Nasib jika mempunyai ibu yang super cerewet seperti Dewi ya seperti ini, sudah satu jam setelah kedatangan nya di rumah anaknya, wanita paruh baya itu tidak henti-hentinya untuk mengomeli Wildan, tanpa memberi kesempatan Wildan untuk menjelaskan semuanya.
"Mama gak nyangka ya, Wil. Kamu kayak gini di belakang mama, bukan berarti kamu tinggal sendirian di rumah sendirian kamu bisa jadi bebas kayak gini, semuanya ada aturannya, andai aja mama gak bilang kalau mau datang, bilangnya dadakan aja, biar mama bisa lihat siapa wanita yang keluar bawa ransel tadi." Ucap Dewi terus menggerutu sambil menatap Wildan tajam.
Hartono yang melihat istrinya yang sedang emosi kepada anak mereka lantas langsung mengelus punggung tangannya, "udah lah, ma. Wildan juga tahu mana yang salah dan yang benar, tugas kita untuk percaya sama dia, dia juga udah dewasa untuk tanggung segala konsekuensi perbuatan yang dia perbuat."
Wildan mengangguk-anggukan kepalanya membetulkan ucapan papanya, "nah bener kata papa, Wildan juga gak akan bawa perempuan sembarangan ke rumah ma. Wildan juga masih tahu aturan."
"Halah sama yang dulu aja kamu parah banget gimana mama mau percaya gitu aja ke kamu," ucap Dewi sambil beranjak dari duduknya, "mama mau ke kamar dulu istirahat, kamar nya udah di bersihin kan?"
"Itu kan dulu, sekarang enggak!" Bantah Wildan dengan cepat.
Wildan hanya mampu diam setelah itu, merasa jika dia paling terpojokkan disini, selanjutnya Dewi meninggalkan anak dan suaminya dan memilih menaiki tangga untuk istirahat.
Wildan beranjak dari duduknya dan duduk di sebelah Hartono, "gimana pah? Perjalanan nya, mama pasti rewel ya?"
Hartono menyandarkan tubuhnya di kursi, "ya seperti biasa mabuk hebat mama kamu "
Wildan mendesah pelan, karena alasan itulah Dewi jarang menengok Wildan ke sini.
"Katanya Amira, sakit? Dia sakit apa, kamu gak jengukin dia?" tanya Hartono sambil menatap Wildan.
"Iya, cuman kelelahan biasa." Jawab Wildan.
Hartono menepuk pundak Wildan Dengan pelan, "jangan mentang-mentang kamu kebiasaan sama sekertaris laki-laki nanti kamu bandingin kinerja Amira sama sekertaris kamu yang sebelumnya, kamu tuntut untuk kayak laki-laki, inget kamu jangan sampai lakuin kayak gitu, ya!"
"Ya enggak lah, Wildan perlakukan Amira dengan sewajarnya kok, gak melebihi garis teritorial," Jawab Wildan.
"Tapi kamu jangan terlalu baik juga sama Amira, kalau emang kamu gak ada niat baik, takutnya ada salah paham di Antara kalian, apalagi intensitas bertemu kamu sama Amira juga sering, yang penting kamu kira-kira sendiri lah," ucap Hartono sambil beranjak dari duduknya dan meninggalkan Wildan.
Ucapan ayahnya barusan cukup menjadi tamparan bagi Wildan dan sontak itu membuatnya menjadi terdiam, "apa gue terlalu berlebihan ya, sama Amira?"
****
Amira hanya berjalan mengekori satria yang sedang menuju apartemen Wildan yang terletak di lantai tujuh.
Apartemen lama Wildan, termasuk kelas yang standard, saat di perjalanan tadi satria mengatakan jika ini adalah apartemen saat Wildan duduk di bangku perkuliahan sampai benar benar mampu mengurus perusahaan.
Sesampainya di depan pintu apartemen Wildan, Satria menghentikan langkahnya.
"Ini kartu aksesnya, di jaga baik baik jangn teledor, kalau mau kabur kasih ini dulu ke gue, jangan ikut di bawa kabur juga," ucap satria Sambil menyerahkan kartu akses kepada Amira.
Amira yang mendengar itu hanya memutar bola matanya malas.
"Kok kartunya ada di Lo?" tanya Amira Heran bukankah yang seharusnya memberikan ini kepadanya adalah Wildan?
"Gue sempat nempatin apartemen ini lima bulan yang lalu waktu, gue bangun rumah gue, tapi lupa pulangin ke Wildan." Ucap Satria.
Amira mengangguk, kemudian menempatkan kartu akses tersebut dan seketika pintu terbuka, "gue masuk dulu, makasih udah anterin."
Satria mengangguk, "oke, makasih udah repotin hari Minggu gue yang damai."
Amira memutar bola matanya malas dan langsung menutup pintu apartemennya.
Amira mulai masuk ke dalam apartemen milik Wildan, mulai melisik interior yang di dalamnya, mulai dari koleksi komik yang terjejer rapi di rak kecil yang di gantung di dinding, sampai poster pemain sepak bola Liverpool.
Amira baru mengetahui Jika Wildan adalah penyuka komik.
Amira mulai masuk lebih dalam ke bagian kamar, tidak ada yang aneh dengan kamar, Amira masuk ke dalam kamar yang berada di dekat dengan dapur, sesuai dengan perintah Wildan yang melarangnya untuk masuk ke dalam kamar utama.
Amira membersihkan kasur, yang kemungkinan cukup kotor karena tidak di tinggali beberapa waktu, Amira meletakkan ranselnya pada sofa yang berada di sisi tempat tidur, kemudian beralih pada lemari untuk mengambil sprei yang baru.
Setelah selesai memasangkan sprei yang baru Amira langsung menjatuhkan tubuhnya.
"Gue capek banget, ini sih kalau berangkat ke kantor bakalan jauh banget, kira kira si bos bakalan jemput atau justru gue berangkat sendirian?" tanya Amira kepada dirinya sendiri.
Amira bergegas bangun ketika hari mulai siang, berjalan menuju kulkas yang tanpa di cek pun Amira tahu Jika kulkas tidak akan ada isinya.
Amira mengambil dompet yang ada di ranselnya kemudian berangkat menuju Supermarket untuk membeli kebutuhan konsumsinya dan lain-lain, apalagi jika melihat televisi yang ada di apartemen nya wildan yang cukup besar, membuat Amira ingin membeli camilan yang cukup banyak untuk menemani kegiatan menontonnya yang sepertinya akan menjadi rutinitas yang baru untuknya.
Sesampainya di supermarket, Amira langusng mengambil troli kemudian berkeliling mencari kebutuhan bahan yang dia perlukan. Sebenarnya Amira bisa saja membeli makanan siap saji yang ada di lantai bawah, namun kalau di pikir-pikir lebih berhemat jika dia memasak sendiri dan mendapat bonus makanan yang lebih sehat.
Pertama-tama Amira mengambil beras yang terletak paling ujung di Antara kebutuhan yang lainnya, selanjutnya Amira mendorong kembali troli, dia ingin mencari makanan cepat saji jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Namun baru saja mendapat beberapa langkah, ponsel Amira sudah bergetar, menandakan jika ada yang menelepon.
Rupanya bos nya yang menelepon.
"Halo mir, kamu dimana? Saya baru ingat kalau gak ngasih kamu kartu akses, kamu udah di kasih sama si satria kan? Saya lupa saking gugupnya."
"Saya di supermarket deket apartemen bos, lagi beli kebutuhan konsumsi, tadi kartu aksesnya udah di kasih sama Satria, ada lagi bos?"
"Saya susul kamu sekarang "
"Tapi bos____" belum sempat Amira menyelesaikan kalimatnya Wildan sudah lebih dahulu mematikan saluran telepon nya.
"Bukannya pak Hartono, sama Bu Dewi lagi ada di rumah, ngapain bos kesini? Nyusul gue? "
Sejak Wildan memberitahukan bahwa dia akan menyusul Amira membuat Amira tidak mood berbelanja. Karena memikirkan sikap Wildan.
Amira memutuskan untuk tidak mengambil pusing hal ini, dia kemudian melanjutkan kegiatannya memilih bahan apa saja yang dia perlukan.
Amira hendak mengambil Snack ciki-cikian yang berada di rak paling atas. Untuk ukuran Tubuhnya yang mungil seperti Amira, tentu saja dia sangat sulit untuk menggapainya.
"Kamu ternyata pendek banget, ya?"
*****
Terimakasih telah membaca cerita please don't go! Jangan lupa baca cerita aku yang lainnya!
Spoiler : itu bukan Wildan.
See you next chapter,
Yok bisa yok 30 vote buat update lagi nanti pagi🤪
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Don't Go! [end]
Teen FictionAmira kabur dari rumah setelah merasakan patah hati yang luar biasa karena tunangannya (Bayu) berselingkuh dengan adik tirinya (Monica). Amira memutuskan untuk keluar kota, keluar dai zona patah hatinya. **** Amira memutuskan untuk pergi keluar...