Gaun biru laut selutut bercorak bunga tulip jadi pilihan Sea, sejujurnya Andrew ingin berkomentar jika pakaian itu terlalu norak dan kuno. Tapi apa boleh buat, gadis itu sangat kukuh memilihnya.
Sebelum kembali ke hotel, keduanya memilih pergi ke toko busana. Membelikan sepotong pakaian, Andrew rasa tak merugikan dirinya. Sekalipun baju yang Sea pilih terlalu norak, tapi jika dia yang memakainya justru tampak lebih anggun.
Sembari menemaninya mengitari setiap sudut toko, Andrew berceletuk, "Apa aku boleh mengatakan kebenaran tentangmu pada salah satu temanku? Dia orang baik, dan juga tahu rencanaku menyelamatkanmu."
Sea sontak menghentikan kegiatan sambil berbalik ke arah lawan bicara, "Sebenarnya, kalau saja kau tidak berbaik hati menolongku, semua rahasia siren harus tetap aman. Aku menghargaimu secara terbuka karena kau telah baik padaku, tapi bukan berarti semua bisa ditoleransi. Tidak semua manusia sama sepertimu," ujarnya penuh sesal, "Bukan bermaksud menyinggung, tapi temanmu bisa saja jadi musuhku. Aku terlalu bersemangat setelah bertemu denganmu, karena dari sekian banyak manusia yang pernah ku temui, hanya satu atau dua orang yang menghargai jati diriku."
"O-oke, jadi... sekarang aku bingung harus bilang apa tentangmu pada teman-temanku, kalau saudara juga tidak mungkin, Liza akrab denganku, dia tahu siapa saja saudaraku."
"Bilang saja aku orang tersesat."
"Mereka pasti memaksa membawamu ke polisi."
Sea menggeleng, "Tidak, aku harus ikut denganmu terus karena daerah tempat tinggalku dekat rumahmu."
"Jangan, begini saja. Kau kehilangan semua barang termasuk segala jenis kartu identitas karena dicuri, lalu menebeng denganku karena rumahmu juga di ibu kota. Nanti kalau ada orang tanya, jelaskan seperti itu. Supaya mereka tidak curiga kalau aku yang menjelaskan sendiri."
"Kedengarannya sama seperti ideku," sangkal gadis itu sambil mendelik.
Andrew menahan tawa, "Dirombak sedikit," ia memusatkan pandangan pada pakaian warna merah motif sulur yang Sea pegang, lantas segera berlalu ke kasir, "Baiklah, mari kita kembali ke hotel. Mereka pasti sudah berkemas."
---
"Cantik sekali, aku tahu alasan kenapa kau sangat baik hati mau membantunya," Joseph membulatkan mata seraya mengalihkan pandangan pada rekan seperofesinya--yang baru saja membawa gadis muda.
Di sisi lain, Liza memandang tak minat makanan yang tersaji. Hal itu berkat kabar Andrew semalam, yang mendadak berbeda dengan pagi ini. Ia mendelik sinis ke arah perempuan bergaun kuno dilengkapi sandal kulit ala era 90-an, "Orang dari ibu kota juga?"
"Iya," balas Sea.
"Daerah mana?" Timpal Ella.
"Sama seperti Andrew."
Tak beda jauh dari Liza, Ella mencurigai kedatangan perempuan yang mengaku bernama Seanna itu. Mana mungkin di zaman sekarang masih ada gadis muda berselera pakaian khas tahun 90-an. Namun ia memilih mengabaikan pemikiran itu, bisa saja Seana memang pecinta modis kuno, "Sejak kapan kau tersesat? Ah, maksudku barang-barangmu itu dicuri."
Sebelum Sea menjawab, dan jadi salah kaprah. Andrew menyela, "Baru semalam, lalu kami bertemu di jalan. Dia tidak punya uang sama sekali, jadi ku antar ke sauna untuk bermalam di sana."
"Kau sendiri tidak pulang semalam karena itu?" Sudut bibir runcing Liza meninggi, disertai pita suaramya yang melengking bernada tak suka. Gadis itu sontak berdiri, mebgabaikan makanan yang baru saji, "Andrew, aku mau bicara sebentar."
Andrew mengangguk, ia pun segera melangkah mengikuti Liza ke area outdoor resto, "Kabar siren hilang itu sudah sampai ke telinga orang-orang gedung, termasuk aku. Kau kemanakan dia dan mengapa pulang-pulang bawa perempuan tidak jelas?"
"Aku berhasil melepaskannya ke laut, dan yah di jalan pulang tidak sengaja bertemu Seana, menangis sendirian. Apa aku akan membiarkan perempuan tersesat tengah malam di jalanan sepi?"
Potongan peristiwa dari kalimat singkat itu berhasil dibuat, Andrew menyentak seakan menjelaskan kejadian lalu yang berakhir buruk terhadap saudarinya, Arina. Perempuan yang masih menempuh sekolah menengah atas itu celaka pada detik-detik yang sama dengan Seana, berada di jalanan sepi malam-malam. Liza seketika merasa bersalah, entah apa yang akan terjadi pada Seana jika Andrew tak membantunya, bisa jadi dia bernasip serupa dengan Arina.
Namun kedekatan mereka berdua, tetap membuat api dalam hati Liza merajalela. Apakah dua orang asing yang baru saja bertemu semalam, bisa langsung akrab selayaknya bersahabat lama?
"Kita hanya perlu membantunya pulang, tidak lebih," sela Andrew membuatnya sontak menghapus lamunan.
Liza masih tak sependapat, "Kan bisa dibawa ke kantor polisi."
"Urusannya jadi panjang nanti, sudahlah, selagi kita bisa kenapa harus orang lain. Aku sudah janji akan membantunya selamat sampai rumah."
Sementara Sea merasa canggung duduk bersama dua manusia yang bisa saja menyakitinya. Tak banyak bicara, ia hanya mencoba menikmati sajian potongan daging sapi yang diasap.
Lama saling terdiam, Joseph berceletuk, "Seanna, sebelumnya tujuanmu datang kemari apa?"
"Aku berwisata," beruntung Andrew sudah memberitahunya mengenai hal ini. Ia jadi tak susah payah berpikir menjawab pertanyaan tersebut.
"Sendirian?"
"Iya."
Namun pandangan Arkeolog Marcella atau kerap dipanggil Ella itu cukup membuatnya risih, "Bau bajumu seperti baru keluar dari toko, sepatumu juga bersih sekali."
Joseph tahu mengomentari penampilan orang bukanlah hal baik, jadi ia mengalihkan topik, "Hey, bukankah sebentar lagi kita harus ke bandara. Ayo selesaikan makan kalian, cepat."
Sayangnya, mendadak Ella kembali bertanya cukup serius, "Seanna, nama belakangmu siapa?"
"Seanna Harisson," beruntung seseorang berpakaian rapi selayaknya direktur utama sebuah perusahaan besar tengah melintas di samping mereka, Sea sempat melirik name tag-nya 'Tn. Harisson.' Sehingga ia langsung saja memilih nama itu.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...