Menyadari perjalanannya sudah sejauh 12 mil dari lokasi perairan sebelumnya, Sea berhenti sejenak. Ia mengurut leher perlahan, membiarkan kedua insangnya kembali bekerja secara normal. Ketenangan itu berlalu sesaat, tidak ketika lima siren berekor gelap melingkarinya dengan tatapan memangsa. Salah satunya mendekat, lalu ikut memegang trisula, sementara matanya menatap tajam, 'Sea, berhentilah bersikap sok pahlawan. Biar kami yang membawa trisula itu ke palung, kau tidak akan kuat.'
Sea sontak menjauh, tak lupa menarik trisulanya hingga lepas dari tangan yang lain, 'Aku yang bertanggung jawab, Luke menyuruhku.'
'Tapi kau cacat, ekormu rusak, tidak bisa berenang dengan baik. Jadi sebaiknya biar kami yang membawanya, sebelum manusia punya kesempatan mengejar. Lagipula Putra dewa akan lebih senang dengan usulanku,' ujar mereka kukuh. Sea merasakan hawa tidak enak, seperti sebelum-sebelumnya, siren manapun akan benci melihatnya dan memiliki hasrat melukainya, yang kali ini juga pasti berakhir serupa.
Ia tercengang saat tiba-tiba lengannya digores menggunakan ujung ekor yang tajam, 'Kami jauh lebih bisa diandalkan ketimbang kau, cacat.'
Mereka berkerumun memegangi tubuhnya semakin erat, hingga Sea benar-benar tak mampu berkutik, 'Jangan coba-coba menjadi pahlawan untuk kaum ini. Kau tidak pantas!'
Entah apa yang sudah mereka lakukan, yang jelas detik terakhir kesadaran, Sea hanya melihat partikel cair warna merah yang bercampur dengan air perlahan menghilang. Tubuhnya melayang, lalu terembab ke dasar, dengan pandangan mulai menggelap.
'Siapapun, tolong aku.'
---
Coretan pensil membentuk susunan goresan dua dimensi menjadi ilustrasi ekor ikan dengan ujung sirip dorsal melancip tajam seperti jarum, lantas dibubuhi warna oren keemasan secara samar menggunakan teknik pointilis. Gambarnya sempurna, padahal dikerjakan asal-asalan tanpa niat, sebaliknya, jika sedang serius malah hasilnya hancur.
Andrew menempelkan salah satu kepingan sisik di samping gambar ekor tersebut dan menulis kalimat dibawahnya, sebelum itu, ia memberi centang merah pada ilustrasi buatannya di bagian sisik, "Karena titik utama sudah ku bidik pada makhluk mitologi ini," sebenarnya, ia sendiri belum bisa menyimpulkan 'siapa' atau 'apa' itu, yang jelas, makhluk itu berekor serupa ikan, jadi koloninya pasti berada di perairan, "Jadi, sekarang harus mencari riset dasar tentang mereka."
Seraya menyeruput kopi, tangannya tergelincir bebas di atas keyboard, menyusuri internet. Semua yang dicari, hanyalah riset ringan berdasarkan pengalaman-pengalaman mereka yang kemudian ditulis dalam sebuah blog. Andrew tertawa kecil memikirkan kegiatannya hari ini, mirip dengan kelakuan kawan karib sekalgus rekannya yang selalu ia tertawakan, "Ah, aku merasa berdosa pada Liza. Dia sangat excited dengan hal semacam ini walau terus ku hancurkan imajinasinya. Sekarang justru aku yang seperti peneliti gila."
Ia terdiam sejenak saat berhenti pada artikel yang membahas song of the sirens. pikirannya langsung mengarah para rekaman tempo hari, ia memutarnya berkali-kali hingga menemukan beberapa kali kejanggalan pada note nyanyian itu, "Suara, mereka selalu mengatakan nyanyian adalah pemikat siren untuk membunuh manusia," kembali menekatkan speaker ke indra pendengaran dan memahami secara serius, beberapa detik kemudian ia menjauh dengan daun telinga memerah, "Ini memang memekak, reaksi tubuh Paman Eduardo dan Peter sama saat pertama mendengarnya, mereka bergetar."
Matanya melirik artikel sekilas, sesuai dugaan, "Desibel sangat tinggi, gendang telinga bisa pecah setelah terus-menerus didengarkan. Tapi kenapa waktu itu aku biasa saja, padahal sudah sring ku dengarkan? Atau telingaku yang rusak?"
Andrew segera mengambil secarik kertas, memaksakan telinga untuk kembali mendengar lantunan itu, ia mencoba menyamkan tuts-nya dengan piano digital yang bisa diunduh di ponsel. Mengandai-andai, akankah bisa diartikan melalui tangga nada doremifasol.
Hal itu cukup membuahkan hasil, sayangnya ia bukan musisi atupun produser, meski seluruh note ditemukan, ia tak mengerti artinya. Lelaki itu terpaksa mengakhiri catatan dengan coretan di ujung bawah, "Catat. Jadi nyanyian yang mereka maksud bukanlah sebuah senandung pemikat untuk membunuh. Melainkan memang desibelnya yang tinggi bisa merusak telinga manusia, sama saja membunuh!" sejenak mengerutu sambil membereskan barang-barang yang berserakan di atas meja, "Orang-orang zaman dulu hanya bisa mengarang, kalau dibuktikan secara ilmiah begini kan lebih logis. Nyanyian bukan pemikat kaum mereka untuk membunuh, tapi kita sendiri yang terlalu lemah dan mudah terbunuh hanya melalui suara."
Setelah itu ia bergegas mengambil jaket seraya mengantongi satu keping sisik, "Sekarang sisiknya, ayo kita pergi ke toko emas, scute misterius yang cantik."
Pintu hotel baru saja tertutup, Andrew belum sempat melangkah, karena terhalang dering ponsel. Ia tersenyum saat tahu nama kontak penelepon, "Why?"
"Andrew, Ayah butuh bantuanmu, Erick dalam masalah dan kita harus menyewa pengacara, nak. Adikmu bisa dipenjara," ujar si ayah tiri dengan nada memelas. Pria itu tak pernah menghubunginya sama sekali barang sedetikpun, mereka juga hampir tak pernah bersitatap muka saat saling bertemu, tapi jika keadaan seperti ini sudah jelas menubruk padanya.
Andrew melangkahkan kaki keluar lobi hotel, untuk mencari toko emas terdekat, "Apa dia kena skandal pengedaran narkoba?"
"Kau tahu?"
"Aku ikut menangani kasusnya," ujarnya menyombongkan diri, sedetik kemudian lelaki itu tertawa keras, "Anakmu benar-benar rusak ya?"
"Andrew, ayah mohon..."
Andrew menghentikan langkah, alisnya mengernyit mendengar permohonan itu, "Jadi aku harus apa?" Ia tertawa lagi, "Biar ku tebak dulu, pasti... transfer uang, begitu kan?"
"Ibu--"
Mendengar nama kesayangannya disebut, Andrew langsung memotong cepat. Nada bicaranya yang tadi penuh candaan, kini benar-benar serius dan terkesan dingin, "Jangan sampai ibuku tahu masalah ini, dia sudah sakit gara-gara kelakuanmu, jangan sangkut pautkan Erick, badung itu anakmu bukan anak ibuku, sialan!"
Terdengar keributan di seberang, tak lama kemudian Erick yang berteriak, "Kak, ku mohon... Jika aku dipenjara, hutangku padamu tidak akan segera lunas. Jadi bantulah aku."
"Hhh, dasar bocah, kau memanfaatkan hutang lamamu untuk hutang yang baru. Aku bisa apa? Haruskah aku membayar pengacara untuk membela orang yang bersalah?"
Erick terdiam sejenak, Andrew pikir sambungannya sudah terputus, rupanya belum, "Aku melihat makhluk itu mencuri artefaknya," Erick berbisik, "Ekor emas yang tajam, sirip di pangkal lengan, dan sirip dorsal di pinggang belakang. Kalau kalian menangkapnya, itu... pasti dua kali lipat menguntungkan."
Mendengarnya, Andrew sontak menutup mulut. Erick bocah bodoh, dia tidak mungkin membual sejauh ini, namun Andrew masih mencoba mengacuhkan, "Jangan bercanda bocah."
"Jujur, untuk pertama kali aku bicara tanpa bumbu kebohongan sedikitpun. Kalau kau percaya datangi aku di kantor polisi, ku katakan apapun yang ku lihat, asal kau membantuku."
Andrew mematikan telepon yang masih terhubung, sambil mengerang frustasi, "Sialan, dia membuatku berpikir!"
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...