_31 As A Goddes

320 94 5
                                    

"Kalian membuat ibu sakit kepala!"

Kedua kakak beradik tak sedarah tersebut kompak menunduk sembari bersimpuh di dekat kursi, "Maaf, bu. Kami tak bermaksud."

Ibu menatap khawatir puta bungsunya, "Erick tidak akan dipenjaran kan?"

"Andrew membantuku melewati masalah ini, jadi aku... aku janji tidak akan melakukan hal buruk lagi."

"Lalu kau? Sewaktu-waktu seseorang akan memergokimu?" Kini pandangannya beralih pada si sulung, khawatir bercampur emosi, "Siren yang kau lepaskan itu mendatangkan bencana bagi dirimu sendiri."

"Aku tahu ini berbahaya, tapi tindakanku tidak salah. Mereka mencari tahu koloni siren itu, jika hampir punah, maka semuanya ditangkap dan dipelihara di daratan, bu."

"Sementara kau sendiri tidak tahu berapa jumlah koloni mereka kan?" Tanya sang ibu semakin dibuat emosi atas tindakan putranya yang dilandasi keputusan sepihak.

Andrew menggaruk kepala, "Siren itu hampir disebut mitos oleh sebagian besar orang di dunia, jika mereka jarang terlihat, bukankah itu pertanda populasinya juga sedikit? Aku hanya membantu agar mereka tak bernasib sama dengan lumba-lumba sirkus."

Sang ibu menggelengkan kepala, sesepele itu tujuannya, meski niat yang Andrew buat bertujuan baik. Sementara Erick mendadak merasakan hawa tak enak, ia bangkit berdiri tanpa berani mengangkat kepala, "Aku mau pulang ke rumah ayah dulu," tukasnya.

"Ibu tahu, siren itu bukan makhluk biasa," Andrew mendongak, "Jika ibu mempercayaiku dan menjaga rahasia, maka akan ku tunjukkan suatu hal yang lebih besar."

"Apa maksudmu?"

"Aku minta baju bekas dulu, yang masih bisa dipakai."

---

Sea terbangun saat baru beberapa menit memejamkan mata akibat kebisingan di luar pintu—berkat pendengarannya yang terlampau tajam. Laptop di atas perutnya masih menyala menampilkan drama fantasi-romansa, setelah Andrew mengajari cara menyalakan benda itu sekaligus memperkenalkan internet, ia tak berhenti Memandangi layarnya kecuali jika sedang berkedip.

"Kau menyimpan perempuan di apartemen?!" Teriak seorang wanita paruh baya, memandang penuh keterkejutan pada Sea yang telentang di atas sofa, beserta laptop menyala di atas perut dan kantung mata menghitam. Belum lagi gumpalan tisu tersebar di mana-mana.

"Dia bukan perempuan biasa," sela Andrew selesai menutup pintu. Matanya melotot melihat keadaan gadis itu, "Sea, kau tidak tidur semalaman?!"

"Aku menonton drama seorang pelayan dan pangeran kegelapan, ceritanya menyedihkan sekali, ada 20 episode jadi ku tonton sampai selesai," Sea membersihkan kekacauan sambil sesekali melirik ibu Andrew penuh kewaspadaan.

Rupanya lelaki itu menangkap raut tersebut, ia mengusap bahu ibu guna menenangkannya sambil membantu Sea memungut tisu, "Ini ibuku, dia ada dipihak kita."

"Kalian sedang tidak main-main kan? Itu kaki bukan ekor," ibu menunjuk bagian bawah Sea. Ketakutannya semakin menjadi-jadi kalau kedua muda-mudi itu berbohong menyangkut pautkan mitos siren untuk menutupi hal lain. Namun ia lebih percaya kalau putra sulungnya anak yang baik, tak mungkin melakukan hal buruk kecuali dalam konteks lain yang mendukung.

Andrew menaikkan alis, "Sea bisa menunjukkan wujud aslinya, 'kan?"

"A-apa aku bisa percaya pada ibu?"

Wanita itu mengangguk ragu.

"Aku harap ibu tetap tenang, jangan berteriak setelah melihatnya," sela Andrew sembari beranjak ke kamar mandi untuk mengisi bath up.

Sampai beberapa menit, Sea hanya melamun menatap air yang semakin memenuhi bak tersebut. Kakinya satu per satu masuk, seterusnya hingga tersisa kepala di ambang udara.

Andrew menunggu di luar sementara ibu berada di dalam memandang perubahan dua kaki menyatu menjadi ekor dengan sirip yang besar berwarna keemasan. Ia menutup mulut tak mampu berkata-kata, terlebih aura yang Sea pancarkan semakin sempurna layaknya bidadari.

Lama tak mendengar suara, Andrew bergegas kembali masuk, ia sontak menghentikan langkah saat melihat wujud siren Sea berbeda dari yang ia lihat di laboratorium kala itu, "Kenapa—" kaki serta ucapannya sinkron terhenti, namun batin tak dapat tertahan, 'Astaga, Cantik sekali ya tuhan!'

Sea mengangkat kepala, Andrew pasti bingung dengan wujudnya yang berbeda jauh dari waktu pertama kali mereka bertemu saat dirinya dalam keadaan berekor, "Aku sudah pernah bilang, ketika merasa terancam, emosi merangsang rasa takut hingga tubuh kami seolah membesar dan lebih kuat. Manusia menganggap wujud itu seperti siluman yang berbahaya, tapi karena itu juga kami bisa menyelamatkan diri dari serangan benda tajam bahkan gigitan hiu."

"Su-sudah, aku percaya. Se-segera kembalikan kakimu," ujar ibu terbata, seraya meraih handuk.

Sea bertanya lirih, "Ibu takut?"

"Tidak, aku hanya terkejut. Ini bukan hal biasa, kau spesial... Andrew spesial karena bisa bertemu denganmu."

Wanita itu telaten melilitkan handuk sembari menatap kembalinya kedua kaki tersebut. Sedangkan Andrew segera beralih ke ruang tengah karena menyadari ada hal yang seharusnya tidak ia lihat.

Kedua wanita itu berangsur mengakrabkan diri di kamar tamu, membicarakan banyak hal terutama perihal wanita yang sebenarnya Sea hanya jadi pendengar karena ia tak begitu tahu.

Sea semakin dibuat bahagia karena kedatangan dua kardus pakaian, meski semuanya bekas dan model lama tapi masih bagus dan layak pakai. Mata gadis itu pertama kali tertuju pada gaun merah tanpa lengan sepanjang betis dengan renda di lingkar leher dan ujung bawah, "Wah, aku suka yang warna merah! Kelihatan unik."

"Seleramu memang unik," komentar ibu seraya menunjukkan gaun model serupa namun lebih simpel juga tak mencolok, "Baju-baju seperti itu sudah jarang dipakai, orang jaman sekarang lebih sering menggunakan warna natural yang tidak mencolok."

Sea bergidik, "Warna-warna itu kelihatan kusam, aku tidak suka. Tapi bentuknya bagus."

Andrew mendadak bersandar di ambang pintu ssambil bersidekap, "Aku sudah bilang, dia agak norak dan nyentrik. Apa semua siren punya selera yang sama?"

"Apa aku boleh pinjam laptopmu lagi?" Tanya Sea, keluar dari topik.

"Tidak!"  Bantahnya tegas, "Baru sehari di kota, kau sudah jadi pecandu gawai."

"Aku hanya mau menonton acara mukbang."

"Bagaimana dengan makan siang, dari pada menonton, sebaiknya kita tunjukkan cara memasak pada Sea," sela ibu.

"Aku menontonnya di drama, ayo kita lakukan. Pasti memasak itu seru sekali."

---

"Sea mudah diajari, dia menonton sekali tapi langsung bisa mempraktekan."

Andrew spontan mendongak, menatap datar samg ibu—yang tengah menata makanan di meja, "Dia sudah hidup lebih dari satu milenium, tidak wajar jika belum mengerti cara bertahan hidup."

"Satu milenium?!" Ibu menggelengkan kepala tak percaya.

Sea bersenandung dari dapur sambil menunjukkan ayam tepung hasil buatannya, "Aku suka ayam dan soda."

"Dia bahkan mahir makan sepuluh porsi ayam box," celetuk Andrew lagi. Ponselnya di saku tiba-tiba berdering menunjukkan kontak nama yang tak asing.

"Aku di depan apartemenmu! Cepat buka pintunya!" Sentak suara dari seberang.

Ia kontan mematikan panggilan seraya menatap horor ke arah Sea, "Gawat, Liza di sini!"

"Apa kita tidak bisa memberitahu tentang Sea padanya juga?"

To be continued...

History Song Of The Sirens [] Lee knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang