32

5.8K 370 6
                                    

Wildan memundurkan langkahnya saat merasa posisi nya tidak tepat dan terlalu terlihat dari luar loby, yang memungkinkan Amira dapat melihatnya jika dia  ada di sini,  sedang mengintainya.

Wildan masih dengan tujuan yang sama, mendengarkan pembicaraan  kedua orang itu yang entah apa yang mereka bicarakan hingga kelihatanya se-asyik itu.  Jiwa lelaki Wildan mulai meronta dikala dia melihat jika pria yang mengantar adalah pria yang notabene nya sedikit lebih tampan darinya, dan itu sukses membuat ego Wildansedikit goyah.

Jari Wildan tanpa sadar sudah terkepal kuat, saat melihat lelaki itu mengelus rambut Amira dengan lembut. Beraninya lelaki itu menggoda sekretaris nya se enak jidatanya. Tidak tahu kah dia etika?

Wildan kembali bersembunyi di balik pintu,  tepat nya berada di dekat sebuah guci besar yang berada di sampingnya, Wildan kembali bersembunyi ketika melihat mobil hitam itu mulai meninggalkan Amira.

Yang lebih membuat Wildan kesal adalah Amira yang Sok akrab banget dengan lelaki itu, sebenarnya siapa lelaki yang mengantar asistennya itu?

Wildan berjalan menuju pintu loby ketika melihat Amira mulai melangkah masuk.

Amira yang membuka pintu pun terkejut  dengan  kehadiran Wildan yang tiba tiba menahan pintu yang hendak ia buka.

Wildan membuka pintunya dan menarik tangan Amira agar masuk ke dalam.

"Loh bos, ngapain kesini?" Tanya Amira yang masih bingung dengan sikap Wildan yang seperti ini.

Wildan memilih tidak menjawab dan tetap menggandeng tangan Amira, menuju lift.

Hingga sampai di depan apartemen Wildan, Wildan masih menutup mulutnya rapat-rapat.

Amira memilih diam dan menunggu Wildan berbicara mengenai masalanya. Atau jangan jangan Wildan mempunyai masalah dengan keluarganya? Hingga dia berlari pada Amira untuk menceritakan semuanya? Atau justru ada hal yang lain yang membuat nya kesini?

Wildan membuka pintu apartemen dengan kartu akses yang dibawanya kemudian menarik kembali tangan Amira untuk masuk, setelah itu Wildan mendudukkan Amira di sofa yang ada di ruangan depan.

"Ada apa ya bos? Kesini malam-malam bukannya di rumah masih ada bapak sama ibu? Atau ada masalah kantor yang perlu dikerjakan?" Tanya Amira sambil memainkan tangannya.

Jika Amira disuruh untuk memilih Wildan yang marah atau Wildan yang marah dengan cara berdiam seperti ini jawabannya tentu saja Amira akan memilih Wildan yang terang-terangan mengatakan mengenai hal yang tidak dia sukai. Atau hak yang menganggu pikirannya.

Wildan menyandarkannya tubunya di sofa lalu menegakkannya kembali dan menatap Amira.

"Saya pikir kamu bakalan hilang, mir makannya saya cari kamu ke supermarket yang ada di sekitar sini, saya kan juga udah bilang kalau saya bakalan susul kamu," ucap Wildan sambil menatap Amira, dirinya jiga tidak tahu apa yang terjadi dengan mulutnya dan pikirannya, bisa-bisanya tidak balance seperti ini.

Amira menepuk dahinya ketika dia teringat jika Wildan akan menjemputnya di supermarket, tapi naas nya dia telebih dahulu bertemu dengan Ken dan berakhir makan malam dengan teman kecilnya itu, ini salah nya juga dia tidak mengabari Wildan terlebih dahulu untuk tidak usah menjemputnya.

"Maaf bos, saya lupa, saya gak bermaksud kayak gitu, tadi saya gak sengaja ketemu sama teman saya, jadi dia ngajak saya makan  Malam, gak enak kalau saya nolak gitu aja, apalagi itu gratisan." Ucap Amira sambil membenarkannya letak rambutnya yang sedikit berantakan.

"Saya juga niatnya ngajak kamu makan malam mir," kata Wildan yang selanjutnya beranjak dari duduknya dan menuju ke arah televisi.

"Bukan gitu maksud saya bos." Ucap Amira setengah kelabakan karena disini dirinya seperti seorang pacar yang bertindak sebagai pelaku perselingkuhan yang sedang tertangkap basah.

"Dia Deket sama kamu?" Tanya Wildan sambil mencari remote televisi yang sudah lama tidak dia gunakan ini, entah Satria menyimpan dimana remote televisinya itu.

"Iya bos, deket banget malahan, kita teman dekat waktu kecil dan gak sengaja ketemu tadi di supermarket tadi."

Dan sontak itu membuat Wildan menatap Amira dengan pandangan yang sulit di artikan. Entah kenapa Wildan merasa marah saat tahu jika Amira mempunyai teman laki-laki yang paling dekat dengannya, hati Wildan merasa terganggu.

"Bos kenapa disini, bukannya bapak ibu ada di rumah?" Tanya Amira.

"Mereka lagi istirahat, dirumah, jadi saya bosan di rumah, kamu mau nonton film sama saya mir?"

"Di bioskop?"

Wildan menggeleng dan menepuk bagian sampingnya yang kosong, tepatnya di atas karpet bulu yang super tebal.

"Disini, kita nonton di apartemen aja, kalau ke bioskop nanti kemaleman." Kata Wildan.

Amira mengangguk kemudian berjalan mendekati Wildan dan duduk di sampingnya.

"Kamu mau genre apa mir, horor or romance?"

"Jangan harap saya pilih horor ya bos, saya tahu pikiran laki-laki "

"Yahhh ketebak." Ucap Wildan diakhuri dengan kekehannya.

"Nonton mouse aja gimana bos? kemarin kata Fifi ratingnya bagus."

"Okayy."

***

Wildan mati-matian menahan beban yang ada di bahunya.

"Ck..ck... Katanya mau nonton film nya sampai habis karena bagus banget, baru sampai tengah udah ngorok duluan," gumam Wildan sambil perlahan mengangkat kepala Amira yang bersandar di bahunya.

"Kepala kamu isinya apa sih mir, kok berat banget,  apa jangan-janhan kamu kebanyakan dosa?"

Wildan mengangkat kepala Amira kemudian menahan dengan tangannya, kemudian Wildan beralih ke arah lutut Amira untuk mengangkat sekretaris itu agar bisa tidur nyenyak di kasurnya.

Wildan mengangkat tubuh Amira dengan hati-hati. Bukan tanpa alasan sampai-sampai Wildan mengangkat tubuh Amira seperti ini, Amira adalah tipe orang jika tidur sudah seperti orang mati, susah banget kalau di bangunin.

Wildan meletakkan tubuh Amira di kasur dengan hati-hati, lalu setelah itu Wildan memakaikan selimut sampai dada Amira.

"Tidur yang nyenyak biar besok, kerja kamu semangat, saya janji gak akan ada yang ganggu kamu, saya juga janji akan selalu melindungi kamu," ucap Wildan sambil mengelus Surai indah milik Amira.

Sebelum pulang, Wildan menyempatkan untuk memeriksa dan memastikan semuanya aman, mulai dari televisi yang sudah ia matikan kemudian seluruh jendela, kompor, listrik dan lainnya sudah Wildan pastikan bahwa semuanya aman  untuk tidur sekretaris nya itu.

Wildan menutup pintu apartemennya, sesaat kemudian Wildan kembali terdiam.

"Gue kenapa sih, ini beneran gue?"

****

"Dari mana, tumben keluar malam -malam?" Tanya Handoko sambil menghampiri Wildan yang sedang bersantai di bakon rumahnya.

"Ada yang perlu  di urus tadi, pa."

Handoko tergelak, "urusan hati maksudnya?"

"Kamu kalau nentuin keputusan yang bener ya. Wil. Jangan Sampai salah atau kamu bakal nyesel di kemudian hari, apapun yang kamu tentuin kamu harus yakin dengan hal itu." Handoko menepuk bahu putranya. "Papa mau ke om Hadi sebentar mau main catur, semenjak papa kesini, banyak yang antre ngajak main."

Wildan hanya memutar bola matanya malas, "iya deh iya."

Sepeninggalan ayahnya Wildan merasa sangat suntuk, karena terlalu bosan Wildan memilih untuk mengecek email yang berusia pekerjaan nya, siapa tahu Jia dikerjakan sekarang, besok hari pekerjaan Wildan akan lebih ringan.

Mata Wildan melebar ketika melihat rentetan pesan yang mengisi email-nya.

Dan salah satu di dalamnya ada email yang dikirimkan oleh Vivian.

"What should i do when It's like this? "

***

Terimakasih telah membaca cerita please don't go! Jangan lupa vote dam comen!

Follow author nya dulu dongggg....

See you!!

 Please Don't Go! [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang