Setelan pakaian tipis itu cukup membuatnya terlihat mencolok, walau setiap waktu selalu berkubang di genangan air, kali ini udara terasa berbeda, Sea merapatkan tubuh ketika angin malam mulai terasa menyergapnya. Sebab ketika ekor siren berubah menjadi kaki, suhu tubuh mereka akan menyesuaikan dengan intensitas manusia pada umumnya, rongga udara bekerja, membuat kedua insang di rahangnya menutup seakan menyatu dengan kulit.
Seraya mengamati keadaan sekitar, Sea memfokuskan indra penciuman yang bekerja sangat baik, mencari keberadaan trisula melalui aroma, 'Fokus saja pada tujuan, cari trisula itu secepat mungkin, lalu kembali ke lautan agar mereka tak menyebutku pecundang lagi.'
Semakin jauh, daerah yang dimasuki berupa gang-gang kumuh dan gelap. Sekelebat bayangan tiba-tiba menghadangnya, Sea sontak menghentikan langkah, "Kenapa kau berjalan sendirian malam-malam begini, nona?"
Bayangan itu semakin mendekat, wajahnya yang mengerikan tampak ketika cahaya bulan menyorotinya. Sosok pria dewasa berbadan kekar, dengan mata kiri terdapat bekas goresan yang tampaknya belum lama mengering , dia mendekat disertai senyum miring mengembang.
Sea merosot ke belakang saat pria itu menjulurkan tangan. Namun keterkejutannya tak terhenti hingga saat itu, Andrew tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya sambil menahan tangan pria mengerikan itu.
Andrew menghempaskannya, kemudian bersidekap dada seolah menantang, "Jangan mengganggu perempuan seenaknya."
Tanpa bicara banyak, pria itu mengepalkan tangan, lantas mengarahkan buku-buku jari ke tengkuk Andrew, yang membuatnya terjungkal seketika.
Tak mau direndahkan, sang lawan ikut menyerang. Karena pada dasarnya mereka bukan ahli, berkelahi hanya berdasar naluri, yang Sea lihat, dua orang saling memeluk dan bergulat seadanya. Bukan pertandingan adu jantan. Ia mendesis sebal dibuatnya, dan tanpa aba-aba menarik Andrew ke belakang, lantas memutar sedikit pinggang untuk menaikkan kaki yang langsung saja menendang wajah pria itu.
Kemudian mendaratkan beberapa kali pukulan juga tendangan mengesankan. Andrew hanya bisa tercengang dengan mulut terbuka.
Pria itu kemudian berlari menjauh, sementara Sea hanya diam sambil menatap Andrew yang terdiam membeku.
---
Langkah kaki mereka menuntun ke arah jalan raya yang masih teramat ramai, bahkan hampir macet. Andrew terus mengikuti kemanapun Sea pergi, jika ditanya, dia selalu beralasan khawatir kalau gadis itu kenapa-kenapa. Padahal keselamatannya sendiri lah yang perlu dipertanyakan.
Gadis itu mendengus lelah saat sekali lagi si lelaki berbicara menggebu-gebu, "Yang tadi hebat sekali! Kakinya pasti patah, kau belajar jurus seperti itu dari mana? Les taekwondo ya?"
"Pertahanan diri."
Andrew mendelik, "Hm? Otodidak? Memangnya bisa."
Sea tak tahan lagi. Ia menghentikan langkah seraya menatap tajam ke arah pria yang terus membuntutinya tanpa rasa bersalah dan alasan yang tak logis, jika pada dasarnya gadis yang dijaga punya kemampuan bela diri sangat baik, "Aku akan pergi sendiri, jangan ikuti lagi. Lebih baik kau cari cara jaga diri sendiri."
"Kau meremehkanku?"
"Aku tidak mau berdebat panjang lebar denganmu, sudah cukup kau membuatku pusing," ujarnya sambil mengacak rambut, "Terima kasih sudah menyelamatkanku, tapi sekarang aku sudah baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir."
Sea kemudian berlari, menjauhi keramaian menuju jalanan yang lebih tenang. Mirip perumahan, namun dikelilingi perkebunan.
Saat sudah cukup jauh dari tempat ia meninggalkan Andrew tadi, Sea terduduk di trotoar. Lagi-lagi mengusap kening, memikirkan apa yang harus dilakukan supaya tidak berlama-lama di daratan. Karena walau bagaimanapun, rumahnya adalah samudra, bukan di atas tanah, "Satu-satunya cara menemukan trisula itu, kapal yang mereka gunakan. Tapi... semua kapal yang ada di dermaga bentuknya sama walau ukurannya berbeda-beda. Aku harus bagaimana?"
"Aroma trisula saja tidak akan membantu, tapi..." Ia mengusak surai sampai berantakan, "Aku pusing!"
"Hai."
Sea spontan mendongak saat suara berat menyapanya, ia hampir menaikkan kaki jika saja Andrew lagi.
Namun ternyata bukan, pria bermantel tebal dengan rambut disisir rapi ke belakang tengah tersenyum lebar menatapnya. Sea gelagapan membungkuk sopan setelah beberapa saat berhasil mengenali sosok itu, "Keturunan dewa! Salam."
Dia tersenyum lebar, balas membungkuk, "Bukankah kau ekor emas itu?"
Sea tertawa canggung seraya mengusap leher, "I-iya," sedetik kemudian tawanya berubah menjadi raut panik, "Maaf, tapi apa yang anda lakukan di daratan?"
"Ini rutinitas putra dewa, kami membagi waktu di daratan dan laut untuk menjaga keberadaan kaum siren. Kau sendiri? Ada apa? Tidak biasanya siren pergi kemari, mereka sangat anti-manusia."
'Hilangnya trisula itu belum sampai ke telinga putra dewa, aku harus bagaimana?' Sea membatin sambil menggigit bibir. Keringat dingin juga mulai membasahi sekitar leher dan dahinya.
Lelaki itu maju selangkah, memegang lengan Sea penuh kekhawatiran, "Hei, sepertinya kau tidak baik-baik saja."
"Y-ya, kau tahu sendiri warna ekorku membawa masalah di lautan. Dan aku di sini untuk menghindari mereka semua, maaf, aku tak bermaksud melarikan diri," alibinya.
"Tidak masalah, kau pasti juga butuh ketenangan. Aku mengerti rasanya berbeda, mereka pasti menyakitimu," tanpa disangka, balasan lelaki itu sungguh membuat Sea terkagum-kagum. Ia pikir, akan disuruh kembali ke lautan agar tidak menimbulkan masalah. Namun ternyata putra dewa sangat baik, "Ngomong-ngomong kau tidak punya tempat tinggal, 'kan?"
"Ehm, itu.."
Dia kembali tersenyum, meneduhkan, "Kau bisa menginap di rumahku sementara. Sampai bisa tenang untuk kembali ke laut."
"Boleh?"
"Tentu saja. Aku yang menawarkan padamu."
"Terima kasih," perlahan, Sea ikut tersenyum membalasnya. Namun ia rasa masalahnya semakin berat, trisula itu harus segera dikembalikan, asal putra dewa tidak tahu. Lalu bagaimana ia akan melaksakanan kegiatannya? Orang lain pasti merasa curiga dengannya.
"Oh ya, siapa namamu? Panggil aku Luke, dan jangan pernah sebut putra dewa di sini."
Ia mendongak, "A-aku Sea."
Luke mengulurkan tangan, menepuk pelan kepala Sea, "Kau sangat setia, mendeskripsikan namamu sendiri sebagai lautan. Semoga setelah kembali, kau akan hidup lebih baik lagi. Ah aku terlalu banyak bicara, sudah, ayo kita pulang."
Sementara dari kejauhan, Andrew yang baru menemukan keberadaan Sea, harus mendengus tidak rela.
To be continued...
Bangchan
As
Luke Tyson
(The Prince of Sea/Oceanographer)
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...