tiga puluh empat

41.2K 4.5K 58
                                    

Aku upload sekarang soalnya takut lupa😌

Happy reading❤️





📷 📷 📷




Setelah pertemuan dramatisku dengan Mas Hady, aku kembali ke restoran dan pamit ke Ajeng yang ternyata sudah ditemani gebetannya. Aku sempat memerhatikannya dan skorku tetap 7/10, dia lumayan ganteng.

Kupikir Ajeng akan menahanku, ternyata tidak. Dia malah mengusirku agar cepat pergi dari hadapannya. Kalau diingat-ingat lagi, aku jadi kesal. Jadi, gunanya aku menemaninya apa? Teman kok bangsatnya kebangetan.

Aku mengembuskan napas panjang sambil terus menatap keluar jendela. Menghindari tatapan yang bisa saja terjadi secara tidak sengaja antara aku dan Mas Hady yang sedang fokus pada setirnya.

“Juwi.”

Aku menoleh cepat tanpa sadar. “Iya?”

“Gimana kuliahnya?” Mas Hady memfokuskan tatapanku padaku karena keadaan mobil yang tidak bergerak dari tempatnya.

Aku tidak berpikir panjang saat Mas Hady menawarkan diri mengantarku pulang. Sekarang jadi terjebak makin lama, kan. Dan aku enggak tau harus bahas apa setelah lost contact sebulan lebih. “Emm, lancar.”

Klakson dari pengendara yang berada di belakang mengalihkan pandangan Mas Hady dariku. Mas Hady memajukan mobilnya, mengisi celah kecil yang di depan.

“Juwi,” panggil Mas Hady lagi.

“Hm?” Kali ini aku tidak mau menoleh.

“Hari di mana kamu balik ke Jakarta, aku udah sampe di Bandung. Tapi kamu enggak pamit, bahkan sekadar chat juga enggak.”

“Mas juga enggak bilang pas pindah rumah,” ucapku pelan, tapi aku yakin Mas Hady masih bisa mendengarnya.

“Pindah rumah?”

Aku meliriknya, air mukanya yang tampak bingung entah kenapa bikin aku kesal. Kok dia pura-pura enggak tau. “Iya!”

“Siapa yang pindah rumah?” tanya Mas Hady semakin menyerong posisi tubuhnya ke arahku.

Aku melongo. Ini aku yang bego apa bagaimana sih?

Mas Hady menggeleng. “Sebentar. Kayaknya kamu salah paham.”

“Salah paham apanya? Bunda sama Kak Uta yang bilang.” Suaraku meninggi.

“Hah?”

Aku menghela napas frustrasi. Kenapa Mas Hady berlagak tidak tahu apa-apa, sementara aku yakin hari itu tidak salah dengar. “Hari minggu, Bunda sama Kak Uta ikut ke studio kan bantu-bantu Mas beberes?”

“Iya, Bunda sama Uta memang ikut. Tapi aku enggak pindah rumah,” sangkal Mas Hady lagi.

Masa telingaku bermasalah? Aku mengernyit. “Aku enggak ngerti.”

“Sebulan kemarin aku emang tinggal di studio biar enggak jauh bolak-balik, apalagi kerjaan lumayan banyak. Tapi cuma sementara. Lantai dua di studio juga lebih ditujukan buat Adam sama Dika, biar mereka enggak perlu sewa kosan lagi,” jelas Mas Hady diakhiri senyum.

Oh. Masalahnya bukan aku ataupun Mas Hady, tapi Bunda dan Kak Uta yang salah menangkap informasi. Dan setelah tahu yang sebenarnya pun, mereka tidak ada niat membenarkan. Aku mengalihkan pandangan karena malu pada Mas Hady.

Kudengar Mas Hady menghela napas lalu tertawa pelan. “Gara-gara salah paham, kita jadi diem-dieman sebulan.”

“Emangnya kita punya hubungan apa sampai harus rutin komunikasi?” kataku tanpa menatapnya.

Movember [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang