Baik perahu kecil, boat, bahkan kapal penumpang berukuran medium tengah berjajar mengambang di samudra. Menyediakan sendiri pencahayaan terang dari berbagai sudut untuk menjuru ke setiap celah di kedalaman yang gelap.
Satu tujuan pasti keberadaan mereka semua, yaitu untuk membawa kembali sosok siren ke daratan.
Siren yang ada dipikiran mereka hanyalah hewan buas, mengandalkan insting liar nan brutal ketika ditakuti, serupa dengan harimau atau singa. Sebab selama di kurung dalam akuarium, Sea tidak menunjukkan sikap punya akal pikir seperti manusia.
Saat ini orang-orang sedang berbaris rapi, terdapat pakaian dan peralatan menyelam lengkap di hadapan masing-masing, namun sudah beberapa menit berlalu belum ada satupun yang menyentuhnya—membuat sang pimpinan murka, "Siren itu uang yang jatuh dari langit! Kalian mau merugi setelah menyiapkan segala biaya untuk memerangkapnya? Belum lagi anggaran mengambil alih hak gedung oseanograf dari pemerintah menelan jumlah banyak. Gaji kalian dalam dua bulan tidak akan cair!"
Satu orang memberanikan diri angkat bicara mengenai alasan kenapa tidak ada yang bergerak meski sudah diperintahkan, "Maaf, tapi lebih baik mengundurkan diri ketimbang harus mempertaruhkan nyawa di lautan lepas."
Hal itu sontak menimbulkan nyali rekan lainnya bangkit, "Seharusnya anda menyiapkan lebih banyak peralatan yang lebih menunjang, mana mungkin kami menyelam di kedalaman ratusan meter hanya dengan gas oksigen biasa?"
"Kalian ini ku bayar! Bekerja di bawah kekuasaanku dengan kontrak resmi, apa memang begini perlakuan karyawan?!" Bentak Direktur Horles, kecewa.
"Tapi ini juga menyangkut nyawa kami!"
Tidak ada balasan, orang-orang membubarkan diri dan memilih kembali ke perahu kecil tumpangan mereka—tak ada yang berniat mengiyakan perintah. Mengejar siren hanya dengan peralatan seadanya terlalu beresiko, mereka enggan terjun langsung.
"Jika ada yang pergi dari sini, jangan harap bisa hidup tenang di luar sana," kalimat Direktur Horles sontak menghentikan pembubaran tersebut, "Masing-masing keluarga kalian akan hancur, kesulitan mencari pekerjaan lagi, lalu kelaparan dan mati. Aku tidak segan mengeluarkan biaya hanya untuk hal seperti itu."
Sama sekali tak ada yang berani bergerak. Si direktur tersenyum miring, sudah jelas apapun bisa dikendalikan dengan uang.
"Masih ada yang ingin pergi?" Tanyanya meyakinkan, "Ingat anak dan istrimu di rumah? Kalian mau tewas bersama hanya karena tidak punya uang untuk membeli beras?"
Pilihan yang salah sejak awal, seharusnya siapapun mengerti konsekuensi bekerja di bawah organisasi semi-ilegal. Apapun bisa jadi taruhannya jika melanggar hal ketika masih dalam kontrak.
"Ku bilang turun sekarang!" Ujarnya lantang. Para pasukan mau tak mau harus terjun sekarang dengan peralatan seadanya, sama sekali tidak menunjang, "Siren itu harus didapatkan kembali, dia tidak boleh pergi, dia uang, harta, dan popularitasku."
Sementara itu, Luke dan Joseph yang tengah bergantian jaga di depan bangsa Andrew mendadak terbangun ketika seseorang menaruh telapak tangan diatas bahunya.
"Aku tahu kau hanya berpura-pura," ungkapnya, seraya menuding kaki Luke yang terus bergetar menanti penuh kegelisahan.
Luke mengalihkan pandangan pada pria disampingnya—padahal tadi Joseph tampak pulas sampai bibirnya mengeluarkan bunyi dengungan. Kini dia sadar seolah tidak terjadi apapun.
"Aku mengenalmu atas tuduhan waktu itu, jadi siapa kau di kehidupan Seanna? Kalian tampak punya hubungan yang erat."
Dengusan kecewa terdengar dari hidung Joseph tatkala Luke hanya membalas pertanyaannya dengan gelengan kepala disertai senyum tipis, yang tidak menunjukkan jawaban apapun.
"Andrew itu sudah seperti orang gila. Dia menyukai seekor siren—terlihat jelas dari caranya memandang. Jujur saja aku sudah lama tahu kalau Seanna bukan manusia, Andrew menjelaskan keinginanya untuk menyelamatkan siren itu dan dikembalikan ke laut, tapi dia justru melanggar janjinya, menyimpan makhluk cantik untuk diri sendiri."
Luke bergumam, "Dia... pasti ada alasan mengapa dia melakukannya."
"Entahlah, tapi ku pikir memang ego semata. Tidak salah kalau aku membongkar rahasia itu pada atasan demi mendapat bayaran. Ku harap kau mengerti siklus hidup manusia, sekalipun ada teman kita tetap harus mementingkan diri."
"Jangan begitu, Andrew pasti kecewa mendengar ucapanmu," awalnya Luke pikir Joseph merupakan tipe pria humoris yang tidak begitu mementingkan duniawi, rupanya apa yang ia lihat berbanding terbalik dengan kenyataan.
"Tidak ada yang bisa diperbaiki, setelah sadar nanti aku pasti akan babak belur. Dia bisa puas memukuliku," ungkap Joseph tampak pasrah dan menyesali perbuatannya.
"Kau melakukannya hanya untuk uang? Tapi gajimu..."
Ia mengangkat bahu, "Aku butuh lebih banyak untuk bersenang-senang. Pengeluaran dari gajiku tentu dicatat agar penggunaannya tidak menyeleweng, dan itu sangat menyiksa."
Dari sudut pandang Luke, Joseph bukan pria yang murni baik, tapi juga tidak sepenuhnya buruk, dia masih bisa menyesal dan memohon maaf. Berkat hal itu, rencana singkat mendadak singgah di pikirannya, "Bisakah kau membantuku? Akan ku beri uang berapapun yang kau mau," mendengar kata 'uang', Joseph segera mengalihkan pandangan penuh dengan mata berbinar menunggu Luke berbicara lagi, "Sebarkan berita bohon tentang semua hal yang sudah terjadi mengenai siren. Buat semua orang tidak percaya kalau siren itu pernah disimpan di gedung oseanigraf atau jika bisa, buat seolah-olah siren itu tidak ada dan tidak pernah datang ke dunia manusia."
---
Sejujurnya alam menjebak, namun juga menyelamatkan dengan sepenuh hati. Sea benar-benar harus berterimakasih kepada lautan, kawah batu, dan juga sinar redup dari bulan. Perjalanan ini sudah sangat jauh dari daratan, rasanya begitu melelahkan sampai membuat beberapa keping sisik terlepas akibat menerobos arus air.
Tidak ada tanda-tanda manusia mengejar, tapi belum ada pula kemunculan siren lain. Semakin dalam menyelam, arus air lebih tenang tapi tekanannya juga cukup berat, Sea tidak begitu bagus pergerakan berenangnya akibat cacat ekor, sehingga seratus meter kedepan serasa tempuh menggunakan permukaan badan siput.
Hingga pada akhirnya tenaga telah sampai di titik terakhir. Tubuhnya tergelimpang di pasir, memejamkan mata dan telinga, mengabaikan bunyi-bunyi aneh yang berusaha menendang gendang telinga memanggil kembali kesadarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...