Selamat membaca cerita please don't go!!!! Jangan lupa vote dan comen.
****
Wildan memakan daging bebek bakar yang sudah datang lima menit yang lalu, dari aromanya saja sudah membuat Wildan mabuk kepayang, gimana gak tergila-gila ini itu adalah salah satu tempat makan terfavorit Wildan bahkan diantara restoran mahal yang pernah ia kunjungi.
Wildan makan dengan lahap bahkan, asap daging masih sedikit mengepul ditambah sedikit nasi dan sambal kecap, bahkan Wildan tidak seperti seorang bos besar yang sedang makan melainkan seorang yang belum makan selama seminggu, benar-benar sangat lahap, bahkan daging bebek milik Amira masih utuh belum dia sentuh, rasanya perutnya sudah kenyang dengan sendirinya dengan melihat Wildan yang makan dengan cara seperti itu. Ini menambah list pengetahuan Amira tentang Wildan.
Merasa ditatap oleh seseorang, Wildan menjeda kegiatan nya berkutat dengan daging paha bebek yang super besar dan beralih menatap Amira dengan tatapan bertanya,
"Kenapa kamu natap saya seperti itu, mau saya suapin? gak bisa makan sendiri atau gimana?" tanya Wildan dengan alis terangkat.
Amira yang merasa malu karena ketahuan jika memperhatikan Wildan hanya mampu meringis pelan, "saya kadang heran, sama bos dengan saya ngelihat bos makan kayak gini, membuat persepsi saya salah terhadap bos. ternyata bos benar-benar kelaparan, bukannya tadi siang udah makan?"
Wildan menelan sisa daging yang masih berhenti di tenggorokan nya dengan meminum segelas es teh, "saya udah lama gak makan kayak gini, kamu tahu saya gak bisa makan sendiri, harus ada yang temani, yaaaa minimal acara talk show yang bisa ngajak saya berbicara lewat tv."
"Kenapa gak sama teman bos?" tanya Amira, kini dia sudah mulai memakan daging bebek yang ada didepannya.
"Amira...... Semakin kita mempunyai jabatan yang bagus, jarang ada teman yang benar-benar satu frekuensi dalam obrolan dan apapun yang kita lakukan, bahkan semenjak saya punya jabatan bagus taman saya seakan canggung untuk sekedar ngobrol sama saya, yang masih stay ya...cuman Satria, yang lainnya' seakan jaga jarak, padahal saya ngerasa saya gak ada pilih-pilih temen, dan akhirnya ini yang membuat saya kesepian." ucap Wildan santai, memang benar kan disaat perjuangan membuahkan hasil maka seseorang harus merelakan salah satu yang mereka punya, bahkan orang yang terdekat mereka.
"Your family?" tanya Amira radak takut juga bahas topik yang satu ini untuk dia yang hanya seorang asisten takut dikira lancang, Amira menggaruk tengkuknya yang entah mengapa terasa gatal, "maksud saya keluarga nya bos gak ikut sama bos, tinggal bareng gitu?"
Wildan menggeleng, "dari kecil saya gak pernah lihat papa sama Mama saya, mereka meninggal waktu saya umur lima bulan."
Amira terperangah, dia baru tahu kenyataan ini. "Maaf bos saya gak maksud."
Wildan menggeleng, "no problem, emang saya butuh orang yang bisa saya ajak bicara."
Amira hanya mengangguk ragu bingung ingin menanggapi seperti apa.
Wildan menghembuskan nafasnya kasar, sambil mengunyah kunyahan terakhir santapannya malam ini.
"Dari dulu, saya gak pernah lihat orang tua saya, dari kecil saya di asuh oleh saudara papa saya, Om Hartono. Om Hartono itu kakaknya papa saya, saya udah anggap mereka seperti orang tua kandung saya sendiri bahkan mereka juga udah anggap saya sebagai anak mereka sendiri karena om Hartono dan istrinya gak punya anak, bahkan posisi saya sekarang ini adalah karena beliau yang mengelola kekayaan papa dengan baik sampai saya dewasa." jelas Wildan.
Bibir Amira terkatup, tidak menyangka jika kenyataan hidup Wildan yang kelihatannya sempurna ternyata menyembunyikan duka yang mendalam, Amira bahkan salut sekali dengan Wildan yang mampu menghadapi keadaan ini dengan sangat baik
Wildan meminum kembali es teh nya kali ini ia habiskan hingga tandas.
"Kadang saya berpikir, hal apa yang bisa saya sembahkan pada papa saya, papa Hartono, rasanya saya gak bisa mengembalikan apa yang beliau berikan kepada saya, jasa Mereka terlalu besar."
Amira menghembuskan nafasnya pelan, "bos gak usah balas apa-apa, dengan menjadi diri sendiri dan melakukan yang terbaik, pak Hartono pasti akan bangga, beliau melakukan itu karena memang pak Hartono sayang banget sama bos," ucap Amira diakhiri dengan senyumannya.
Wildan mengangguk,
"Kamu benar, saya akan melakukan terbaik untuk mereka," ucap Wildan dengan sungguh-sungguh.
Amira mengangguk, "itu jauh lebih baik."
"Gimana makannya? Ooiya hari ini kamu saya anterin ke apartemen nya Fifi, soalnya saya mau kerumah papa saya," ucap Wildan.
Dahi Amira berkerut, "emangnya rumahnya pak Hartono dimana?"
"Bogor." Wildan membersihkan mulutnya dengan tisu, "ayok saya anterin kamu "
"Udah kabarin Fifi, bos?" tanya Amira ragu.
Wildan menepuk jidatnya, "astaga saya kelupaan."
Amira mengeluarkan ponselnya yang ada di tas, yang sempat ia taruh diatas meja, lalu mencari nomer ponsel Fifi segera menghubungi nya, "hallo, fi. Ada di apart kan? Gue mau nginep sana ya. Soalnya si bos mau ke Bogor, bisa kan?"
"Loud speaker!" ucap Wildan setengah berbisik.
"Gue gak ada dirumah mir, lagi ada dinas ke luar kita, gue lagi ada di Bekasi,"
"Ohh yaudah kalah gitu, gak papa it's okay."
"(.....")
"Bye."
"Kalau saya di paviliun sendiri jugak gak papa kok bos, lagian kan ada pak Maman sama satpam kompleks, jadi saya gak sendirian," ucap Amira, seharusnya Wildan tidak merasa se-khawatir ini kepadanya, wajar kan, ini memang menjadi tugasnya bukan?
Wildan menggeleng, "no, saya gak kau jadi resiko, saya terlalu muda buat jadi tersangka."
"Bos kalau mikir suka kejauhan." Sarkas Amira.n
"Kalau enggak kamu ikut aja ke Bogor, cuman malam ini sama besok, besok sore kita udah pulang," ucap Wildan langsung berdiri.
Amira lantas berdiri, sebenarnya dia juga takut kalau disuruh sendirian dirumah Wildan yang super gede itu, apalagi pasti didalamnya banyak harta benda berharga, tapi Wildan kok gak takut ya rumahnya kenapa-kenapa.
"Bos gak takut ninggalin rumah kosong?" tanya Amira penasaran.
"Saya udah suruh bodyguard buat jagain Rumah." Jawab Wildan.
"Nah itu saya di paviliun aja, kan ada bodyguard nya bos," ujar Amira.
"Mereka itu orang asing mir, dan kamu perempuan, kamu pastilah paham apa yang saya maksud." Kata Wildan.
Amira mengangguk benar' juga kata Wildan, Amira langsung berdiri mengikuti langkah Wildan yang menuju ke arah mbk Lastri yang sedang memanggang daging.
"Berapa mbk semuanya, sama yang dibungkus tadi udah kan?" tanya Wildan.
Mbk Lastri mengerahkan satu kantong kresek yang berisikan bebek bakar untuk pak Adi, "semuanya jadi 130 ribu, mas Wildan."
Wildan mengangguk lalu tersenyum geli, sambil mengambil dompet yang ada di
Kantong celana nya, "ini mbk, kembaliannya buat tambahan beli skincare.""Wah makasih Lo mas, sama saya aja perhatian apa lagi sama yang disampingnya?" Ucap mbk Lastri sambil terkekeh geli.
"Hahh siapa yang di sampingnya, maksudnya gue gitu?"
*****
Terima kasih telah membaca cerita please don't go!!! jangan lupa vote dan comen ya guys, kalau vote nambah aku besok update!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Don't Go! [end]
Teen FictionAmira kabur dari rumah setelah merasakan patah hati yang luar biasa karena tunangannya (Bayu) berselingkuh dengan adik tirinya (Monica). Amira memutuskan untuk keluar kota, keluar dai zona patah hatinya. **** Amira memutuskan untuk pergi keluar...