"Aulia mau, apa?" tanya Amira pada gadis kecil yang duduk di pangkuannya. Namanya Aulia Syafira, Anak dari dokter Radit yang sengaja di bawa ke rumah sakit di Singapura karena tidak ada yang menjaganya.
Ya, akhirnya Amira tahu tentang status dokter Radit yang ternyata duda anak 1 yang ditinggal meninggal oleh istrinya saat melahirkan Aulia.
Amira merasa kasihan pada Aulia, gadis imut itu terpaksa hanya hidup dengan ayahnya.
Pasti Aulia sangat kekurangan kasih sayang, apalagi dia harus ikut kesana kemari mengikuti dokter Radit berkerja.
"Mau main ke Playground tapi gak di bolehin sama ayah," ujar Aulia sambil memanyunkan bibirnya.
"Besok hari Minggu Tante temenin ya ke Playground, gimana? Aulia senang enggak?" tanya Amira antusias. Dia juga merasa bosan jika ruang lingkup geraknya hanya seputar lingkungan rumah sakit.
Mungkin sekali-kali jika dia mengajak bermain Aulia kelihatannya akan menyenangkan.
"Kamu terlalu manjain dia mir." ujar dokter Radit yang baru sampai dari kegiatannya memeriksa keadaan Hermawan.
Amira terkekeh pelan, lalu beranjak dari duduknya, kemudian menatap Radit.
"Gak perlu alasan juga kan kalau saya mau manjain dia? Bukannya itu hal yang wajar ya? Dokter juga gak berani jawab kan kalau saya tanya alasan dokter membantu saya sampai sejauh ini?"
****
Tidak terasa tiga bulan sejak kepergian Amira dari sisinya.
Kalau ditanya apakah pengaruh kepergian Amira saat sangat besar untuk wildan,
Maka jawabannya adalah, ya!
Pengaruh Amira sangat besar.
Bagaimana dia bisa membuat Wildan ketergantungan dengan waktu yang singkat saat dia sedang bersamanya.
Selama tiga bulan ini Wildan merasa kosong dan hampa, rasanya seperti bagian jiwanya terangkat dari dalam dirinya.
Andai saja dia lebih cepat menyadari hatinya dan enggak bersikap bodoh saat Vivian dengan tangan yang kosong memintanya untuk kembali.
Vivian masih mengejarnya namun intensitas untuk menemuinya bulan ini sedikit berkurang, dan tentunya kabar yang lebih baiknya adalah Vivian semakin jarang menemuinya, hal yang biasa dilakukannya untuk menganggu hari-hari nya.
Hal ini disebabkan karena Vivian yang sedang mengalami tuntutan jalur hukum yang dilayangkan oleh mantan suaminya tentang dugaan kdrt dan pembunuhan berencana.
Setidaknya wildan merasa aman dan tentram untuk saat ini.
Wildan menyesap wine yang ada di tangannya kemudian di sisa-sisa matanya yang hendak terpejam dia berkata.
"Mir, kamu terlalu jauh mainnya, come on. Sudah waktunya untuk pulang."
****
"Aulia bisa main di bawah dulu?" ujar Amira pada Aulia yang sekarang sedang memeluk pinggangnya.
"Okay Tante!"
Aulia gadis yang ceria itu langsung berlari, menyusuri koridor yang mengarah langsung pada taman besar milik rumah sakit, sehingga hanya menyisakan dokter Radit dan juga Amira.
"Gak bis jawab kan Dok? Saya juga khawatir kalau kayak gini, bahkan saya gak tahu motif dokter membantu keluarga saya itu apa, jika alasannya hanya kepedulian karena dokter, menjadi dokter sepertinya bukan alasan yang tepat. Orang asing gak akan berbuat sebaik itu." ujar Amira sambil menatap dokter Radit tepat pada manik matanya.
Dia bersyukur karena dokter Radit berada di sampingnya, sampai-sampai dokter Radit merelakan untuk ikut pindah di Singapura hanya untuk dirinya.
Amira bukannya merasa terlalu percaya diri hanya saja inilah kenyataan yang bisa di ambil.
Dokter Radit mengajukan kepindahannya dan memutuskan untuk menetap di Singapura dan berkerja disini.
Saat ditanya alasannya, dokter Radit dengan tegas menjawab karena orang tua istrinya ada disini, jadi karena mereka tidak mau jauh dari Aulia terpaksa Radit juga ikut pindah.
Dokter Radit hanya terdiam, "saya sudah menjelaskan ini dari jauh-jauh hari mir."
Amira menggeleng, " bukan itu jawaban yang saya inginkan, saya tanya sekali lagi alasan dokter membantu keluarga saya itu apa? Dok, tolong kasih saya penjelasan."
Dokter Radit mengembuskan nafasnya pelan.
"Karena papa kamu pernah bantu saya, mir."
***
Sesuai janjinya Amira sudah selesai mengajak Aulia untuk bermain di Playground yang terletak di salah satu mall yang tidak jauh dari rumah sakit.
"Gimana seneng enggak?" tanya Amira sambil menepuk bahu Aulia yang jauh di bawahnya.
"Coba tadi bawa ayah pasti lebih menyenangkan." Ujar gadis manis itu.
Tadi Aulia sempat memaksa Radit untuk ikut, awalanya Radit juga akan ikut tapi setelah ada pemberitahuan bahwa ada operasi Cito, akhirnya dokter Radit mengurungkan niatnya.
Mengenai pembicaraannya dengan dokter tadi malam, Amira sama sekali tidak mendapatkan info apapun. Seperti biasa dokter Radit meninggalkan nya tanpa kepastian jawaban.
"Lain kali kita ajak papa kamu."
Ucap Amira sambil menggendong gadis berusia tiga tahun itu.
Tetapi tidak lama kemudian tubuh Amira menegang saat mendengar suara yang terdengar jauh di belakangnya.
"Gak ada niatan untuk ajak aku, mir? Bukannya kita sama-sama suka bermain?"
***"
Terimakasih telah membaca cerita please don't go!
Jangan lupa untuk vote dan sisipkan komentar disetiap paragraf agar aku lebih semangat untuk lanjutin cerita ini?
Ada yang bisa nebak siapa yang ada di dialog terakhir?
Sekali lagi maaf untuk update part yang lebih pendek dari biasanya.
See you.
Oiya izin promosi sebentar ya, Aki ada cerita yang bisa dibeli di playstore. Jika berkenan boleh di co segera mumpung masih ada diskon 25%
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Don't Go! [end]
Teen FictionAmira kabur dari rumah setelah merasakan patah hati yang luar biasa karena tunangannya (Bayu) berselingkuh dengan adik tirinya (Monica). Amira memutuskan untuk keluar kota, keluar dai zona patah hatinya. **** Amira memutuskan untuk pergi keluar...