39

6.1K 436 16
                                    

Ini akan menjelaskan semuanya, jadi jangan skip-skip, okay?


Sejak kecil Amira tidak terlalu dekat dengan ayahnya, rasanya sangat Canggung meskipun itu adalah ayah kandung nya sendiri.

Hermawan selalu bersikap cuek dalam segala hal, tidak suka dengan hal hal yang terlalu diumbar atau sesuatu yang ribet. Termasuk ribet untuk memberikan kasih sayangnya kepada putri semata wayangnya.

Hermawan adalah tipe-tipe orang yang pekerja keras, namun hal itu Justru yang membuatnya lupa diri, dan terlalu mencintainya pekerjaan nya sampai dia melupakan ibunya dan juga Amira.

Saat Amira duduk di bangku SD Hermawan banyak melakukan perjalanan keluar kota untuk menemui kliennya yang sedang menghadapi kasus hukum.

Karena ibu Amira yang sering ditinggalkan. Ibu kandung Amira yang bernama Hani, Hani yang seringkali ditinggalkan oleh Hermawan akhirnya mencari pelampiasan dengan menjalin hubungan yang terlarang dengan teman Hermawan sendiri.

Saat semua rahasia terungkap, ibunya memilih pergi, dan meninggalkannya sendirian, sendirian sampai saat ini, Sendirian tanpa sandaran yang ada di sampingnya.

Dan dunia Amira benar-benar jungkir balik setelah itu.

****

"Pa--pa--" panggil Amira pelan, nafasnya kembali tercekat ketika melihat ayahnya yang sudah terbaring lemah dengan peralatan medis yang ada di sekujur tubuh nya.

Amira harap ini adalah orang lain. Dengan langkah yang pelan Amira perlahan memasuki kamar Ayahnya.

Dengan langkah yang ragu Amira segera melangkahkan mendekati ranjang Ayahnya.

Namun detik itu juga dia terduduk lemas di lantai Tepat didepan ranjang Ayahnya.

"Papa, you okay? I am here." gumam Amira pelan masih berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri, mencoba untuk menggapai tangan ayahnya yang terbalut selang infus.

Amira tidak menyangka jika dia akan dihadapkan dengan situasi yang sulit
seperti ini, Mungkin jika Wildan tidak memaksanya untuk pulang, mungkin sampai kapanpun Amira tidak akan mengetahui kondisi ayahnya yang sebenarnya.

Amira menggengam tangan ayahnya dan mengusapnya pelan, "aku kira Papa egois, dan gak perhatian sama Amira yang notabene nya adalah anak kandung Papa sendiri, tapi apa Amira salah sebagai anak? Tolong bangun dan jelaskan semuanya sama Amira." Ujar Amira yang mulai  terisak di samping ranjang milik Hermawan dan memeluk tangannya dengan erat.

"I am sorry, karena gak bisa nemenin papa di saat seperti ini, papa juga gak ada niatan untuk minta maaf sama Amira?" Gumam Amira pelan. Rasa bersalah nya kembali memuncak , bagaimana pun ayahnya yang tidak pernah memperhatikannya tapi tetap saja Hermawan adalah Ayahnya bukan? orang yang terakhir dia punya didunia ini.

Amira tertunduk dalam, sampai sebuh tepukan pada bahunya membuatnya mendongakkan kepalanya ke atas, dan terkejut karena melihat Rani yang sudah berdiri di belakangnya.

Amira segera menghapus air matanya kemudian menatap Rani, "ada apa ya Tan?"

Rani menatap Amira dalam, "Tante boleh duduk, mir?"

Dengan ragu Amira mengangguk, Rani memang selama ini menjadi ibu tiri yang cukup baik meskipun Amira jarang menegurnya karena terlalu canggung dengan hubungan baru yang terlalu rumit menurutnya.

Rani memang memenuhi kewajibannya sebagai ibu pengganti namun ego Amira yang terlalu besar  sehingga dia tidak bisa menerimanya begitu saja meskipun ini sudah berlangsung lama sejak Rani pertama kali menjadi ibunya.

"Ada apa ya Tan?" tanya Amira ragu-ragu.

Rani memandang Amira dalam kemudian menoleh ke arah suaminya yang masih tidur di mimpi indahnya.

"Kamu salah mir, kalau kamu pernah berfikir papa kamu gak sayang sama kamu." ujar Rani tiba-tiba.

Amira memilih untuk bungkam, dan mendengar kalimat yang kemungkinan akan Rani ucapkan.

"Papa kamu kolaps gak lama sejak kamu pergi dan akhirnya dia koma." Jelas Rani.

Amira membuka mulutnya tidak percaya.

"Bukannya papa gak punya penyakit jantung?" tanya Amira terkejut dengan pernyataan yang baru saja di kemukakan oleh Rani.

"Sejak lama, sejak Tante nikah sama papa kamu penyakit ini sudah ada."

"Papa kamu itu terlalu kaku untuk menunjukkan kasih sayangnya mir, dia terlalu gengsi dan tidak tahu caranya, kamu tahu sendiri kan papa kamu besar di panti asuhan dan tidak Pernah merasakan kasih sayang orang tua kandungnya,

Saat awal kami akan menikah, papa kamu menjelaskan semuanya karena melihat kita juga sama sama mempunyai anak perempuan, dia berkata kalau kita harus kasih yang terbaik untuk kamu dan Monica. Namun nyatanya ekspetasi kita diluar realita yang ada, Monica justru diluar kendali dan kamu salah paham dan berakhir mempertanyakan kasih sayang papa kamu."  Rani menghembuskan nafasnya pelan, kemudian bergerak menggegam tangan Amira.

"Tante tahu, kamu gak bisa anggap Tante untuk  jadi ibu kamu, tapi itu gak masalah selama kamu masih bisa hargain kehadiran Tante itu sudah lebih dari cukup, semenjak kamu pergi papa kamu mati-matian cari kamu mir, karena papa kamu tahu kalau kamu gak bisa survive di lingkungan yang baru, selain Bandung.

Papa kamu juga awalanya kaget, waktu tahu kamu ada di Jakarta, jadi dia cuman berani mantau kamu dari kejauhan, papa kamu pikir marah kamu akan sebentar, ternyata justru kamu malah marah terlalu lama." Rani mengucapakan kalimat ini sampai menitihkan air mata, dia menyesal karena gagal mengawasi Monica hingga menyebabkan kekacauan sebesar ini.

Amira menggigit bibir bawahnya agar tidak menangis, rasanya dia sudah tidak kuat untuk menerima kenyataan yang ada.

"Kalau kamu marah karena papa kamu gak bela kamu sama sekali waktu Bayu dan Monica ketahuan selingkuh karena dia gak sayang sama kamu maka jawabannya adalah salah besar, dia bahkan sudah tahu  masalah ini dari jauh- jauh hari cuman gak berani bilang sama kamu, karena melihat kamu yang sangat bahagia  dengan pernikahan kamu."

"Waktu Hermawan udah mau jelasin semuanya ke kamu, tapi  justru kamu keburu tahu dengan cara yang gak terduga, dan di saat itu pula dunia papa kamu benar-benar hancur mir, papa kamu  berada di situasi paling sulit."

"Saat kamu pergi, rasa bersalah papa kamu semakin besar, dan gak bisa kendalikan dirinya sendiri, bahkan terus menyalahkannya dirinya sendiri atas kepergian kamu."

"Kamu inget kan mir, waktu papa kamu kirim pesan ke kamu? Setelah itu papa kamu gak sadarkan diri."

"Tante harap kamu bisa mencerna masalah ini dengan baik-baik, bagaimana pun kamu kesayangan papa kamu," ucap Rani yang diakhiri dengan tepukan di bahu Amira yang sudah mulai bergetar hebat.

Rani kemudian beranjak dari duduknya meninggalkan Amira sendirian, bahkan air matanya juga sudah tidak bisa dibendung lagi.

Amira menatap kosong ke arah Ayahnya, ini salahnya benar-benar  salahnya, harusnya dia lebih memahami ayahnya.

Namun saat sebuah tarikan pada tubuhya membawanya ke pelukan seseorang, tangisannya benar-benar meledak.

"Semuanya akan baik-baik saja."

****

Terimakasih yang udah baca cerita ini.

Ini aku Update lagi ya, anggap aja ini bonus karena kemarin lama banget gak update-update.

Oiya makasih banget yang udah vote di part sebelumnya hampir 100 loh, aku seneng banget, disini aku jadi tahu kalau cerita ini banyak yang nungguin up nya. Aku akan rajin update setelah ini.

Kalian juga harus mulai rajin vote nya ya....

See you!

 Please Don't Go! [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang