Sudah satu jam berlalu, kondisi Sea semakin buruk. Sementara Andrew sibuk menghubungi Luke untuk meminta bantuan menangani kecemasannya, nyatanya pria itu tak bisa dihubungi sama sekali. Luke kemungkinan besar juga sedang dalam masalah, karena sesuai dugaan, cepat atau lambat pelaku penculikan siren itu pasti akan terbongkar.
"Apa sebelumnya yang seperti ini pernah terjadi?" Tanya Andrew seraya memadang mata biru Sea yang kini lebih tenang berendam di bath up kamar mandi. Ekornya belum kembali, masih dengan kaki bersisiknya. Andew menyesal tak melakukan penelitian pada siren itu sejak awal, paling tidak dirinya bisa membantu jika Sea mengalami hal buruk seperti sekarang.
Sea hanya diam, setelah beberapa menit yang lalu ia berhenti menangis, satu kata pun belum keluar dari bibirnya seolah tak sanggup, namun kedua tatapannya menyiratkan banyak hal.
Hingga beberapa menit berlalu dengan keheningan, Sea berceletuk lirih, "Air laut."
Andrew mengangkat sebelah alis. Ibu yang beru datang dari dapur membawa minumn hangat—segera memperjelas ungkapan gadis itu, "Kau butuh air laut? Mau kembali ke sana?"
Sea mengangguk.
"Sudah ku duga, mau bagaimanapun Sea itu berasal dari lautan, walau dia bisa punya kaki tapi habitat aslinya harus tetap menjadi komponen utama dalam hidup. Dia kemungkinan tidak bisa bertahan lama di daratan karena fakta ini, dia rindu rumahnya," jelas ibu, "Antarkan dulu saja Adrew, urusan dengan pria bernama Luke ataupun orang-orang yang nanti bisa saja menangkapmu masih bisa kita atasi. Mungkin setelah berenang sebentar di laut, Sea bisa kembali membaik sehingga kalian bisa menjalankan rencana sampai pada akhirnya Sea harus pulang."
"Kalau begitu tolong berikan dia rok panjang, aku akan menyiapkan mobil."
---
Boat kecil pribadi tersebut sudah mendayu hingga jauh dari wilayah darat, di tengah suasana petang menjelang malam, ekor siren perlahan muncul ketika air laut menyentuhnya. Andai saja ada orang selain Andrew yang menatap takjub perubahan itu, diyakini mereka akan berusaha memiliki Sea bagaimanapun caranya.
Si ekor emas berenang mengitari boat, lalu kembali mendekati seseorang yang berada di atasnya seraya tersenyum lebar, "Aku merasa lebih baik. Ucapan ibu memang benar, ini rumahku dan aku tak bisa tinggal jauh-jauh dari tempat ini. Terima kasih sudah membantu."
Andrew terdiam, ia menyunggingkan senyum singkat sembari menatap pantulan wajah di air laut yang tenang tak bergerak sama sekali.
Sea mendapati raut lelaki itu—yang mendadak tak enak dipandang, ia sadar ada kesalah dalam pengucapannya barusan, sehingga mencoba meralat sebisa mungkin, "Tapi aku sangat suka daratan. Walaupun pernah dikurung di kotak kecil oleh manusia, aku bersyukur bertemu denganmu, kau manusia pertama dan paling baik yang pernah ku temui."
"Jangan terlalu percaya padaku, bagaimanapun aku tetap manusia yang bisa membuatmu terancam. Meski begitu sampai kapanpun, aku berjanji untuk terus berusaha melindungi kau dan kaummu," balasnya tulus.
Sea mendorong gerak ekornya hingga berada lebih dekat dengan Andrew di atas boat. Topik pembicaraan mendadak menyeleweng, "Kau suka pada Liza?"
"Apa—kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?" Balas Andrew terkejut.
"Kalian terlihat sangat dekat dan saling menyayangi."
"Dia sudah seperti saudariku. Apalagi temanku yaitu seseorang dari angkatan laut sedang mengincarnya, mana mungkin ku halangi hubungan mereka," lelaki itu menjelaskan seolah tengah klarifikasi supaya tidak ada kesalah pahaman.
"Lalu bagaimana denganku?" Pertanyaan singkat tersebut sontak membuat pergerakan Andrew terhenti otomatis. Sea menahan tawa ketika dia mengangkat sebelah alisnya penuh tanya.
Andrew menggaruk kepala karena merasa canggung sekaligus aneh. Seperti dalam situasi paling dihindari banyak orang, awkward silence.
"Aku menyukaimu," celetuk Sea.
"Ap-apa yang kau bicarakan, Sea..."
"Sebelumnya, aku mau jujur atas segala yang terjadi. Tentang pertemuan kita dan rahasia di balik segalanya, aku mencoba bersiap dan tak takut kalau suatu hari kau memilih menyerah dan meninggalkanku, yang penting aku sudah jujur, kalau perasaan ini nyata," Sea berujar tenang namun cukup membuat aura di sekeliling berubah layu dan sendu. Andrew menampik, gadis siren ini tak seperti yang ia kenal, Sea polos dan tidak banyak tahu daratan mendadak bicara serius mengenai rahasia, "Kita pernah bertemu sebelumnya, di kapal besar. Waktu itu aku mengetuk, dan kau melihatku, lalu terkejut sampai jatuh ke belakang," Sea tersenyum lebar menceritakan peristiwa itu.
Seolah diarahkan untuk tak membahas mengenai 'rahasia' yang Sea sebut, Andrew hanya diam menyimak keluarnya setiap huruf dari bibir merah muda yang alami tanpa pewarna.
"Pertemuan kedua saat kau menolongku, kepalaku terbentur sesuatu yang keras sampai pingsan. Itu awal yang mengesankan."
"Sebenarnya kita sudah pernah bertemu sebelum itu. Kau menjatuhkan ponselku sampai rusak," sela Andrew seraya mengusap lembut punggung tangan Sea, 'Dan aku sempat memotretmu.'
Gadis itu terkikik, "Pantas saja benda kotak milikmu jelek sekali, aku sering melihat manusia berkeliaran dengan benda itu tapi bentuknya keren, di hias-hias."
Andrew ikut tertawa, "Pertemuan ketiga kita lebih mengesankan, aku menyadari kalau kita memang berbeda."
"Tapi sepertinya kita pernah bertemu, jauh lebih dari itu semua, sekitar lima belas tahun yang lalu," Sea mendongak seolah tengah mencari ingatan lama dalam memori kepala, "Kau menangis saat mencari Liza. Karena sebenarnya dia bersamaku, Liza melihat ekorku."
"Usiaku baru delapan tahun?" Beo lelaki itu.
"Iya, entahlah... wajah anak itu sama sepertimu," Sea menghendikan bahu tak begitu yakin, "Kalian sedang melemparkan bunga ke laut, untuk mendo'akan kepergian ayahmu."
"Kemungkinan besar itu memang aku."
Sea menaikkan sebelah tangannya lagi, sehingga telapak Andrew tampak terhimpit kedua tangannya yang lebih kecil. Matanya melirik takut, "Apa kau tahu apa yang menimpa ayahmu?"
Senyum tipis yang tadinya masih terpatri, sekarang menghilang sepenuhnya, tergantikan oleh kerutan kening, "Katakan apa yang terjadi?"
Sea menunduk, bola matanya bergulir ke sembarang arah—menjelaskan perasaannya yang tidak karuan dilanda kecemasan, 'Apa kau akan tetap setia untuk melindungiku setelah ku katakan peristiwa itu? Tapi bagaimanapun, aku harus jujur sebelum ada salah sangka dan berakhir perpisahan disertai kebencian.'
Situasi tegang sekaligus mencekam tersebut mendadak terhenti sejenak karena dering ponsel yang mengganggu rungu.
Andrew beranjak untuk segera mengangkat panggilan yang rupanya berasal dari sang ibu. Belum sempat bertanya, suara dari seberang terdengar gaduh, "Andrew! Orang-orang itu mencari Sea dan juga kau. Kalian harus pergi dari kota ini, mereka tidak akan memaafkanmu begitu saja, jadi tolong tetap selamat untuk ibu."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
History Song Of The Sirens [] Lee know
FantasyCOMPLETE Tatapan mata anggun bersiluet biru kehijauan seperti samudra, ekornya mengkilap layaknya timbunan emas diantara bebatuan karang, surainya hitam legam segelap malam. Sekalipun digambarkan sebagai sosok yang rupawan nan menawan, makhluk itu t...