tiga puluh

41.4K 4.2K 55
                                    

Aku lupa kemarin Rabu, gengs🥲

Happy reading❤️



📷 📷 📷




Bayangan pertama yang muncul begitu aku membuka mata adalah wajah Mas Hady dan segala percakapan yang terjadi di sekolah. Setiap katanya masih sangat jelas. Sejujurnya, aku merasa kehilangan sesuatu, tapi disisi lain aku juga merasa lega. Aku tidak lagi menyembunyikan perasaanku, walau akhirnya aku tidak memiliki Mas Hady.

Tapi memang itu yang kumau. Mas Hady cukup menjadi kakakku dan aku tidak akan kehilangannya.

Setelah cukup lama menatap langit-langit kamar, aku turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Sudah hampir tengah hari, sebelum Bunda mengomeliku mending aku keluar sekarang.

“Ju, kamu enggak ikut?” tanya Kak Uta.

Kakakku itu sudah berpakaian rapi dan sedang duduk di ruang depan. Aku mengernyit setelah mencerna pertanyaannya. Ikut? Seingatku tidak ada janji antara aku dan Kak Uta. Dan lagi, ini hari Minggu. Jadi, tidak mungkin kan Kak Uta mengajakku ke kantornya?

Aku menyisir asal rambutku menggunakan jari-jariku sembari menghampiri Kak Uta. “Ke mana?”

Kak Uta tak langsung menjawabku. Dia malah menatapku heran selama beberapa saat. Baru setelah itu Kak Uta menengok saat Bunda keluar dari kamarnya. “Bunda enggak kasih tau Juwi?”

Bunda melirik Kak Uta kemudian beralih padaku. “Enggak. Bunda kira Hady udah kasih tau kamu.”

Sekujur tubuhku mendadak dingin mendengar nama Mas Hady disebut. Diikuti pompaan jantungku yang meningkat.

“Hady lupa kali, Bun,” ujar Kak Uta.

Biasanya manusia itu sebelum tahu dengan jelas, kepala mereka akan sibuk-sibuk menerka-nerka. Tapi saat ini aku sama sekali tidak bisa menebak apa yang aku tidak tahu tentang Mas Hady.

“Apa emangnya?” tanyaku ragu.

“Hari ini Hady pindah rumah.” Bunda menjawab pertanyaanku.

“Pindah?” ulangku, berharap aku salah dengar. Namun saat Bunda mengangguk, aku langsung membayangkan Mas Hady yang tak lagi tinggal di depan rumahku. Tidak ada lagi yang datang ke rumah untuk sarapan atau makan malam. Tidak ada lagi yang bisa kuminta tolong. Dan... kenapa Mas Hady pindah?

“Ke mana?” tanyaku.

Kak Uta mendongak kemudian menjawab, “Studionya. Katanya jauh kalau pulang balik, apalagi kalau banyak kerjaan. Makanya lantai duanya direnovasi buat di tempati.”

“Oh ...” Mendadak kata-kata Adit terngiang di telingaku. Jadi, ini alasan Mas Hady pernah sibuk hingga jarang kulihat? Tapi itu seminggu lalu dan Mas Hady tidak pernah membahasnya. Atau kemungkinan lain, Mas Hady memang merasa aku tidak perlu tahu.

“Mau ikut?” ajak Kak Uta.

Tanpa berpikir panjang, aku menggeleng. Mas Hady bisa saja merasa tidak nyaman kalau perempuan yang baru kemarin menolaknya ikut membantu kepindahannya. “Enggak, Kak. Aku ada janji sama temen. Salam aja buat Mas Hady,” bohongku.

Selang beberapa menit Bunda dan Kak Uta pergi, aku keluar dari rumah dan berhenti di depan pagar. Memandang rumah Mas Hady. Aku masih terkejut dan tidak percaya ada hari di mana Mas Hady pindah.

Pikirku, Mas Hady akan tetap di sana. Bahkan ketika dia menikah, istrinya akan diboyong ke rumahnya. Jadi, aku masih bisa melihatnya sesekali meski Mas Hady sibuk bekerja. Nyatanya, tidak.

Merasa pandanganku menjadi buram, aku segera berbalik. Tidak ada yang perlu ditangisi, Mas Hady tidak pindah ke luar Kota atau Negeri. Aku masih bisa bertemu dengannya meski tak sesering sebulan ini.

“Iya, ya! Aku sama Mas Hady masih satu Kota!” seruku. Menye-menye kayak gini sama sekali bukan gaya Juwi! Aku mendengus lalu masuk ke rumah. Mungkin aku butuh makan biar perasaanku jadi baik kembali.

***

Sayangnya, perkiraanku salah. Meski sudah kenyang dan segar sehabis mandi, masih saja ada yang mengganjal di dadaku. Bahkan film yang terputar dilayar TV tidak berhasil mengalihkan pikiranku. Jika disuruh menceritakan film dari garis besarnya saja, aku tidak bisa menjawabnya.

Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Kayaknya mending aku tidur, ya tidur. Aku bersiap membaringkan tubuhku di sofa namun terhenti karena ponselku bergetar. Video call dari Ajeng. Butuh sedikit waktu sampai aku memutuskan mengangkatnya.

Wajah Ajeng bersama Malika dan Sofia langsung muncul dilayar ponselku. Aku tersenyum tipis melihat mereka tetap asyik bertemu meski tanpa ada aku. Tunggu aku, sebentar lagi aku pulang.

“Ju, udah pacaran belum sama Adit?” tanya Ajeng tanpa basa-basi.

Aku menggeleng. Kalau membahas Adit, itu artinya aku juga akan mengingat Mas Hady. Ah, Ajeng sih!

Ajeng memajukan wajahnya sampai memenuhi layar ponselku. “Kok belum sih?”

“Lo aja yang nembak,” sambar Malika.

Ajeng mendelik ke Malika yang duduk di sebelahnya. “Jangan, Ju. Tunggu Adit aja. Lagian nih ya, menurut gue hubungan kalian tuh tinggal nunggu waktu yang tepat aja.”

Sofia yang sedang menyeruput minumannya tiba-tiba terbatuk. “Gaya lu waktu yang tepat.”

“Berisik,” protes Ajeng tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

“Nama grupnya balikin lagi kalau gitu,” kata Sofia.

“Oh, iya.” Ajeng mengangguk-angguk. “Nanti gue ubah.”

“Emangnya rencana kita ini berhasil?” tanya Malika.

“Udah pasti berhasil. Kan enggak mungkin juga Adit ngedeketin Juwi kalau dia enggak suka,” jawab Ajeng.

“Iya, tapi yang gue pertanyakan itu Juwi. Dia terima Adit apa enggak?” tanya Malika lagi.

Ujung bibirku yang tadinya terangkat melihat tingkah mereka, perlahan turun setelah mendengar pertanyaan Malika. Kalau dulu—sebelum menyadari perasaanku, mungkin aku akan menerima Adit meski aku tahu aku tidak menyukainya.

Tapi sekarang berbeda. Aku sudah cukup merasa bersalah menolak Mas Hady, aku tidak ingin menambah rasa bersalahku dengan menerima Adit.

Kalaupun kuterima, aku tidak bisa menjamin bisa menyukainya dikemudian hari. Aku baru saja menyukai Mas Hady, mustahil aku berpindah hati semudah itu. Maksudku, bukan hanya perasaan tertarik. Tapi benar-benar perasaan suka, sama seperti ketika aku menyukai Farraz.

“Lo kayak enggak tau Juwi aja. Kan dia pepet Adit duluan, masa dia nolak. Lo kalau nanya kadang bego ihh.”

“Eh? Ju, sakit lo? Diem-diem aja,” tegur Ajeng.

Tidak, aku tidak baik-baik saja. Dan akhirnya air mataku jatuh begitu saja.

Keputusan yang kupertimbangkan matang-matang, nyatanya tak sesuai harapanku. Aku tetap merasa kehilangan Mas Hady. Walaupun Mas Hady cuma pindah ke studio, bagiku itu tetap jauh.

“Heh! Lo kenapa, Ju!” seru Ajeng. Malika dan Sofia juga sama kagetnya melihatku menangis.

“Eh, lu sakit apa?” Malika panik.

“Iya, gue sakit.”




📷📷📷




📷📷📷

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang