🔪FOURTEEN.

146 50 95
                                    

Taman itu sangat indah, seindah kehidupan satu keluarga yang sangat harmonis dan bahagia.

Dua anak kecil, perempuan dan pria. Si perempuan berumur lima tahun dan si pria berumur tujuh tahun.

Bruk!

Elvarette Jaqueline Racarto namanya. Terjatuh dengan posisi lutut dan tangan menghantam rumput yang terdapat batu kerikil kecil.

Gadis kecil itu menangis, membuat sang kakak menatapnya kesal. "Kau ini, jatuh begitu saja sudah nangis!"

"Ini sa-sakit!" teriaknya sambil terisak dan menunjukkan lututnya yang berdarah.

Arcy Verden Racarto, tidak menyukai jika adiknya menangis hanya karena hal kecil, Arcy tidak suka itu. "Bisa diobati, jangan nangis adik kecil. Aku benci mendengarnya!"

Robeth–dady mereka menghampiri kedua anaknya. Terlihat Arcy yang menatap kesal pada adik perempuanya itu. "Arcy, adikmu jatuh kenapa kau tidak membantunya?"

"Dia masih bisa berdiri sendiri, Dad. Lagi pula, itu hanya luka kecil tidak akan membuat kakinya harus diamputasi."

Robeth hanya menggeleng melihat putranya yang sangat cuek meski pada adik kandungnya sendiri. "Arcy, ayok gendong adikmu."

"Tidak mau! Dia sangat berat!" tolak Arcy secara terang-terangan.

Roberth tidak memaksa Arcy, dia langsung menggendong putrinya diikuti Arcy dari belakang, menuju ke arah Resse yang sedang menyiapkan makan siang.

"Putri momy, kenapa sayang? Kok, digendong dady?" tanya Resse khawatir pada putrinya, dia melihat lutut El ternyata berdarah, dengan cekatan dia mengobati luka tersebut.

"Cengeng! Begitu saja sampai nangis," celetuk Arcy tanpa menatap El, Roberth, dan Resse.

Resse mengelus rambut putranya, dia mengerti dengan sifat dan sikap anak pertamanya itu. Sangat cuek dan dingin, walau sebenarnya dibalik itu semua ada rasa sayang yang sangat besar. "Arcy tidak suka melihat El nangis, ya?"

Arcy mengangguk. "Aku benci kalau adikku menangis."

"Kalau begitu, kau harus jaga adikmu supaya dia tidak nangis, dan jangan bikin adikmu ini nangis. Bagaimana?" tawar Resse.

Arcy menatap Robeth dan Resse, kemudian beralih menatap El. "Dia pasti akan sangat merepotkanku, tapi baiklah... aku akan menjaganya supaya dia tidak menangis, aku juga tidak akan biarkan orang lain membuatnya nangis."

"Kau menyayangi adikmu, bukan?" tanya Roberth.

"Tidak," jawab Arcy sambil menatap El, "Tapi aku akan menjaganya."

Arcy mengerjapkan mata saat mimpi itu sudah selesai berkelana di tidurnya. Napas Arcy memburu, keringat memenuhi wajahnya, sudah lama tidak memimpikan kejadian itu sekarang Arcy memimpikannya lagi.

Ada apa ini? Suatu peringatan? Atau hanya karena Arcy terlalu merindukan kedua orang tuanya.

Arcy segera bangkit dari ranjangnya dan langsung menuju kamar mandi untuk menyegarkan dirinya.

"Mimpi itu... itu kejadian nyata saat aku dan El masih kecil, saat mom and dad masih ada, saat semuanya masih terasa sangat hangat."

"Di saat itu juga, pertama kalinya aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga adikku yang merepotkan itu supaya tidak menangis." Arcy membiarkan air sower terjun bebas membasahi tubuh serta wajahnya.

"Kenapa mimpi itu datang lagi? Terakhir datang saat aku kelas lima SD. Apa aku gagal menjaga El?" tanya Arcy pada dirinya sendiri.

Setelah selesai melakukan ritual mandinya, Arcy langsung keluar kamar untuk membuat sarapan. Ternyata sudah ada El yang sedang duduk di sofa dengan menatap kosong ke depan.

"Kau sudah bangun?" tanya Arcy tidak masuk akal.

"Menurutmu siapa yang duduk di sofa? Arwahku? Atau kembaranku dari dunia lain?" tanya El balik, merasa kesal dengan pertanyaan Arcy.

"Perempuan kalau sedang peroid memang sensian, ya? Apalagi kau, tambah-tambah menyebalkan!"

El menggerakan mulutnya tanpa suara, meniru perkataan Arcy yang tadi.

Terjadi keheningan di antara keduanya, Arcy dan El menikmati santapan pagi mereka masing-masing. Hingga muncul pertanyaan di otak El.

"Arcy, apa kau ingin mencari korban malam ini?" tanya El.

Arcy menelan makanan yang ada di mulutnya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Kenapa kau bertanya?"

"Aku ingin ikut saja, mematahkan tulang dan sendi mereka membuatku ingin lagi," jawab El.

Arcy mengangguk sambil menyeruput susu hangatnya. "Rencananya nanti malam, aku ingin ke tempat anjing liar. Di sana banyak orang yang tidak punya hati sering kali menyiksa bahkan meracuni para anjing liar tersebut."

"Aku ikut, ya," pinta El yang diangguki oleh Arcy.





Dua polisi berpangkat tinggi sedang saling memikirkan kasus pembunuhan yang terjadi lagi.

"Hazardous, A.V," gumam Edward–polisi muda yang saat itu ke rumah Arcy dan El.

"Apa Hazardous dan A.V adalah orang yang sama?" tanya Petter–polisi tua yang sudah berkumis putih, saat itu juga ke rumah Arcy dan El ditemani oleh Edward.

Edward memijat pelipisnya, dia merasa pening menghadapi kasus kali ini. "Itu yang menjadi pertanyaanku saat ini. Jika dihubungkan keduanya tidak ada keterkaitannya. Hazardous adalah nama bahan berbahaya, sedangkan A.V? I don't know, itu bisa bermacam-macam dari kepanjangan sesuatu," jawab Edward.

Petter mengetuk jari telunjuknya di meja kokoh dalam ruangan khusus polisi berpangkat tinggi berdiskusi. "Aku yakin, ini bukan pembunuh biasa... jika pembunuh biasa hanya butuh waktu satu hari kita bisa menyelidik, mendapatkan bukti, dan menangkapnya, tapi ini? Sudah hampir sebulan kita tidak mendapatkan apa-apa selain jejak Hazardous dan A.V."

Edward mengangguk setuju. "Pembunuhnya sangat pintar. Tidak meninggalkan jejak sedikitpun bahkan sidik jari atau sehelai rambut saja tidak tertinggal di lokasi pembunuhan itu terjadi."

"Begini saja...." Edward menjeda perkataannya sebentar, "Kita lakukan patroli nanti malam."





Hazardous [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang