Jarak beberapa jengkal, Andrew terpaku di tempat, entah mengapa langkahnya terasa begitu berat.
Giliran Sea yang mendekat, menyisakan jarak begitu tipis diantara keduanya, "Terima kasih karena masih mengingatku, Andrew."
"Kemana kau selama ini? Mengapa tak pernah mendatangiku lagi?"
Sea tiba-tiba memeluknya tanpa mengatakan apapun, menyalurkan kerinduan terpendam yang selama ini tak dapat ditumpahkan pada siapapun. Sea begitu bahagia walaupun nantinya hanya memiliki kesempatan selama satu menit, paling tidak Andrew juga bersedia membalas pelukannya, melingkarkam lengan kekar hingga hampi menutupi punggung gadis itu.
Keduanya seolah saling merasakan kekhawatiran dan kerinduan satu sama lain, menyalurkannya lewat rengkuhan kenyamanan.
Andrew bergumam, "Aku sangat merindukanmu."
---
Tiga bulan yang lalu
"Sea sadarlah, ku mohon." Luke hampir putus asa menepuki sisi wajah siren ekor emas tersebut. Kini sudah hari ke 27, dan sosoknya belum tersadar barang satu menit pun.
Siren lain bersprekulasi Sea telah mati dan berniat menguburkan selayaknya kematian kaum mereka, namun sang putra dewa menentang keras-Luke menyadari insang gadis itu masih bergerak, tertanda Sea belum benar-benar pergi.
"Kita tidak mungkin terus seperti ini, Luke," celetuk sesosok siren tetua, mengalihkan fokus sang putra dewa dari si ekor emas.
Datanglah beberapa siren lainnya, menyahuti ucapan tetua seakan mendorong maju opininya, "Benar, bersembunyi sama saja dengan tidak hidup sama sekali. Kami bahkan tidak mendapat sinar matahari dengan baik selama ini."
Luke menunduk dalam, merasa menyesal mengabaikan kehidupan kaumnya sendiri sampai pada akhirnya mereka berani mengeluh. Ia yakin jika tidak terpaksa, para siren tak akan berkeluh kesah di depan putra dewa, "Maaf, tapi kita benar-benar tidak bisa melakukan apapun untuk sekarang selain memastikan keadaan aman dan manusia tidak lagi mengganggu."
"Mau sampai kapanpun, manusia akan terus merasa penasaran dan barusaha menemui kita," timpal tetua membuat Luke bungkam.
"Bagaimana jika kita pergi ke daratan dan tantang mereka,"
"Jangan gila."
"Bukan itu maksudku, tapi... kita harus hidup bersembunyi diantara mereka."
Luke semakin merana, di sisi lain ia khawatir dengan keberadaan kaum siren jika terus berdiam di palung, tak ada cahaya matahari ataupun sumber makanan yang cukup, sementara kalau bebas berkeliaran di permukaan laut dangkal, manusia akan dengan mudah mengetahui.
Opini para tetua untuk pergi ke dunia manusia dan berpura-pura menjadi 'sejenis' dengan mereka tampaknya bukan keputusan yang buruk. Hanya saja para siren tentu harus lebih berhati-hati, dunia manusia begitu canggi sekarang, sulit bagi para siren untuk melakukan tipu daya, meski tidak mustahil juga.
---
"Lalu kami kemudian berdatangan kemari, mencoba mengelabui banyak orang dengan wujud seperti manusia."
Andrew mengusap telapaknya usai mendengar pernyataan kejujuran dari siren jelita di sampingnya, "Aku masih tidak percaya..."
"Sejujurnya, ada satu lagi hutangku padamu," ujar Sea dengan suara lirih, namun Andrew masih dapat mendengarnya dengan sangat jelas, dadanya mendadak berdebar keras, "Aku ingin mengatakan suatu hal. Ku harap kau tidak membenciku setelah ini."
Yang begitu diharapkan adalah pernyataan pengutaraan perasaan yang tertunda selama hampir seratus hari. Andrew yakin Sea juga memiliki kenyamanan yang sama dengan apa yang ia alami. Tapi gadis itu mendadak membicarakan hal lain.
"Kita mungkin tinggal di alam yang sama sekarang, tapi ku rasa keberadaan siren di sekitarmu akan semakin membahayakan-walaupun para orang jahat itu hanya tahu wujud sirenku saat seperti monster. Aku ingin berterimakasih atas segala perlakuan baikmu padaku, sekaligus meminta maaf dengan adanya lebih banyak kesalahan yang ku perbuat tanpa kau sadari," ujarnya dengan kepala menunduk dalam, sejenak, air mata Sea luruh, gadis siren itu berusaha menyembunyikannya dalam diam. Sea lantas memandang Andrew dari samping, yang langsung dibalas, "Aku mempengaruhi pikiranmu agar kau mau berjuang menyelamatkanku meski ditempa bahaya sekalipun. Ini semua salahku, maaf."
Andrew mengerutkan kening, "Apa yang kau bicarakan, semua ini ku lakukan tulus untuk membantumu."
Sea memejamkan mata sejenak, iris biru kehijauan miliknya berubah semakin cantik dengan warna cemerlang membutakan siapapun yang melihatnya. Andrew sempat takjub selama beberapa detik, kesadarannya seakan direngut paksa, banyak memori masa lalu yang mendadak terngiang di kepala, "Sudah, hipnotisnya hilang. Kau mulai sadar tentang betapa bahaya membiarkanku terus berada di sampingmu 'kan?"
Seluruh momen yang ia dedikasikan khusus untuk membantu Sea memang terlalu bertekad dan seolah tak ada kata menyerah sama sekali, untuk ukuran manusia biasa memang tidak akan mungkin rela melakukannya. Andrew merasa bermuka dua, "Kapan kau melakukannya?"
"Saat di laut lepas, ketika kau memandang mataku."
Andrew memejamkan mata, ingatannya kembali ke masa lalu di mana pertama kali kesan pertemuan mereka berlangsung singkat.
Kala itu, ketika ekspedisi pengangkatan artefak serupa trisula tengha dilakukan, hari pertama ia mengarungi lautan tersebut, sosok bermata hijau kebiruan layaknya samudra memandang dari bawah kapal. Tatapannya aneh namun matanya indah, membuat Andrew tanpa sadar terlena.
"Aku mencintaimu, tapi kau tidak mungkin melakukan hal yang sama padaku, mustahil... tapi terimakasih atas semuanya terutama pengorbanan waktumu-dan aku begitu menyesal sudah membuatmu ikut terjerumus dalam dunia siren yang dipenuhi ancaman."
Sebelumnya, jika Sea belum mengangkat efek hipnotis, Andrew pasti akan tersentuh dan sangat bahagian dengan pernyataan tersebut. Namun kembali pada realita, lelaki itu hanya tersihir, perasannya tidak tulus, melainkan khayalan yang Sea buatkan.
Andrew sendiri merasa bingung, ia memegangi kepala, batinnya berkata, 'Ya, aku pun sangat sadar kita berbeda. Begitu pula perasaanku untukmu, lenyap tak tersisa...'
Antara pertama ataupun terakhir, memang lebih baik menjatuhkan pilihan pada yang terakhir, sebab sekalipun menjadi yang pertama, bukan berarti akan bersama selamanya.
_End_
Ended: 16-02-22
Writer: Loserpryyy01
Noted: Thank's for reading
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...