Sejak tadi aku memperhatikan Dejun yang sedang sibuk menerima panggilan dari seseorang. Aku memilih untuk bersandar pada kepala sofa seraya meminum susu untuk ibu hamil yang sudah dibuatkan oleh Dejun.
"Tidak bisa. Dia itu terlalu keras kepala. Aku sudah mengatakan padanya untuk tidak pergi besok. Entahlah harus bagaimana lagi aku harus membujuknya."
Mataku menghunus tajam ke arah Dejun, dia sadar jika aku sedang menatapnya lekat. Pria yang sedang ku tatap itu memilih untuk pergi menjauhiku ke arah teras.
Jika aku tidak salah tebak, pasti Jefri yang menghubunginya.
Aku beranjak dari sofa dan berjalan pelan menghampirinya untuk memastikan apakah tebakanku benar adanya.
"Lagipula apa yang kamu takutkan? Jakarta itu luas, Alana tidak mungkin bertemu dengan Letta, Jef?"
Aku tersenyum miring, kena kau Jun!
Dengan secepat kilat aku mendekat padanya dan merampas ponsel yang menempel di telinga kirinya. Dejun terkejut namun tatapan tak suka milikku membuat Dejun terdiam.
Ku biarkan Jefri tetap berbicara di sambungan telepon. Tatapan mataku tak luput dari Dejun. Sahabatku hanya diam mematung, merasa bersalah mungkin. Sudah ku katakan untuk jangan menghubungi Jefri lagi tapi tetap saja pria itu keras kepala.
"Aku tahu Jakarta luas, tapi tidak menutup kemungkinan Letta bisa menemukannya Jun, ditambah akan semakin mudah untuk Letta melukai Alana dan calon anak-anakku"
"Jun?"
"Dejun?"
"Berhenti untuk menghubunginya. Jangan membawa Dejun ke dalam permasalahan ini Jefri."
"Alana?"
"Kenapa? Terkejut aku mengetahui kamu menghubungi sahabatku? Aku tidak tahu apa yang sedang kamu pikirkan saat ini. Sahabatku terlalu sibuk, jadi tolong jangan membuatnya berada dalam posisi sulit Jefri."
"Al, dengarkan aku."
"Apalagi?!"
"Ingin melarangku melakukan ini dan itu? Kamu sudah membebaskanku kan? Bukankah kamu sendiri yang bilang lakukan hal apapun yang aku suka dan aku mau. Aku ingin ke Jakarta dan itu yang aku mau, tidak ada siapapun yang bisa melarangku termasuk kamu. Paham? Jangan menghubungi nomor ini lagi atau aku akan semakin menjauh darimu."
Aku mematikan sambungan telepon secara sepihak, tak membiarkan Jefri untuk membalas ucapanku. Kepalaku mendadak pening karena terlalu emosi.
"Masih mau berhubungan dengannya?" tanyaku kepada Dejun. Tangan kananku mengulurkan ponsel miliknya. Pria itu menggeleng pelan.
Sejujurnya aku ingin tertawa saat melihat responnya saat ini. Dia sama seperti dulu, takut jika aku marah padanya.
"Al.. aku minta maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunda Pengganti | Jung Jaehyun ✔️
Storie brevi"Sewakan rahimmu untuk mengandung dan melahirkan anak saya." Bukan hanya sebagai kalimat permintaan melainkan sebuah paksaan. Aku dipaksa untuk meminjamkan rahimku dan membantu pasangan ini untuk memiliki seorang anak. Sebuah kalimat paksaan yang me...