Sudah satu jam berlalu, Andrew mulai membuka mata setelah tidur panjangnya selama tiga bulan-berkat dua peluru tersesat di punggung dan betis, beruntung tidak ada organ dalam yang terluka parah. Kendati begitu, masih banyak hal yang perlu diwaspadai terutama jika ada gejala infeksi.
Selama waktu yang beralun cukup lama, Andrew masih terdiam dengan tatapan linglung dan belum begitu menyadari apa saja yang ada di sekitarnya, entah kemana pikiran itu melalang buana. Joseph hanya bisa menumpu dagu, tidak lepas memandangi rekan karibnya-yang bahkan tidak sadar ada orang di samping brankar.
Herlinda baru mendengar kabar kalau putra sulungnya sadar, mengatakan segera kembali ke rumah sakit, padahal mungkin belum ada sepuluh menit wanuta itu berada di rumah untuk mengambilkan pakaian ganti. Sementara Liza sudah memulai rutinitas kerja sejak satu bulan lalu, bergantian jaga dengan Joseph ketika tidak ada yang menemani Andrew seperti sekarang.
Joseoh berdecak, ia hampir bangkit meninggalkan rekannya. Tapi Andrew mendadak berteriak sambil beranjak dari brankar, "Sea!" serunya.
Tak kalah terkejut Joseph ikut membulatkan mata, nama yang disebut itu terasa familiar. Apa yang diingat hanyalah sosok si siren. Andrew bahkan lupa jika selang infus dan berbagai peralatan medis lain masih terpasang di tubuhnya, dia bergerak terlalu keras hingga semua benda itu lepas berjatuhan. Joseph sontak memaki, "Kau baru sadar bodoh!"
"Dia dalam bahaya, aku harus menolongnya."
"Jangan banyak bergerak!" Joseph berteriak kesal melihat perilaku si rekan, sama sekali tidak memperhatikan darahnya menetes berceceran di lantai.
Andrew sedikit tenang seraya mendudukkan diri kembali ke atas brankar. Keringat bercurucaran, bersamaan dengan bola matanya yang beralih menatap Joseph penuh permohonan, "Josh, ayo bantu aku..."
"Apa yang kau bicarakan?" Sinis pria itu, sambil mengusap punggung tangan Andrew, darahnya belum berhenti mengalir.
"Jangan keras kepala Andrew, kami sudah lama menunggumu bangun, jadi tolong berhati-hatilah. Bibi Herlinda sedang dalam perjalanan kemari, dia sangat terkejut mendengar kabar tentangmu," sahut seseorang yang baru datang. Tatapannya sama sekali tidak menunjukkan kembencian, justru sayu dan muram seolah menyembunyikan seribu kesedihan.
Andrew mengabaikan perkataan Liza, "Bagaimana dengan Sea? Kalian juga mengenalnya kan?"
"Tidak ada yang namanya Sea."
"Bicara apa kau ini, Josh!" Sentaknya tak terima, kedua alis tertaut marah beserta kening mengkerut penuh emosi.
Hal itu ikut menyulut emosi si gadis, dia menarik kerung leher Andrew sambil berteriak tak terkendali, "Tolong pikirkan dirimu sendiri sekali saja! Jangan membuat kami terus khawatir!"
"Siren itu, dia dalam bahaya Liza..." Ungkapannya memelan.
Gadis dengan surai pendek tersebut tampak berdecak, ia tiba-tiba merapikan brankar yang Andrew tempati dengan telaten-seolah sedang mengalihkan emosi dari topik pembicaraan sensitif, "Jangan membual, siren itu tidak ada."
"Ada, dia-"
Dengan cepat Liza memotong kalimatnya, "Semuanya sudah selesai, kembalilah menjadi dirimu yang sebelumnya. Lupakan semua kenangan buruk yang pernah terjadi."
'Tidak mungkin...'
---
Area pelataran gedung bertingkat lima tersebut tampak ramai diisi para pekerja seperti hari-hari biasa, yang membuat suasana menjadi berbeda adalah kedatangan para pekerja dari luar. Termasuk adanya para arkeolog dari luar kota.
Andrew sendiri sejujurnya kebingungan dengan undangan yang ia dapat untuk mengikuti kegiatan ini. Ia sedikit khawatir dengan keberadaan para prompak pihak swasta yang bekerja di bawah naungan resmi oseanograf-padahal seharusnya pemerintah lah yang berhak. Hubungan Andrew dengan mereka belum mereda, tapi juga tak ada hilal kembalinya perseteruan.
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...