33

5.7K 374 11
                                    

Wildan... Ini Vivian, tolong jangan emosi ketika kamu dapat email ini, jangan tutup dulu juga. Aku Disini mau jelasin kalau yang kamu lihat itu gak sebenarnya terjadi. Aku tahu aku salah disini tapi bagaimana pun juga, aku butuh kasih penjelasan ke kamu, meskipun aku yakin aku gak pantas mendapatnya.

Banyak hal yang harus aku ungkapin ke kamu, masalah kesenjangan hubungan kita saat ini, aku rasa itu perlu di selesaikan saat ini juga.

Saat ulang tahun mu, aku akan datang ke Indonesia, tunggu aku... Aku akan kasih penjelasan  atas kegundahan di hati kamu. Sekali lagi aku minta maaf.

With love- Vivian.

Wildan meremas ponselnya dengan kasar, pikirannya terlalu kalut untuk berpikir jernih, kenapa ia selalu lemah jika menyangkut segala nya tentang Vivian?

****

Seperti hari-hari sebelumnya, Amira kini memulai hari normalnya kembali. Jika di pikir-pikir untuk apa Amira takut kepada orang itu? Jika dia takut Justru itu akan mempermudah tujuan mereka bukan?

Amira menyisir rambutnya di depan cerminnya sambil tersenyum lebur.

Tadi malam ketika Wildan mengangkat tubuhnya untuk di pindahkan ke kasur, sebenarnya amira sudah bangun, tapi Amira memilih untuk berpura -pura karena mungkin jika Amira bangun suasana akan menjadi Canggung.

Amira menggelengkan kepalanya dengan cepat saat mengingat Wildan yang berjanji untuk menjaga Amira dan itu berhasil membuat tanda tanya yang besar di dalam otaknya.

"Bisa bisanya si bos bikin gue kayak orang gila gini," ucap Amira sambil memoleskan sentuhan terakhir pada wajahnya.

Hari ini Amira menggunakan lipstik berwarna peach, Amira ingin terlihat natural hari ini.

Rencananya Amira ingin berangkat menggunakan bus, tidak mungkin jika Wildan akan menjemputnya, bukan? Apalagi jika mengingat jarak rumah Wildan dan apartemen cukup jauh.

Namun dugaan Amira ternyata salah besar!

Saat Amira sampai di loby, Amira menemukan Wildan yang sudah berdiri dengan gagah di depan mobilnya.

Pria itu menatap Amira dari kejauhan, Amira yang berdiri di loby tidak tahu harus bereaksi seperti apa?

Apakah harus menyapa bosnya itu dengan biasa saja? Atau justru bersikap normal seperti biasanya, toh Wildan juga tidak tahu kalau tadi malam dia mendengar semuanya.

Amira berjalan mendekati Wildan yang menatap Amira terus menerus.

"Loh gak langusng berangkat ke kantor,  aja bos? Saya bisa kok naik bus ke Kantor  sendiri, gak perlu di jemput kayak gini." Kata Amira.

Wildan terkekeh,"eitss jangan gr dulu kamu, saya kesini mau pastiin kalau kamu bawa dokumen berkas kontrak yang akan dirapatkan nanti siang sama rekan bisnis kita yang baru, soalnya itu rapat penting banget, mir."

Amira mendengus kecil, "ohh saya .
Kan  Tadi malam udah bilang, saya udah siapin semuanya, bahkan sudah jauh-jauh hari, saya kalau udah janji pasti saya tepatin bos."

Wildan mengangguk-anggukan kepalanya, "karena saya udah terlanjur di sini, jadi gapapa lah kalau kamu mau sekalian nebeng."

Amira memutar bola matanya malas, "untung saya gak bepikiran buruk loh bos, kalau saya berpikiran buruk mungkin saya berpikir kalau ini adalah modus baru si bos."

"Wah ternyata otak kamu juga berpikiran kritis ya mir, gak salah si Fifi pilihin kamu buat saya."

"Ya ya...ya... Ini kalau saya telat gajinya gak di potong kan?"

 Please Don't Go! [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang