Seluruh sudut gedung hanya menyimpan kesunyian dan kegelapan, namun langkah kaki Luke terasa tidak sendirian. Sebab siluet dua orang di ujung lorong sempat membuatnya gentar.
Luke tidak mundur, tapi tak juga maju. Ia hanya memandangi sua pistol di masing-masing genggamannya sejenak. Tidak ada yang perlu ditakuti, apalagi sekedar benda kecil yang disebut kamera CCTV. Ia mencoba berani sekali lagi, menghadang kedua siluet itu, namun semakin dekat, sosoknya terlihat jelas, di mana Sea yang basah kuyup bersama pria asing dengan pakaian gelap serba tertutup.
Sea berbinar, gadis itu pun langsung menghampirinya dengan ekspresi bahagia sambil menyerukan namanya.
"Sea, siapa dia?"
Lelaki itu menurunkan masker, "Andrew River, kita sudah pernah bertemu sebelumnya."
Tanpa aba-aba, Luke menodongkan pistol, lalu menarik pelatuknya. Beruntung Andrew sigap menghindar, berguling ke belakang guna merebut senjata pria itu.
Sea menarik Luke yang terus berontak hendak membalas Andrew, "Dia membantuku, kau tidak boleh mencelakainya."
Memandang Luke yang terus mengganas seperti ingin mengoyak, Andrew cekat menendang betisnya dari belakang, seraya melontarkan tatapan tajam, "Sebaiknya kita saling melindungi, suara tembakan tadi pasti mengundang penjaga di luar. Kita sembunyi bersama dan jangan saling menyerang, aku berada di pihakmu."
"Tapi kau manusia! Aku tak bisa percaya!"
"Andrew benar, sebaiknya kita sembunyi. Aku mendengar langkah kaki dari ujung sana," sela Sea seraya menuding lorong dekat akuariumnya tersimpan.
Seperti yang Sea katakan, suara langkah kaki bersahutan semakin dekat, membuat ketiganya tegang. Luke menarik keduanya masuk ke salah satu ruangan yang rupanya terhubung secara langsung dengan tangga darurat. Tanpa rasa curiga, mereka menapaki anak tangga itu semakin turun, berharap bisa keluar dari tempat tersebut.
Namun ditengah perjalanan, derap langkah juga terdengar dari bawah. Andrew menghentikan langkah sambil menatap Luke, ia memberi isyarat, langkah yang semakin dekat itu terdengar santai dan tidak tergesa, sehingga ia menyimpulkan tidak banyak orang yang akan menghadang, "Gunakan pistolmu lain kali, kita bisa melawan tanpa senjata," Andrew beralih memandang Sea, "Bersiagalah di belakang, Sea."
Sea berbisik, "Kira-kira hanya dua orang, Andrew. Aku bisa mengatasi ini."
Mendengar hal itu, Luke yang sudah siap mengendurkan otot lengannya, memalingkan wajah menatap salah satu koloninya, Sea hanya tersenyum sambil menunjukkan lehernya yang kembali mulus, tak seperti sebelumnya yang penuh luka gores, "Jangan terlalu dipaksakan, pita suaramu belum benar-benar pulih."
"Aku sudah baik-baik saja, Luke," Sea maju terlebih dulu. Ia mendongakkan kepala angkuh saat dua penjaga menyoroti tubuhnya menggunakan senter. Sementara Luke dan Andrew senantiasa bersiaga dari belakang, karena keberadaan mereka belum disadari.
Penampilan Sea dengan rambut hitam tergerai panjang, bersama kain putih yang terlilit ala kadarnya membuat perspektif kedua penjaga itu berubah, karena gadis itu lebih terlihat seperti makhluk dari alam lain. Mereka mengarahkan sinar ke mata Sea yang terlihat lebih terang dibanding sebelumnya, "Si-siapa kau?"
Belum sempat gadis itu membuka mulut, salah satu pria terbirit-birit menjauh. Pria yang lain pun mengejar rekannya hingga tak sadar menjatuhkan senter. Sea menggelengkan kepala, "Padahal aku belum mulai bernyanyi."
"Ah, sebaiknya memang jangan. Ada aku di sini," sahut Andrew seraya memegangi daun telinganya sendiri, mengingat bagaimana reaksi dari rekaman suara siren di ponselnya, betapa mengerikan jika mendengar langsung dari jarak sedekat ini. Ia mengalihkan pembicaraan, "Apa kita akan terus memaksa turun? Mereka bisa saja membawa lebih banyak rombongan dari bawah. Kita akan terkepung."
Luke merogoh saku, menunjukkan gerombolan kunci berbagai ukuran, "Turun sedikit lagi, ada pintu cadangan menuju loteng yang mengarah langsung ke area belakang gedung, itu kebun sawit."
Andrew mengangguk, langsung mengikuti pergerakan Luke. Pria itu tanpa kesulitan memilah kunci pintu yang mengarah pada loteng.
Setelah semua berada di luar ruangan, Luke mengunci kembali pintunya dari luar.
Tampak Andrew yang sudah melongokkan kepala ke pagar, seakan tengah mengukur seberapa tinggi yang ia pijaki dengan tanah di bawah sana. Sea mengikuti kegiatannya sambil sesekali memegangi ujung kain yang melingkupi tubuhnya, "Kita tidak akan melompat dari atas sini kan?"
Sejujurnya, sedari tadi, Andrew merasa risih dengan pemandangan di hadapannya. Tanpa rencana, ia melepas jaket, lantas melemparkannya pada Sea, menyisakan kaos hitam lengan panjang yang masih bisa menyembunyikan postur tubuhnya.
Gadis itu menerima dengan gugup, namun juga lekas memakainya, ia bergumam pelan, "Terima kasih."
Luke mendadak mengacaukan momen sunyi tersebut, ia membawa tali sintetis warna biru entah dari mana, "Ada tambang, tapi pendek. Apa sebaiknya kita turun menggunakan ini?" Meski begitu, menggunakan tali untuk turun akan menjamin keselamatan lebih banyak ketimbang tidak menggunakan apapun, "Tapi kalau kita tinggalkan bekasnya, bisa ketahuan. Apa yang harus kita lakukan?"
"Aku dan kau akan turun lebih dulu menggunakan tali ini," Andrew mengaitkan simpul pada pagar, kemudian menjuntaikan ujung lain ke bawah, "Sea, setelah kami turun, jatuhkan tali ini juga. Lalu melompatlah, kami akan menangkapmu dari bawah."
"Kau yakin?" Tanya Luke tidak begitu percaya.
"Paling tidak kita berdua mengutamakan keselamatan Sea, dari pada bertiga terjun tanpa alat sama sekali."
Luke mengangguk, ia turun lebih dulu, diikuti Andrew. Sementara Sea terus memandang keduanya sampai mereka akhirnya berpijak pada tanah. Sesuai anjuran si pembuat rencana, Sea melemparkan talinya, lantas menutup mata dan segera terjun bebas, tentunya setelah mendapati aba-aba dari dua orang dibawah sana.
Bruk! Sea masih memejamkan mata, sepertinya Andrew dan Luke menangkap tubunya dengan sempurna. Ia sampai tak merasakan sakit benturan sama sekali.
Namun waktu seolah terhenti, Sea tak kunjung bangkit.
"Sampai kapan kalian akan betah dalam posisi seperti itu?" Celetuk Luke.
Tatkala membuka mata, Sea baru sadar kalau tubuhnya menimpa badan Andrew yang telentang kaku. Ia buru-buru bangkit, sambil membantu Andrew.
Mendadak situasi jadi sangat canggung, Luke lagi-lagi berceletuk, "Sungguh, aku tidak menginginkan adanya perasaan antar dua alam dari kalian."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...