_04 The Memories

838 162 6
                                    

Ketika langit meninggalkan warna biru pemberi ketenangan, dan menggantikannya dengan kegelapan, pertanda bulan singgah menggantikan sang pusat tata surya, hawa dingin mulai menyergap. Membiarkan mereka sebagian penghuni bumi untuk berhenti dari aktivitas menyibukkan diri terutama yang berusaha menghancurkan tatanan ekosistem.

Namun lelaki itu enggan melakukannya, ia tak gundah berkat angin yang berhembus kencang sekalipun. Justru mendekat ke perbatasan antara laut dan daratan menghuni.

Ia menggosok kedua tangan sebelum memasukkan kedalam saku guna mencari kehangatan. Bola matanya yang seputih salju dan sehitam arang tak henti memandangi jarak terjauh indra penglihatannya menuju ke lautan lepas.

Beberapa menit berada di pesisir, pita suara nyaring terdengar dari kejauhan, "Andrew!" Orang itu mendekatinya, seraya menunjukkan raut cemas, "Aku mencarimu kemana-mana. Kau tidak sadar sudah pergi berapa lama?!"

"Aku bukan anak kecil, kenapa harus dicari. Aku juga tahu jalan menuju hotel," balasnya tanpa mengalihkan pandangan.

Gadis itu menggelengkan kepala, ikut melihat apa yang menarik perhatian Andrew. Hanya laut lepas yang gelap, tak ada sesuatu istimewa di sana, "Sedang apa kau di sini? Bukannya benci laut? Atau kau munafik karena terlarut dengan keindahannya?"

Andrew berdecak sambil menatap tajam sang lawan bicara, "Liz, jangan mulai. Aku hanya lewat tadi, sekalian mencari udara segar."

Gadis itu mendecih pelan, seolah membaca pikiran kawannya, ia berucap frontal, "Apa ini tentang ayahmu?" Seperti membuka luka lama yang belum sembuh, Andrew melayangkan tatapan mengancam pada Liza, sayang sekali nyali gadis itu terkadang menjadi tak mudah ciut, bahkan dia justru semakin berani, "Bersikaplah profesional selagi projek di sini berlangsung. Tahan sebentar saja, kita akan menjelajah laut hanya sepekan."

Kalimat terakhir Liza terdengar menenangkan, Andrew menghembuskan napas gusar seraya kembali menatap ke arah lautan, di mana riak air bersahut-sahutan ditemani gulungan ombak kecil, "Dia menghilang di sana saat langit cerah, cuaca bagus, dan ombak sedang baik-baik saja. Bukankah aneh jika seseorang lenyap tanpa kabar hingga belasan tahun terlewati?"

Liza berdecak, "Kau melihatnya, mendengarnya, merasakannya hanya melalui daratan. Bagaimana bisa menyimpulkan seperti itu padahal ayahmu berlaut jauh dari jarak darat, laut itu tenang, ketika kau hanya melihatnya dari sini," kakinya melangkah mendekati air, membiarkannya terkena cipratan ombak, "Ketika kakimu sudah menyentuh air, rasanya sangat berbeda. Seolah gerakan bahaya telah memperingati."

Sementara Andrew hanya bisa terdiam. Tak membantah, namun juga tak menyetujui.

Hal itu membuat Liza tersenyum miring, "Apa? Kali ini kau baru percaya adanya monster laut? Dewa laut? Penghuni palung? Siren—"

"Itu hanya cerita, aku tak sepertimu," potong Andrew tak suka.

"Lalu apa? Sebenarnya pernyataan macam apa yang ada di otakmu?"

Andrew berbalik seraya menghendilkan bahu. Liza berdecak melihatnya, sudah disusul sejauh ini, ditemani bicara, namun dirinya malah ditinggalkan tanpa sepatah kata apapun.

Ia menatap punggung Andrew yang semakin mengecil ditelan jarak, 'Jika gejala alam, monster laut, bahkan murni kecelakaan tak kau percaya. Lantas apa yang membuatmu membenci laut kalau memang kenyataanya ayahmu menghilang di sana.'

---

Sesampainya di lobi hotel, Andrew dan Liza sudah disambut meriah oleh teriakan Joseph. Lebih tepatnya sambutan penuh gerutu kesal, ia melempar benda pintar miliknya yang merupakan keluaran terbaru, "Erick meneleponku terus dari tadi. Dia bilang ponselmu tidak bisa dihubungi. Kemana saja kau ini, huh?!"

Andrew tak segera membalas panggilan tersebut, melainkan hanya memandangi kontak yang tertera, "Apa dia merindukanku sampai meneleponku seperti ini? Kepalanya pasti baru terbentur aspal."

"Jangan berselisih terus dengannya. Bersikaplah bijak, kalian sama-sama sudah dewasa, apalagi dia adikmu sendiri," sela Liza.

Lelaki itu menjentikkan jari, "Kau harus katakan itu secara langsung padanya."

Ia menggeser ikon hijau, membuat gerutuan seberang terdengar jelas, "Hey, brandal! Ah, maksudku kakak tiri tercinta, aku ingin meminjam uangmu, jadi kirimkan ke rekeningku sekarang... Kali ini aku janji tenggat waktunya dua minggu saja."

"Bodoh, hanya untuk itu kau meneleponku? Dasar gila."

Terdengar decakan sekaligus umpatan, "Kau mau dapat kabar dari ibumu tidak?! Kalau mau, ya kirimkan uang padaku."

Andrew menyeringai, adik tirinya memang sangat bodoh. Padahal sang ibu punya ponsel, ia bisa menghubunginya sendiri dan menanyakan kabar tanpa perantara orang lain kapanpun, "Aku penasaran, kenapa ibuku bisa menikah dengan pria bodoh yang sudah punya anak lelaki bodoh pula. Kenapa kau tak bekerja dan cukupi kebutuhanmu sendiri? Harus berapa kali lagi—"

Kalimat Andrew terpotong, penelpon sialan itu tiba-tiba memutuskan sambungan yang masih berlangsung tanpa rasa bersalah.

"Erick!" Bentaknya, "Sialan kau, awas kalau sampai melukai ibuku."

Ponsel itu mendadak direbut kembali oleh pemiliknya, lantas diusap pelan penuh kasih sayang, "Smartphone-ku tercinta. Speaker-mu pasti berdengung karena obrolan mereka."

Liza menyela sambil berlalu, "Sebaiknya kita istirahat, pukul delapan sudah harus bersiap di laboratorium untuk kembali melanjutkan penelitian."

To be continued...

History Song Of The Sirens [] Lee knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang