_20 A Song Who Was Lost

350 114 2
                                    

Disaat luka lain mulai pulih, Sea mendeklarasikan kekesalannya pada goresan panjang di leher, tepat mengenai pita suara. Bagian tersebut masih perih dan berdarah, yang mana membuatnya semakin tersiksa.

Salah satu perlindungan siren ada pada suara mereka, jika sudah begini, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu bantuan. Kalaupun ada...

Pendengaran manusia tidak kuat menampung melengkingnya pekikan siren yang memiliki desibel setara dengan seratus suara mesin gergaji, sementara nyanyian bisa sampai diatasnya, gendang telinga manusia bisa pecah jika dipaksakan. Mereka silih berganti berkunjung, menatap lamat siren dewasa di dalam balok berisi air tersebut.

Tak hanya mengerti apa yang dibicarakan, Sea juga dapat merasakan emosi atau perasaan manusia melalui ekspresi mereka. Dari sekian banyak orang yang mendatangi akuariumnya, reaksi yang ditujukan selalu condong pada kepuasan, keserakahan, bahagia berlebihan, hingga keinginan menguasai. Namun satu orang tampak berbeda, Sea tak begitu bisa melihat wajahnya secara jelas, namun ekspresinya menunjukkan kesedihan dan rasa kasih sesama makhluk hidup. Yang diingat, lelaki itu memakai baju santai, berbeda orang lain yang berbusana formal. Rambutnya juga ditata ke depan, ia memiliki hidung mancung layaknya puncak everest dengan tahi lalat kecil di sisi kiri.

Sea merasa tidak asing dengan sosok itu, namun kandungan kaporit yang tercampur di air akuarium membuat matanya terasa panas hingga kesulitan dalam penglihatan, mungkin karena itu juga luka dilehernya tak kunjung sembuh.

Bagi siren, air laut adalah segalanya, entah untuk makanan ataupun obat. Yang jelas, tanpa air laut, tidak ada kehidupan untuk kaum mereka. Lantaran yang ditempatinya merupakan air tawar, tubuh terasa panas dan kering.

Sea bersembunyi dibalik batu karang imitasi, 'Dari pada tersiksa seperti ini, lebih baik aku mati sekarang.'

---

Joseph bercerita girang sesaat setelah memasuki laboratorium, ia tak henti mengoceh membuat telinga rekan-rekannya hampir lepas. Topik yang dibicarakan juga masih sama, yaitu mengenai temuan sejenis mamalia langka yang hampir punah, siren, "Aku dan Ella ke gedung oseanograf semalam, siren itu benar-benar nyata dan... dan... hidup!"

Liza mendesis sebal, saat Joseph dan Ella mengajak pergi, ia masih berada di rumah praktek kecantikan untuk mengobati kulitnya yang mulai kusam sebab terlalu sering begadang beralasan pekerjaan. Sebagai obsesioner terhadap makhluk mitologi, ia merasa sudah melewatkan pameran terbesar sepanjang sejarah, "Harusnya kalian menunggu agar aku bisa ikut juga! Ah, kan jadi penasaran. Ayo kesana... aku belum melihatnya."

"Siapa suruh ketiduran!" Maki Joseph, sialnya salah dugaan.

"Liza tidak ketiduran, Joseph. Dia pergi ke dokter kecantikan untuk menebar pesona pada lawan jenis yang ia suka," sahut Ella seraya menatap gadis surai panjang itu dengan senyum puas, setelah itu beralih pada Andrew yang sedari tadi diam, tak memulai cerita apapun.

"Baguslah kalau begitu. Kalau melihat siren itu secara langsung, kau pasti akan iri dengan kecantikannya, haha. Dia jauh lebih unggul dibanding denganmu," nyatanya Joseph bercanda, ia tidak mungkin mengatakan cantik pada makhluk bergigi tajam, jemari runcing, dan ekor juga mata yang mengerikan.

Liza kecewa, ia pikir, yang Joseph katakan memang kebenaran, "Aku jadi semakin penasaran, kenapa fotonya tidak boleh disebar?"

"Bukan tidak boleh, tapi belum saatnya. Mereka bilang akan melakukan penelitian lebih dulu, selagi mengedukasi ringan pada masyarakat tentang keunggulan siren di bidang budidaya laut. Tahu sendiri kan, kalau daerah ini masih percaya mitos kekejian siren, yang jadi gila atau sampai mati itulah. Atasan berusaha merubah pola pikir masyarakat yang masih kuno," ujar Ella, si surai cepak.

Andrew tiba-tiba saja menyahut. Padahal sebelumnya ia terlihat acuh dan tak mau tahu tentang topik yang mereka bahas secara random, "Tapi bagaimana kalau mereka benar? Jika memaksa untuk terus mengulik siren, makhluk itu bisa saja mendatangkan bencana. Seperti yang pernah dikatakan tetua setempat."

"Kau ini kenapa? Biasanya hal mitos seperti itu bukan kepercayaanmu," ledek Liza.

Menangkis kalimat sindiran tersebut, ia berbalik seraya menghela napas dalam, "Aku hanya berpikir lebih jauh tentang kenapa mereka tiba-tiba muncul di hadapan manusia setelah ratusan atau ribuan tahun berlalu. Keberadaannya bahkan hampir dilupakan."

Mendengarnya, Joseph sontak melompat dari bangku. Kakinya berderap cepat menubruk punggung sang rekan, "Andrew? Ini masih Andrew River kan? Kenapa jadi melow begini?"

Ia sontak menepis tubuh Joseph hingga terguling ke lantai, sambil menjauh dengan tatapan jengkel, "Aku hanya ingin melihatnya kembali ke lautan."

Ruangan tiba-tiba sunyi. Liza dan Ella menghentikan kegiatan mereka dalam sekejap sampai tidak ada gerakan sedikitpun, bahkan Joseph berhenti meringis dramatis di bawah kaki Andrew. Namun pandangan mata ketiganya tepat tertuju pada iris kecoklatan yang tengah sibuk dengan urusannya sendiri.

Andrew mendongak, bergantian menatap rekan-rekannya. Hal itu seketika membuat semuanya tersadar, "Apa?!" Seru ketiganya kompak.

To be continued...

History Song Of The Sirens [] Lee knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang