Tubuhku bergetar hebat. Aku terduduk dipelukan Juna, menangis, meraung, merasa bersalah karena tidak bisa membantunya. Letta telah pergi secepat itu karena aku. Dia yang sengaja mendorong tubuhku justru tergelincir karena menginjak lantai yang sudah berlumut.
Menyaksikan tubuhnya yang terseret kereta api menjadi truma untukku sendiri. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menghilangkan momen mengerikan itu dalam ingatan.
Sungguh, aku tidak bisa memprediksi hal ini akan terjadi. Aku tidak tahu mengapa Juna dan Sean bisa menemukanku di tempat ini dengan waktu yang tepat. Mereka menarikku ke atas sebelum kereta api yang melintas menyentuh tubuhku.
"Bukan salahmu, Kak," ujar Juna mengusap kepalaku.
"Jun, dia terjatuh karena aku."
"Dia terjatuh karena ulahnya sendiri. Ayo kita ke rumah sakit."
Juna dan Sean mengangkat tubuhku. Mereka membawaku ke rumah sakit terdekat. Aku tidak tahu apa yang terjadi lagi setelah itu karena aku sempat tidak sadarkan diri.
Bau obat-obatan begitu menyengat. Retinaku menatap langit-langit berwarna putih. Pergerakanku tertahan karena sebuah infusan yang menancap di tangan kiriku. Pandanganku mengedar mencari sosok yang aku rindukan. Hampir delapan bulan aku tidak bertemu dengan Juna. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini yang jelas aku tahu bahwa dia sangat kecewa.
"Sudah siuman? Apa yang sakit?"
"Bagaimana dengan mereka?"
Seakan mengerti, tangan Sean terulur mengusap perutku yang masih dalam keadaan yang sama. "Mereka kuat."
"Benarkah? Aku ingat sekali membentur sesuatu."
"Iya, mereka kuat dan tidak terjadi apa-apa dengan mereka."
"Sean, mengapa kamu bisa menemukanku di tempat itu?"
"Jefri menghubungiku. Kebetulan aku melihat mobil Letta melintasiku. Jadi aku mengikutinya," jelasnya. Aku mengerti sekarang lalu bagaimana dengan Juna.
"Juna?"
"Al, kamu tahu sendiri bagaimana adikmu. Dia memaksaku untuk bercerita. Aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Aku tidak mau kamu semakin menderita. Ku harap kamu juga paham dengan posisiku."
Sean, terima kasih. Aku tidak tahu harus berapa banyak mengatakan ini. Terima kasih karena selalu ada untukku dan juga Juna. Maaf karena selalu menyusahkanmu dan membawamu ke dalam situasi yang cukup rumit.
Berbicara tentang Jefri aku jadi penasaran bagaimana kondisi ayah dari si kembar. Dimana dia sekarang? Apakah dia sudah mendapat kabar bahwa istrinya telah tiada?
"Jefri, apa dia sudah—"
"Jangan menyebut namanya lagi," ucap Juna seakan tak bisa dibantah. Dia pasti sangat kecewa. Tapi dia menahan itu untuk tidak menyinggungku.
"Juna, kita bahas itu nanti," peringat Sean.
"Dia sudah terlihat baik-baik saja."
"Jun—"
Aku menyentuh jemari Sean, memintanya untuk berhenti. Biarkan Juna berbicara. Biarkan dia mengatakan apa yang dia ingin katakan, memaki ku pun tidak masalah karena aku pantas mendapatkan itu.
"Sean, bisa tinggalkan kami?"
Tak menjawab Sean memberikan waktu untuk kedua adik kakak ini berbicara. Aku menatap punggung tegapnya yang sudah menghilang dari balik pintu.
"Kalau kamu mau marah, aku terima."
"Bukan hanya marah, aku sangat kecewa."
"Jun, aku melakukan ini karena—"
"Karena apa? Karena aku kan? Apa Kakak berpikir setelah aku mengetahui ini semua aku akan terlihat baik-baik saja. Tidak sama sekali. Aku merasa bersalah, merasa dikhianati dan merasa dibohongi. Mengapa Kakak melakukan ini semua hanya karena aku?"
"Karena aku ingin melihatmu menjadi orang yang sukses, sama seperti apa yang Papa dan Mama inginkan."
"Apa dengan cara seperti ini? Menjual diri?"
"Juna?" Hatiku mencelos, dia benar. Apa bedanya aku dengan menjual diri? Meskipun sebenarnya ada ikatan pernikahan dibalik itu.
"Kalau saja aku tahu dari awal. Aku memilih untuk putus kuliah dan bekerja. Aku tidak menyesal kalau hanya tamatan SMA. Aku tidak akan malu. Justru dengan apa yang Kakak lakukan sekarang, aku merasa malu pada diriku sendiri."
"Juna, aku minta maaf."
"Percuma Kak. Kalau saja kami datang terlambat tadi, aku tidak tahu bagaimana jadinya. Mungkin aku akan menyusulmu. Aku tidak akan sanggup melanjutkan hidup setelah menjadi beban untukmu."
"Kamu tidak pernah menjadi beban untuk siapapun."
"Semuanya sudah terlambat. Aku juga tidak bisa menyalahkan siapapun selain diriku sendiri. Setelah ini jangan pernah bertemu dengan dia lagi. Aku sudah berbicara dengan Kak Sean dan dia bersedia menjadi suamimu."
Bagaimana bisa dia bertindak sampai sejauh ini?
"Bagaimana bisa kamu memutuskan hal itu tanpa memberitahu aku dulu, tanpa persetujuanku?"
"Apa sebelum Kakak bertindak seperti ini, Kakak meminta pendapatku? Tidak kan? Jadi jangan mencoba untuk menghubungi dia lagi. Biarkan anak-anak ini tahu kalau ayahnya itu Kak Sean."
"Aku menolak," ucapku tegas.
Aku hanya tidak ingin menjadi beban untuk Sean. Bagaimana dengan keluarganya nanti. Apa Juna tidak memikirkan itu?
"Dan aku tidak menerima penolakan darimu. Setelah si kembar lahir. Kak Sean akan melamarmu."
"Juna, aku ini seorang istri. Bagaimana aku bisa menikah dengan pria lain?"
"Itu bukan menjadi urusanku. Jangan katakan kalau kamu mencintai dia?"
Tatapan itu, tatapan yang tidak pernah aku lihat. Juna tidak pernah semarah ini terhadapku. Aku pun tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa ada cinta untuk Jefri.
"Aku mencintai suamiku."
"Jangan bertindak bodoh."
"Itu faktanya. Aku mencintai Ayah dari si kembar. Haruskah kamu menentangnya?"
"Pikirkan apa yang telah kamu lalui selama ini. Kamu hampir saja mati karena dia." Dia berjalan melewati ranjang dan bergegas ke arah luar untuk menemui Sean.
"Juna! Kita belum selesai bicara!"
Mengapa jadi rumit seperti ini? Aku tidak pernah menyangka Juna akan mengetahui semuanya. Aku tidak berpikir dia akan mengambil langkah ini. Begitu pula dengan Sean, dia bertindak gegabah. Apa semudah itu menikahiku yang sudah memiliki anak? Sudah jelas-jelas pernikahan kami akan ditentang oleh keluarga besarnya.
"Jefri, aku merindukanmu."
Aku harus mencari cara agar bisa menghubunginya kembali. Rasanya aku ingin melihat wajahnya dan meminta maaf padanya karena tidak bisa menolong Letta.
Jika memang harus pergi dari hidup Jefri bukan seperti ini caranya. Sejak awal aku tidak ingin menjadi beban untuk Sean. Dengan kami menikah rasanya aku menjadi teman yang tidak tahu diri. Aku masih sanggup menghidupi mereka dengan caraku sendiri.
Juna pasti sangat marah sekarang. Mungkin dia juga tidak pernah bisa memaafkanku setelah ini. Ternyata seperti ini kisah akhir hidupku. Aku pikir hidupku akan berhenti di tangan Letta.
------------------------------------
Ini sih Juna pasti kecewa berat sama diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunda Pengganti | Jung Jaehyun ✔️
Short Story"Sewakan rahimmu untuk mengandung dan melahirkan anak saya." Bukan hanya sebagai kalimat permintaan melainkan sebuah paksaan. Aku dipaksa untuk meminjamkan rahimku dan membantu pasangan ini untuk memiliki seorang anak. Sebuah kalimat paksaan yang me...