Rasanya ingin marah kepada Jefri, namun aku sadar diri siapa aku di hidupnya. Selain itu, aku juga masih memikirkan bagaimana nasib Juna nanti apabila aku menolak atau membantah perintah Jefri. Ingin bercerita kepada Sean pun aku tak tega karena aku sering kali menyusahkan dirinya.
Setelah mengantarkanku pulang kemarin, saat di mobil Jefri memintaku untuk menjauhi Sean. Ia berbicara serius denganku seakan itu adalah sebuah perintah yang tidak bisa ditolak.
"Aku tahu dia kekasihmu, tapi sekarang statusmu adalah istriku, meskipun kita menikah secara diam-diam. Terlepas dengan kontrak itu sebagai seorang suami aku berhak mengaturmu. Jadi kamu sudah tahu bagaimana kamu mesti bersikap dengannya bukan? Tanpa aku minta kau pasti paham untuk menjauhinya."
Terkadang aku berpikir Jefri bersikap layaknya seorang suami membuatku merasa bimbang dengan sikapnya. Dia memberiku nafkah lahir dan batin meskipun uang atau kartu hitam yang diberikannya tidak pernah aku pakai sama sekali.
Sungguh aku kebingungan harus bagaimana menyikapinya? Di satu sisi aku takut berdosa karena membantah suami tapi di sisi lain aku takut perasaanku akan muncul dengan sendirinya jika Jefri bersikap baik dan bersikap layaknya seorang suami.
Sedang asik menonton berita mengenai gempa yang terjadi di Malang, Ibu Liliana menghampiriku dan memberitahuku bahwa Jefri akan makan siang di rumah hari ini.
Jujur, aku masih tak yakin dengan apa yang dikatakan Ibu Liliana barusan. Seorang Jefri rela pulang ke rumah untuk makan siang bersamaku? Mengapa dirinya tidak makan siang bersama dengan istrinya saja, maksudku Letta?
"Ibu Alana, haruskah saya memasak makanan kesukaan Bapak?"
Aku menoleh ke arahnya, ada rona bahagia di wajahnya. "Apa Bapak selalu seperti ini? Maksudku, apa Bapak selalu menyempatkan diri untuk makan siang bersama keluarganya? Jujur saja aku masih tidak percaya. Aku tahu dia orang yang sangat sibuk. Dari pada makan siang bersamaku, lebih baik dia makan siang dengan koleganya atau pun Bu Letta."
Bu Liliana menatapku tidak percaya, mungkin merasa aneh dengan sikapku yang terkesan menolak ajakan makan siang Jefri.
"Setahu saya Bapak memang tidak pernah meluangkan waktu hanya untuk pulang di jam makan siang bahkan dengan Bu Letta sekalipun. Tetapi kalau boleh saya jujur semenjak ada Ibu, sikap Bapak yang keras sedikit berubah." Tak dapat dipungkiri senyumku terbit mendengar penjelasan darinya. Dengan cepat aku kembali tersadar akan posisiku yang hanya menyewakan rahim untuk mereka.
"Kalau begitu biar saya saja yang memasak. Ibu bisa kembali beristirahat. Istirahatlah di sini. Kamar di rumah ini terlalu banyak, terkadang aku merasa kesepian kalau harus tinggal sendiri di rumah seluas ini."
Beringsut mundur Bu Liliana menepuk bahuku pelan. "Maaf Bu, bukannya saya tidak mau tapi saya merasa sungkan kalau harus melawan Bapak. Setelah membantu Ibu memasak, Bapak meminta saya untuk tidak memasuki rumah ini lagi sampai esok hari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunda Pengganti | Jung Jaehyun ✔️
Short Story"Sewakan rahimmu untuk mengandung dan melahirkan anak saya." Bukan hanya sebagai kalimat permintaan melainkan sebuah paksaan. Aku dipaksa untuk meminjamkan rahimku dan membantu pasangan ini untuk memiliki seorang anak. Sebuah kalimat paksaan yang me...