Mengira dunia manusia adalah kehidupan sempurna yang dijalani dengan gemilang kebahagiaan, setiap malam dihiasi kerlipan lampu warna-warni dan keramaian yang selalu hadir, merupakan sebuah kesalahan besar.
Manusia menjadikan segalanya sebagai hiburan tanpa rasa belas kasih. Melihat binatang berinsang itu dikurung dalam kotak persegi tak lebih dari satu meter, dan aneka unggas bulu ekor panjang didalam kurungan rotan. Melupakan kekhawatiran, ia kembali ke pesisir, memutar kepala ke segala arah guna memastikan keadaan sedang benar-benar sepi.
Sepasang kaki itupun berakhir menyatu, kembali semula pada bentuk awal yang menyerupai ekor ikan penuh sisik berwarna keemasan, warna yang aneh dibanding siren lain. Kebanyakan ekor mereka memang gelap, sehingga dapat dengan mudah bersembunyi di kegelapan laut, sebuah kamuflase alami.
Sementara keberadaannya yang dianggap aneh oleh sebangsa, menjadikan kehidupannya jelas tidak aman, padahal hanya karena perbedaan warna.
Salah satu alasannya menyetujui pergi ke daratan, karena dirinya yang dianggap cacat. Namun setelah melihat sendiri bagaimana kehidupan manusia, ia berpikir ulang untuk menyetujuinya. Mereka tampak lebih jahat, dibanding para siren yang tidak menyukainya.
Hidup di dunia manusia tidak nyaman, sebagian orang serakah terhadap kenikmatan yang diberikan penguasa alam semesta. Dia memilih kembali mengarungi gelombang air itu, menyelinap diantara bebatuan karang, jauh lebih dalam sehingga tersisa kawah-kawah kecil gelap, cukup mampu menyamarkan keberadaannya yang mencolok.
Ia terlarut dalam diam, 'Aku tidak mau lagi ke daratan, bagaimana jika mereka menangkapku seperti para moorish dan yellow tang di benda kotak tadi. Atau justru memanggangku seperti para unggas yang dinamai ayam bakar?'
'Tapi kau sudah menjanjikannya, kau yang akan mengambil kembali trisula itu dari tangan kotor manusia. Jangan membuat dirimu semakin dibenci, tunjukanlan kalau cacat itu membawa keberkahan, bukan bencana,' ungkapan lain tiba-tiba terlintas dalam benak, membuatnya bungkam sambil memukuli dada.
Siren berekor emas itupun mulai melantunkan symphoni kesedihan, hingga memekakan arus air dihadapannya.
---
"Ah, maaf aku tak bisa mengabulkan permintaanmu. Ini speed boat wisata, jarak terjauh dihitung dari daratan, jika kita masih bisa dilihat dari sana. Dan ini sudah melebihi setengah," pria itu sudah kembali memegang kemudi. Berniat memutar balik arah, sebelum arkeolog aneh yang berwisata malam-malam ini memaksanya melakukan hal gila lain.
Namun Andrew dengan cekatan menahan tangannya, memutar kepala ke segala penjuru berupa samudra, "Kau tidak penasaran dengan suara apa tadi? Seperti senandung sedih."
"Mereka bilang, nyanyian siren akan mendatangkan bencana. Jika kita sampai bertemu dengannya, maka... habislah."
Yang lebih muda menyipitkan mata, seolah tak setuju dengan ungkapan si pengemudi. Sebenarnya Andrew hanya mencoba melampiaskan dendamnya terhadap laut, si gelombang tenang yang kenyataanya monster, "Bukankah itu hanya cerita dari mulut ke mulut yang belum jelas? Paman tidak penasaran dengan wujud asli mereka? Dan apakah siren itu memang jahat seperti yang diceritakan?"
Hanya orang gila yang antusias ketika mendengar senandung siren, walaupun nadanya terdengar lembut, halus, dan menenangkan, pria itu tetap percaya jika kedatangan siren akan membawa bencana. Ia menepis pergelangan Andrew dan memutar balik ke daratan, "Aku tak bisa, maaf. Akan ku putar balik kapalnya."
Sementara si penumpang justru kembali ke bow depan, menyalakan kamera ponsel untuk merekam pemandangan laut di sekitar, "Jika memang ada, makhluk itu pasti ada disekitar sini, suaranya sangat dekat."
Merasa tak mendapatkan apapun, Andrew menurunkan ponsel. Memandang ke bawah di mana air itu bergerak diterpa kendaraan lautnya, ingatan ketika ia melihat mata hijau kebiruan itu tiba-tiba terlintas. Mata itu jelas dimilki seseorang, bukan bayangannya, tapi jika dugaannya benar, siapa dia? Sekedar orang iseng atau makhluk lain? mungkin siren?
Symphoni itu lagi-lagi terdengar, namun tidak jelas karena didominasi suara mesin kapal yang bergerak. Andrew menyalakan lagi kameranya, berharap suaranya masih bisa dideteksi ponsel yang rusak akibat kejadian petang tadi.
Sejenak, ia kembali teringat pada sang ayah, dimana kenangan pahit dan manisnya berhubungan dengan laut dan air. Kala itu Andrew kecil yang usianya belum genap lima tahun, merengek sebal ketika sang ayah membawanya ke pantai, ia bahkan membuang puluhan bungkusan permen yang sebelumnya dikantongi ke pesisir, "Kenapa ayah mengajakku piknik ke pantai? Membosankan! Jelek! Akan lebih baik jika kita ke taman bermain atau pasar malam!"
Pria itu dengan sabar memungut sampah sambil mengusap kepala putranya, menunjukkan lautan lepas sambil tersenyum penuh kedamaian pada matahari yang seolah tampak tenggelam ditelan samudra, "Nak, jangan meremehkan penciptaan dunia yang asli. Karena dia menyimpan jutaan rahasia besar yang tidak bisa kita ketahui, andai saja kau mengerti betapa indahnya sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung, mereka bersembunyi karena takut."
"Jadi... berhenti buang sampah di sini, oh—tidak, jangan buang sampah sembarangan, atau kau akan melukai hati dan fisik mereka."
"Tapi aku bosaan..."
"Kalau begitu ayo mulai petualangannya! Dijamin Andy pasti suka!"
---
'Apakah kau tahu rasanya menjadi berbeda? Aku tak bangga, justru merasa bersalah karena akan membuat keberadaan kaumku terancam jika manusia menangkapku. Seperti yang kami tahu, manusia itu serakah, mereka pasti senang sekali bertemu siren. Kami akan dipajang seperti ikan-ikan hias di dalam benda yang disebut akuarium.
Sementara kaumku sendiri seakan membebaskanku pergi ke daratan. Mereka membenciku, menatapku jijik, karena cacat. Padahal jika dilihat, ekorku berkilau, tentunya jauh kebih cantik dari yang lain. Tapi itu dianggap membahayakan populasi kami.
Aku takut.
Aku suka punya sesuatu yang berbeda dari yang lain, dan lebih indah.
Tapi aku tetap takut.
Jika aku masih di laut, mereka terus merendahkanku, tapi jika ke daratan, aku yang takut dengan manusia. Lalu bagaimana dengan trisula itu?
Aku siren bodoh yang melemparkan diri sendiri menjadi umpan. Mereka jelas senang kalau aku hidup menderita.'
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...