Tidak pernah terbayang atau terbersit sedikit pun dalam pikiran Wildan jika Vivian akan benar-benar menemuinya seperti apa yang pernah dia tuliskan pada email yang pernah dia kirim sebelumnya.
Wildan mengakui kalau dirinya sangat shock tapi tidak menuntut kemungkinan jika dirinya juga merasa ketakutan, selama ini Wildan bersikap Denial tentang Vivian, bahwa nama Vivian sudah tidak ada lagi dihatinya.
Namun sepertinya itu perlu diluruskan. Ada kalanya dia merindukan gadis yang menjadi kekasihnya bertahun-tahun itu.
Tetapi, dalam diri yang lainnya berkata jika tidak ada kata maaf untuk sebuah perselingkuhan.
Ini wajar jika menurutnya, dirinya membangun hubungan dengan Vivian tidak sebentar, mereka menjalin hubungan dengan rentang waktu yang sangat lama.
Bahkan Wildan sudah mengenal Vivian luar dalam, menemani nya membangun karir didunia modeling sejak awal, lalu jika sudah begini dia harus berbuat apa?
Wildan tidak tahu dimana hatinya akan berlabuh.
Wildan gak sebodoh itu sampai hatinya bahwa telah ada Amira di bagian relung hatinya yang lain.
Namun dalam hatinya berkata jika ini terlalu dini untuk mengakui cintanya pada Amira, Bahkan Wildan juga tidak yakin dan tidak tahu apakah dirinya benar-benar mencintai sekretarisnya itu atau tidak.
Wildan hanya takut jika Amira hanya menjadi pelampiasan disaat dirinya kehilangan cintanya.
Tentu itu akan menyakitkan bukan? Untuk gadis sekelas Amira yang sangat baik hati dan tidak tahu apa-apa untuk terlibat ke dalam urusan yang menurutnya benar-benar sangat rumit.
Saking mengenalnya Vivian sampai-sampai Wildan bisa memprediksi apa yang akan dilakukan Vivian kedepannya.
Vivian adalah tipe-tipe orang yang akan mengejar ambisi nya hingga mendapatkan nya, apa yang dia inginkan maka dia harus mendapatkannya detik itu juga.
Wildan menghembuskan nafasnya kasar, jangan sampai Vivian tahu jika ada Amira yang menjadi saingannya, maka itu akan sangat berbahaya.
Mengingat posisi Vivian yang merupakan seorang publik figure.
Wildan menyandarkan tubuhnya pada sofa kemudian membuka ponsel yang dia letakkan ya di sampingnya.
Selanjutnya Wildan Mencari kontak Amira, ada sesuatu yang ingin Wildan bicarakan dengan segera, sesuatu yang sudah tidak bisa dia tahan lagi.
Takut jika Amira mendengarnya dari orang lain.
Setidaknya dia ingin jujur dan meminta waktu sebentar saja agar semuanya benar-benar jelas.
Tapi sudah beberapa kali Wildan menghubungi sekretaris nya itu tapi tidak kunjung mendapatkan respon apa-apa..
"Ini si Amira kemana sih? Kok gak di angkat?" ujar Wildan sambil terus mencoba menghubungi Amira yang sama sekali tidak menjawab panggilannya.
Wildan menyerah dan menaruhnya ponselnya di sampingnya.
"Mungkin dia lagi ngurusin om Hermawan, wajar juga kalau dia sibuk dan gak mau ngangkat, besok gue akan kesana."
****
Amira tidak pernah mengatakan jika dia akan mencoba untuk jatuh cinta kembali jika ujung-ujung sakit hati seperti sebelumnya.
Rasanya dirinya seperti mengulang untuk memakankan dirinya pada rasa patah hati yang sama.
Amira terkekeh pilu, sambil berjalan menyusuri Trotoar.
Enggak ada istilahnya Amira untuk menyerah, tapi jika mengingat kembali Wildan yang kemungkinan akan bersama dengan Vivian sungguh rasanya sangat menyesakkan.
"Gue nyesel kabur dari rumah, seharusnya gue kabur ke tempat lain biar gak usah ketemu Wildan," gumamnya.
Amira mempercepat langkahnya mengingat jika dirinya terlalu lama meninggalkan ayahnya sendirian.
"Wildan adalah kenangan indah yang memang patut untuk selalu dikenang tetapi tidak untuk dimiliki."
***
Pagi-pagi sekali Wildan langsung menuju kerumah Amira, Wildan tidak dapat menundanya lagi, dirinya tidak sabar untuk mengatakan jika dia butuh waktu yang lebih lama lagi.
Wildan juga membawa makanan sepertinya biasanya takut jika Amira tidak sempat untuk membuat makanan karena terlalu sibuk mengurusi ayahnya itu.
Wildan mengetuk pintu rumah Amira.
Namun ada yang berbeda hari ini, sudah beberapa kali mengetuk pintu tetapi, tidak kunjung terdengar sahutan dari dalam seolah-olah rumah nya sedang ditinggalkan atau sedang kosong.
Wildan mencoba untuk mengambil peruntungan dengan memencet tombol bel namun hasilnya tetap sama Amira tidak berada dirumah.
Gak mungkin kan jika dia pergi dengan kondisi ayahnya yang gak punya siapa-siapa seperti itu?
Wildan mengambil ponselnya yang ada di saku celananya kemudian, mencoba kembali menghubungi Amira.
Keringat dingin mulai membasahi pelipis Wildan, merasa jarinya mulai bergetar.
Enggak, gak mungkin kan dia terlambat?
Wildan langsung menggigit bibirnya, merasa jika ada hal yang besar yang akan terjadi.
Wildan langsung mondar-mandir di teras rumahnya sambil terus mencoba menghubungi Amira yang meskipun tidak akan menjawabnya.
Gak mungkin kan Amira pergi kabur-kaburan lagi? Kabur jauh dari jangkauan nya?
****
"Langsung keruangan VVIP aja ya mir, sebelum kesini saya juga sudah ngurus asuransi kesehatan papa kamu, jadi semuanya sudah aman untuk masalah biaya." ujar dokter Radit sambil menatap Amira yang melihat ayahnya dari balik pintu tempat dimana Ayahnya dirawat.
"Papa saya bakalan sembuh kan Dok?" tanya Amira putus asa.
"Itu masalah keyakinan kamu mir, kalau kamu udah putus asa kayak gitu gimana kamu bisa capai goals kamu? Percaya sama saya pak Hermawan bakalan bisa sembuh." balas dokter Radit sambil memeluk pundak Amira.
Amira mengangguk, dan langsung mendudukan dirinya di kursi tunggu yang ada di depan ruangan ayahnya.
Amira merasa jika ponselnya berkali-kali bergetar.
Tentu Amira tahu apa penyebabnya.
Mungkin Wildan sudah menyadari kepergiannya atau sekedar basa-basi mengatakan dan menanyakan keberadaan nya.
Amira menunduk lalu menatap dokter Radit. Yang masih setia berdiri di depan ruangan ayahnya.
Sejauh ini Amira sangat berhutang Budi pada dokter yang berusia 35 tahun itu.
"Dokter saya boleh minta tolong satu lagi? Bantuin saya ngurus kepindahan saya kesini untuk waktu yang lama."
Dokter Radit tertegun, kemudian nampak berpikir sebelum dirinya memberanikan diri untuk menatap Amira.
"Sampai kapan?"
Amira menggeleng, bahkan dia tidak tahu jawabannya, "setidaknya sampai papa saya sembuh, atau bisa jadi sampai saya benar-benar siap."
Dokter Radit mengangguk, "akan saya usahakan."
*****
Terima kasih yang udah baca pdg, jangan lupa komentarnya di tiap paragraf ya, vote nya juga jangan lupa.
See you>3
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Don't Go! [end]
Teen FictionAmira kabur dari rumah setelah merasakan patah hati yang luar biasa karena tunangannya (Bayu) berselingkuh dengan adik tirinya (Monica). Amira memutuskan untuk keluar kota, keluar dai zona patah hatinya. **** Amira memutuskan untuk pergi keluar...