satu

110K 6.4K 65
                                    

Mari memasuki dunia baru bersamaku

Happy reading❤️


📷 📷 📷


“Oh. Hai, Mas.”

Mas Hady —tetangga depan rumahku, mengernyit melihat kehadiranku yang tiba-tiba. Wajar kalau dia kaget, biasanya saat libur semester aku lebih memilih tinggal di Jakarta bersama Papa daripada pulang ke rumah Bunda di Bandung.

Bukan karena aku tidak akrab dengan Bunda tapi aku sudah tinggal di Bandung sejak kecil. Dan baru merantau ke Jakarta saat memasuki bangku kuliah. Maksudku, ketika pulang ke rumah Bunda yang kulihat ya cuma itu-itu saja.

Dan alasanku pulang setelah dua tahun lamanya adalah putus cinta.

Mengenaskan.

“Juwi?” Mas Hady yang tengah duduk bersila di depan meja ruang tamu menutup laptopnya lalu berdiri ragu.

Yes. I’m Juwi.”

Aku menghela napas. Heran juga sama tetangga yang sudah kuanggap seperti kakak ini. Perasaan mukaku tidak berubah banyak, masa enggak kenal! Padahal kalau diperhatikan baik-baik, justru dia yang bertransformasi. Yang paling kentara itu badannya yang agak berisi, dulu ceking banget. Kayak Steve Rogers sebelum disuntik serum difilm Captain America.

Emm, mungkin agak berlebihan. Tapi, anggap aja gitu.

Alis Mas Hady terangkat tinggi. “Bunda kamu enggak bilang kalau kamu mau pulang.”

“Aku emang enggak kasih tau siapa-siapa,” kataku sambil mendorong koper berukuran kecilku masuk ke rumah.

Mas Hady melepas kacamatanya dan menghampiriku. Aku mendongak ketika Mas Hady berada di sebelahku. Woilah! Entah Mas Hady yang makin tinggi atau karena aku sudah lama tidak melihatnya makanya lupa.

“Bunda mana?” tanyaku saat berjalan bersisian dengan Mas Hady menuju kamarku.

“Jenguk tetangga yang sakit.”

Pertanyaanku agaknya memang salah. Aku tahu betul Bunda bukan orang yang betah berdiam diri di rumah. Hobinya itu berkelana ke rumah tetangga.

“Oh,” aku berbalik mengambil koperku begitu sampai di depan kamar. “Mas, jangan ganggu, ya. Aku mau bobo. Bye.”

Aku masuk, mengunci pintu lalu melompat ke tempat tidur. Untuk beberapa saat mataku terkunci dilangit-langit kamar, pikiranku berkelana tak tentu arah. Hingga sampai pada bayangan seseorang.

Laki-laki yang menemaniku dari SMP kelas tiga. Pacar pertama dan sebulan lalu berakhir menjadi mantan. Sebenarnya keputusan putus kami hasil dari kesepakatan kedua belah pihak. Alasannya lumayan banyak. Dua tahun ini, dibanding senangnya, hubungan kami lebih banyak bertengkar. Rasa sayangku terkikis dan tidak ada hal yang membuatku mengembalikan apa yang hilang.

Hubungan kami monoton, itu katanya. Dan ya, dia benar. Keyakinan bahwa dia cocok menjadi pendampingku kelak pun sedikit demi sedikit lenyap. Jadi, untuk apa dipertahankan? Walau sejujurnya, setelah putus hatiku tetap saja sakit.

Dan sampai sekarang, terkadang aku masih merasa ada sesuatu yang hilang.

Makanya aku pulang ke rumah Bunda, berharap pikiranku teralihkan selama di sini. Setidaknya sehabis libur panjang, aku mampu bersikap biasa saja kalau tidak sengaja papasan atau setiap mendengar namanya disebut, jantungku tidak berdebar.

Tapi, kenapa baru sampai aku langsung kepikiran orang itu sih! Yaelah!

Nemplok mulu dipala gue! Heran.

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang