🔪TWENTY NINE.

131 46 171
                                    

"Arcy berjanji pada mom, kau akan terus menjaga adikmu."

"Arcy, jaga adikmu."

"Kau harus menjaganya, jika kau tidak ingin mendengar adikmu itu menangis."

"Arcy... kau kakak terbaik untuk adikmu."

"Berjanji kau akan terus menjaganya."

"Berjanji pada mom, Arcy."

"Berjanji, Arcy."

"Arcy, berjanji!"

"I'm promise, Mom!" Arcy terbangun, dari mimpi yang hanya terdengar suara Resse, tentang Resse memintanya untuk berjanji akan terus menjaga El.

Napas Arcy memburu, dadanya naik turun dengan cepat, keringat memenuhi wajah serta tubuhnya.

Mimpi itu, suara itu... serasa sangat nyata, Arcy tidak mengerti... mengapa akhir-akhir ini sering sekali memimpikan dan mendengar suara Resse.

Yang dia dengar dan dia mimpikan selalu tentang dirinya berjanji akan menjaga El.

"Mom, kenapa kau selalu datang ke mimpiku, kenapa kau memberiku kalimat dengan kata-kata yang sama, apa aku belum menjaga El selama ini?" lirihnya.

Mengusap wajahnya kasar, Arcy segera turun dari ranjangnya, kemudian menatap keluar jendela kamar. "Sebenarnya apa yang ingin kau sampaikan padaku, mom."

Ceklek!

"Bro, are you okay? Why you screaming?" tanya El di balik pintu kamar Arcy yang telah dia buka.

Arcy berbalik dan menghampiri adiknya , menatap El dari ujung kepala sampai ujung kaki, memutarkan tubuh gadis itu, dan menyentuh kepala, tangan hingga menangkup wajah El.

El yang diperlakukan seperti itu merasa bingung dengan sikap kakaknya. "Arcy, kau ini kenapa?"

Mengembuskan napasnya lega, Arcy merasa tenang saat tidak menemukan luka walau hanya setitik di tubuh adiknya, selain jahitan yang masih menetap di lengan El. "Kau baik-baik saja, kan? Kau tidak terluka, kan? Atau kau sedang sakit, El?"

"I'm fine, Arcy." Mengangkat dan merentangkan kedua tangannya, sebagai tanda bahwa dia baik-baik saja.

"Huft!" Arcy mengembuskan napasnya lega, untuk yang ke dua kalinya.

El menuntun kakaknya itu untuk duduk di tepi ranjang, kemudian gadis itu menuju dapur dan membawakan segelas air untuk Arcy. "Minum dulu, tenangkan dirimu."

Meneguk hingga tidak ada yang terisisah setetes pun, Arcy menutup wajahnya dengan tangan, kemudian kembali mengembuskan napasnya pelan.

El mengusap pundak kakaknya itu, menggenggam tangan Arcy, menarik perhatian pria itu agar menatapnya. "Kau kenapa?"

Arcy hanya menggeleng. "Aku hanya meminpikan mom lagi."

"I know it, tapi maksudku kenapa kau sampai gelisah seperti ini?"

Arcy melepaskan tangannya dari genggaman El, dia menarik el dan memeluk erat adiknya. "Katakan padaku dengan jujur, apa selama ini aku belum menjagamu dengan baik, El?"

Dalam pelukan Arcy, El mengerutkan keningnya bingung. Tidak biasanya Arcy bertanya seperti itu, Arcy yang El kenal sangat percaya diri, selama ini yang El tahu adalah... kalau Arcy sangat bangga pada dirinya sendiri karena telah mampu menjaga adiknya.

Tapi, kenapa sekarang Arcy bertanya seolah dia kehilangan percaya dirinya.

"Kau sudah dan selalu menjagaku dengan sangat baik, Arcy. Kau bertanggung jawab penuh atas diriku, kau melakukan apa pun untukku. Kau kakak terbaik, dengan kejujuran aku mengatakan... aku beruntung memiliki kakak sepertimu," jawab El, sambil mengusap punggung Arcy.

"Tapi kenapa, El. Kenapa mom datang ke mimpiku secara terus-menerus dalam beberapa hari ini, kalimat yang dia ucapkan juga selalu sama tidak jauh berbeda. Semua tentang aku yang berjanji akan selalu menjagamu," lirihnya.

"Apa selama ini aku terlalu percaya diri, dalam kenyataannya aku ternyata gagal," ucap Arcy, melanjutkan perkatannya yang sempat terjeda.

Pletak!

Sudah cukup! El tidak ingin lagi mendengar kalimat itu dari Arcy, suaranya yang melemah, serta terselip sebuah rasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri.

El tidak akan membiarkan kakaknya itu merasa gagal dalam menjaganya sebagai seorang kakak. Bertahun-tahun lamanya El hidup hanya dengan Arcy saja setelah kepergian orang tua mereka, tidak ada yang mampu membuat El merasakan kasih sayang selain dari Arcy.

"Kau ini bicara apa?! Kenapa seolah telah terjadi sesuatu padaku yang buruk. Arcy, listen. You're my the best brother! Kau tidak pernah gagal dalam menjagaku."

El berdiri dan memutarkan tubuhnya sendiri. "Look, sampai detik ini tidak terjadi apa pun denganku. I'm fine with you."

Arcy berdiri, menepis jarak di antara mereka, Arcy mengangkat sedikit baju yang menutupi lengan atas adiknya itu.

Terdapat jahitan yang masih sangat terlihat. "Ini bukti kegagalanku."

El menepis tangan Arcy, dan kembali menutup lengan atasnya. "Bukan salahmu dan bukan karenamu. Ini semua ulah polisi brengsek itu. Hei! Kau yang membuat luka ini sembuh, bukan? Kau yang mengeluarkan pelurunya, kau yang menjahitnya, dan kau yang menghilangankan rasa sakit dari peluru sialan."

El menatap kakaknya itu dalam-dalam, melihat ada rasa bersalah serta kecewa terhadap diri Arcy sendiri. Dengan senyuman lembut El mencium pipi Arcy, kemudian memeluknya erat. "Arcy, kau selalu ada untukku. Jangan pernah merasa gagal terhadapku dan atas diriku, semua yang kau lakukan untukku adalah yang terbaik bagiku."

Arcy membalas pelukan El, memejamkan matanya sejenak untuk menetralisirkan pikirannya. "Maafkan aku, jika aku pernah gagal atau akan gagal di kemudian hari."

"Don't say that again, promise me," pinta El.

Arcy hanya mengangguk sebagai jawaban, dalam hati dia tidak berjanji, dia merasa suatu saat dia akan gagal dalam hal itu. Entah kapan, tidak ada yang mengetahuinya.

El melepaskan diri dari pelukan itu, kemudian melipatkan tangannya di dada. "Arcy, karena kau seperti ini... aku jadi lapar, masak sesuatu untukku, ya. Cacing di perutku sudah berperang, dari tadi menunggumu yang tidur siang lama sekali," desisnya.

Arcy kembali memasang wajah datar. "Dasar manja. Baiklah, tunggu di ruang tamu. Aku akan masak sesuatu untuk di makan, kebetulan aku juga lapar."





Beberapa polisi sedang melakukan tugasnya di sebagian gang yang sering kali ditemukan korban perbuatan Hazardous. Baik A.V saja maupun J.

Edward dan Petter mengitari gang lainnya dan menaruh beberapa benda di tempat tersembunyi.

"Aku yakin, kali ini... mereka tidak akan bisa lolos," ucap Edward.

Petter menepuk pundak rekan kerjanya itu. "Don!t expect too much. Kita sudah tahu bagaimana dan seperti apa pembunuh berdarah dingin belasan tahun itu. Kakak adik itu tidak bisa kita remehkan, Edward. Sebaik apa pun rencana kita, akan gagal jika meremehkan mereka."

"Entah mengapa, Petter... tapi aku merasa sangat yakin, kali ini mereka akan kita dapatkan tanpa terlepas lagi

Petter mengangguk paham pada keyakinan besar Edward. "Kita lakukan yang terbaik."

Satu polisi menghampir Edward dan Petter, memberi tanda hormat dan menurunkannya saat sudah diberi tanda izin. "Semua sudah siap, sudah terpasang, dan tersusun sesuai rencana."

"Good job. Sekarang kita kembali, semoga berhasil untuk hari esok," ucap Edward penuh harapan.





Hazardous [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang