanya, apakah Andrew merasa bersalah? Atau dia mulai sadar mengenai perasaan Liza yang selama ini terpendam sendirian?
Melihat respon Liza yang hanya diam, Andrew dengan sadar menggenggam kedua tangan Liza, "Kejadian yang kau lihat barusan juga murni kecelakaan, oh ayolah... percaya padaku."
Peristiwa itu lagi-lagi tertangkap mata Sea—yang tengah berdiri di ambang pintu.
Liza menahan senyum, "Lalu kenapa dia kemari? Dan kenapa kau membawanya ke lab pribadimu? Bukankah itu seharusnya jadi ruang rahasia, karena juga berhubungan dengan privasi pekerjaan kita."
"Dia pecinta lautan," ia membalas, yang bahkan tak terprediksi sebelumnya, "Seanna banyak memberiku informasi dan inspirasi melalui pengetahuannya, ku pikir itu juga akan berimbas baik untuk penelitianku. Huh, haruskah kita bertengkar hanya karena masalah seperti ini?"
"Maaf, ku pikir kalian punya hubungan spesial setelah peristiwa tak terduga waktu itu," ujar Liza seraya berbisik. Ia mendekat, lantas melingkarkan tangan ke bahu Andrew.
Sea meremat rok selututnya saat mendapati mata Liza yang sempat meliriknya sinis.
"Kami berteman, kita semua berteman baik," Andrew pun membalas perilakunya.
"Liza! Andy!" Tegur pria paruh baya dari teras rumah Liza, kedua pasang lawan jenis tersebut sontak saling menjauhkan diri, "Kalian pikir ini kamar pengantin baru?! Tempat umum, di depan rumah begini, apa kata tetangga nanti?!"
Andrew tertawa seraya menyapa canggung ayah kandung Liza, "Paman, apa kabar?"
Tn. Rompero menuju halaman, kemudian memukul pelan bahu yang lebih muda, "Huh, sudah lama kita tidak mengobrol. Ah, jangan mengalihkan pembicaraan! Apa yang kalian lakukan tadi?!"
Keributan di depan membuat ibu ikut keluar rumah, ia langsung menyapa tetangga dekatnya, "Mumpung ramai begini, sekalian saja kita makan siang bersama. Sudah lama tidak berkumpul antar tetangga begini kan?"
Sea merenung, tubuhnya mendadak lemas seolah tidak bertenaga usai melihat kejadian yang tak disenanginya.
Mereka pun berakhir menghabiskan waktu tengah hari dengan makan bersama. Sea membantu ibu menyajikan makanan dari dapur, sekaligus yang Liza bawakan.
Ketika makanan sudah tersaji rapi di setiap sudut meja, Sea duduk di dekat ibu, tepatnya di depan Tn. Rompero, pria tua itu menatapnya penuh binar, "Oh, siapa ini? Cantik sekali, pacarmu ya, Andy?"
"Aku Seanna, temannya Andrew," Sea meralat.
"Yakin hanya teman?" Goda pria itu yang Andrew tanggapi dengan candaan lagi, Liza juga menyambung dalam obrolan mereka, sesekali ibu menimpali. Namun ternyata wanita paruh baya itu cukup peka.
Dia mengusap tangan Sea di bawah meja sembari berbisik, "Apa kau merasa tidak nyaman? Kakimu bergetar, ibu jadi khawatir."
"Tidak bu, aku baik-baik saja," balasnya tak jujur. Sayang sekali pandangannya menyerukan kesedihan diantara tawa canda tiga orang yang mengobrol ria seolah tidak mempedulikan kehadirannya, 'Andrew kelihatannya nyaman sekali bicara dengan mereka.'
---
"Aku mau pergi ke rumah Ella, malam ini reunian sekolah khusus untuk perempuan saja, kami akan bersenang-senang tanpamu dan teman-teman berandalmu itu," Tn. Rompero baru saja pulang, sementara Liza dan Andrew masih mengakhiri obrolan mereka di halaman depan.
"Mereka bukan berandal lagi, banyak yang jadi pengusaha sukses sekarang."
"Bagaimana dengan Seanna?" Tanya Liza tiba-tiba mengalihkan topik, "Apa kau akan mengantar dia pulang?"
"Tentu saja."
Gadis itu mencebikkan bibir kecewa, "Kalian pasti sudah sangat dekat, Seanna bahkan memanggil ibu pada Bibi Herlinda," dering telepon segera menghentikan pembicaraan mereka, "Ah, aku pergi dulu. Ella sudah menelepon."
Andrew mengangguk seraya melambaikan tangan pada Liza yang rupanya langsung menuju halte bus. Usai memperkirakan kawannya itu berjalan jauh, ia kembali ke dalam rumah. Alisnya mengernyit mendapati sang ibu kembali sibuk di dekat kompor, sementara siren itu tak ada di tempat, "Di mana Sea?"
"Dia di kamar, tubuhnya hangat dan lemas. Ibu mau mengambilkan kompres dulu, siren tidak masalah diperlakukan seperti manusia kan?"
"Entahlah. Tapi kelihatannya dia baik-baik saja tadi," sejujurnya Andrew menyadari jika dirinya tidak begitu memperhatikan Sea karena asik mengobrol dengan Liza dan ayahnya.
"Kakinya bergetar sejak tadi, kau tidak memperhatikannya sama sekali," sindir ibu, semakin membuatnya merasa bersalah.
Andrew segera menuju kamar tempat Sea terbaring dilit selimut tebal, sisik emasnya muncul dipermukaan kulit, namun bagian bawah masih berupa kaki bukan ekor.
Matanya terpejam, namun sadar akan kedatangan seseorang Sea sontak berhenti terisak, "Aku mau pulang Andrew, aku ingin kembali ke laut."
---
"Mac Thomus, riwayat hidup yang sangat buruk, dia pimpinan pengedar narkoba antar pulau dan menjadi penyedia jasa tempat untuk perjudian. Jadi untuk apa kau meretas keamanan tempat kami?"
Pria itu menghendilkan bahu, "Sederhana, seseorang menyuruhku."
"Katakan yang benar, siapa dia? Kalau tidak ku tembak kepala pelontosmu," ancam si petugas dengan menodongkan senjata api.
Mac tertawa remeh, "Aku mati, lalu informasi untuk kalian pupus."
"Kalau begitu, sebelum mati, kau perlu disiksa."
"Aku akan langsung mengatakan, tapi beri aku uang dulu," ia mencoba memberi tawaran.
"Baiklah, sesuai keinginanmu, kami menyediakan lima ratus juta cash."
Senyumnya mengembang lebar kala mendapati lima koper besar dilempar ke arahnya. Mac berujar jujur, "Namanya Andrew River, kalian bisa menggali informasi dari Erick John, adik tirinya."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...